Thursday, May 22, 2014

IMPLIKASI PERDAGANGAN BEBAS WILAYAH ASEAN-CHINA TERHADAP PERDAGANGAN DAN INVESTASI PERTANIAN INDONESIA



IMPLIKASI PERDAGANGAN BEBAS WILAYAH ASEAN-CHINA TERHADAP PERDAGANGAN DAN INVESTASI PERTANIAN INDONESIA

SUWANDI S SANGADJI

WandyNukuSangadji@gmail.com 
Program Pasca Sarjana
Universitas Mercu Buana
Jakarta

ABSTRAK

Sebuah babak baru pola perdagangan Indonesia dan China telah terjadi dengan kesepakatan perdagangan bebas/KPB ASEAN-China yang berlaku efektif sejak 1 Januari 2010 tahun lalu, setelah penandatanganan kerangka awalnya pada 4 November 2002 dan ratifikasi pemerintah melalui KEPPRES No. 48 pada 16 Juni 2004. Kesepakatan perdagangan bebas ASEAN dan ASEAN-China ini tentu saja memberikan tantangan dan peluang bagi berbagai komoditas pertanian yang diproduksi di dalam negeri, baik untuk tujuan ekspor maupun untuk konsumsi di dalam negeri. Makalah ini bertujuan untuk menganalisis kebijakan perdagangan bebas ini dan dampaknya terhadap pengembangan komoditas utama pertanian nasional. Makalah menyimpulkan antara lain bahwa pemberlakuan Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN-China mulai tahun 2010 akan merangsang ekspor komoditas pertanian Indonesia terpusat pada produk pertanian yang sangat primer atau setengah jadi, sedangkan impor produk pertanian Indonesia akan memusat pada komoditas-komoditas pangan, sayur dan buah, kecuali daging. Untuk membangun industri pengolahan pertanian di dalam negeri, kebijakan yang seimbang antara penerapan pungutan ekspor dan insentif bagi produsen primer pertanian sangat diperlukan.

Kata kunci : kawasan-perdagangan-bebas, tarif, daftar pengecualian, komoditas, investasi





PENDAHULUAN


Sebuah babak baru pola perdagangan Indonesia dan China telah terjadi dengan kesepakatan perdagangan bebas/KPB ASEAN-China sejak 1 Januari 2010 tahun lalu, setelah penandatanganan kerangka awalnya pada 4 November 2002 dan diratifikasi oleh pemerintah melalui KEPPRES No. 48 pada 15 Juni 2004. Sudah hampir 20 tahun Indonesia bersama dengan negara-negara tetangganya di Asia Tenggara berada dalam kerangka Kawasan Perdagangan Bebas/KPB atau Free Trade Area/FTA. Mereka telah menerapkan program penurunan tarif sejak tahun 2002 dengan mekanisme penurunan tarif istimewa secara efektif dan bersama- sama atau Common Effective  Preferential Tariff/CEPT dimana produk-produk yang dimasukkan dalam tiga kelompok yang berbeda, yakni kelompok jalur cepat atau fast track, jalur normal atau normal track dan jalur pengecualian sementara atau exclusion list. Kemudian pada 4 November 2002, kembali ASEAN menanda- tangani kesepakatan kerangka awal ASEAN-China dan secara efektif berlaku 1 Januari 2010. Kesepakatan perdagangan bebas ASEAN dan ASEAN-China ini tentu saja memberikan tantangan dan peluang bagi berbagai komoditas pertanian yang  diproduksi  di  dalam  negeri,  baik  untuk  tujuan  ekspor  maupun  untuk konsumsi di dalam negeri.

Sekretariat ASEAN (2002) memproyeksikan bahwa KPB ASEAN-China akan meningkatkan PDB 0,9 persen di ASEAN dan 3 persen di China. Analisis simulasi Harsono et al. (2007) juga mempraduga bahwa KPB ASEAN-China dan KPB Indonesia-China akan meningkatkan PDB Indonesia masing-masing sekitar 0,26  persen  dan  0,20  persen.  Kesejahteraan  masyarakat  ASEAN  dan  China menurut Hong (2003) akan meningkat masing-masing sebesar 4,19 milyar dolar AS dan 1,5 miliar dolar AS dengan pemberlakuan KPB.

Makalah ini bertujuan untuk: (1) memberi gambaran tentang kinerja perdagangan  ekspor   dan   impor   komoditas   pertanian   dan   mengidentifikasi kelompok komoditas utama yang diperdagangkan dan dipasarkan antara Indonesia dan China, (2) membahas berbagai tantangan dan peluang pengembangan komoditas utama ini dan kaitannya dengan investasi asing, dan (3) mengusulkan berbagai saran-saran kebijakan untuk menghadapi tantangan dan memanfaatkan peluangnya.


EKSPOR KOMODITAS PERTANIAN INDONESIA KE CHINA


Dari 23 kelompok komoditas pertanian ekspor Indonesia ke China dalam HS 2 digit, yakni HS 01-HS 24 kecuali HS 03, yang tercatat dalam WITS pada masa 1996-2007 terdapat 18 kelompok yang memiliki data secara berurutan. Dari ke 18 kelompok ini, lima kelompok komoditas dengan tren ekspor positif terbesar adalah:

Daftar di bawah ini memberikan gambaran bahwa komoditas-komoditas yang selama sebelas tahun terakhir ini mengalami tren nilai ekspor yang sangat menakjubkan adalah komoditas primer dan semi olahan seperti edible fruit and nuts; peel of citrus fruit or melons dan cocoa and cocoa preparations.

HS
08
Descriptions
Edible fruit and nuts; peel of citrus fruit or melons
Tren
9640,88
18
Cocoa and cocoa preparations
7430,20
07
Edible vegetables and certain roots and tubers
5047,84
14
Vegetable plaiting materials; vegetable products nes
2350,25
23
Residues & waste from the food indust; preparation and fodder
2323,19

Kelompok komoditas dengan tren ekspor negatif adalah:
HS
15
Descriptions
Animal/veg fats & oils & their cleavage products; etc
Tren
-148749,28
12
Oil seed, oleagi fruits; miscell grain, seed, fruit etc
-2874,68
19
Prep.of cereal, flour, starch/milk; pastry cooks' prod
-966,33
21
Miscellaneous edible preparations
-291,67
05
Products of animal origin, nes or included
-135,15
20
Prep of vegetable, fruit, nuts or other parts of plants
-72,45





Dari data di atas ditunjukkan bahwa nilai ekspor komoditas-komoditas ini cenderung masih meningkat. Mutakin dan Salam (2009) mendapatkan juga kesimpulan yang sama. Komoditas pertanian yang nilai ekspornya paling besar dan memiliki kecenderungan peningkatan ekspor cukup nyata adalah kelompok produk pertanian seperti minyak nabati/sawit  (HS  15),  karet dan  barang dari padanya (HS 40), pulp dari kayu atau dari bahan selulosa berserat lainnya; kertas atau kertas karton yang diputihkan (sisa dan skrap) (HS 47), dan biji logam, kerak dan abu (HS 26). Dengan demikian, kesepakatan AC-FTA berpotensi memberi keuntungan pada kelompok produk-produk ini. Peningkatan impor China atas produk-produk primer ini merupakan akibat dari kebijakan industrialisasi yang dijalankan pemerintah China,  terutama selama  20  tahun  terakhir  ini  di  mana banyak industri membutuhkan bahan baku yang tidak cukup dan bahkan tidak tersedia di China.


Sementara itu yang mengalami tren nilai ekspor negatif, atau dengan kata lain   nilai   ekspor   cenderung   menurun   adalah   komoditas-komoditas olahan pertanian, karena industri pengolahan China sudah mampu menggantikan kebutuhan impornya dari produksi dalam negeri akibat kebijakan industrialisasi. Hal ini menjadi suatu ironi bagi Indonesia yang ingin mengembangkan industri pengolahan pertaniannya, tetapi menguntungkan petani penghasil. Dari sudut pandang petani atau produsen komoditas pertanian lainnya dikatakan menguntungkan karena bagi mereka manfaatnya lebih langsung dibanding kalau produk ini harus diolah di dalam negeri. Hal ini terjadi karena umumnya harga fob komoditas relatif  lebih tinggi dari harga pembelian industri pengolahan lokal, apalagi kalau komoditas tersebut dikenakan pungutan ekspor.

Secara teoritis, dampak pengenaan pungutan ekspor bagi suatu komoditas memberikan tiga kemungkinan, yaitu: (1) menekan harga di dalam negeri, (2) menaikkan harga di pasar dunia, dan (3) gabungan keduanya. Namun, pengalaman menunjukkan bahwa harga komoditas bersangkutan di dalam negeri menurun, dan akibat berikutnya harga yang diterima petani juga menurun. Inilah keadaan yang lebih sering terjadi. Padahal, pungutan ekspor ini diberlakukan pemerintah mempunyai tujuan yang baik, yaitu  untuk melindungi pasokan bahan mentah kepada industri pengolahan pertanian dalam negeri, disamping untuk mendapatkan dana bagi kebutuhan pembangunan.

Kalau ditinjau dari perspektif jangka panjang pengembangan industri pengolahan produk pertanian merupakan langkah yang sangat strategis, karena permintaan konsumen dalam negeri akan terus meningkat dengan peningkatan pendapatan dan jumlah penduduk. Selain itu, ada harapan kesempatan kerja akan terbuka dengan berkembangnya industri pengolahan pertanian di perdesaan. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan yang seimbang antara penerapan pungutan ekspor dan insentif bagi produsen primer pertanian.










IMPOR KOMODITAS PERTANIAN INDONESIA DARI CHINA


Dengan cara yang sama dengan di atas dapat diidentifikasi lima kelompok komoditas impor pertanian terbesar Indonesia dari China, yaitu:

HS
Descriptions
Tren
10
Cereals
126853,14
24
Tobacco and manufactured tobacco substitutes
44805,47
07
Edible vegetables and certain roots and tubers
30164,80
17
Sugars and sugar confectionery
23177,29
12
Oil seed, oleagi fruits; miscell grain, seed, fruit etc
14462,55


dan kelompok komoditas dengan tren negatif adalah:

                   
HS
Descriptions
Tren
08
Edible fruit and nuts; peel of citrus fruit or melons
-16870,13
21
Miscellaneous edible preparations
-6800,56
11
Prod.mill.indust; malt; starches; inulin; wheat gluten
-4868,29
22
Beverages, spirits and vinegar
-1512,04
13
Lac; gums, resins & other vegetable saps & extracts
-688,80
19
Prep.of cereal, flour, starch/milk; pastrycooks' prod
-79,07


Dua daftar di atas menunjukkan bahwa Indonesia semakin banyak mengimpor bahan pangan seperti cereals, vegetables, sugar dan buah-buahan dan lain-lain, sementara impor edible fruit and nuts; peel of citrus  fruit or melons; miscellaneous edible preparations; beverages, spirits and vinegar; prod.mill.indust; malt; starches;   inulin; wheat gluten menurun dengan tajam. Pertumbuhan impor produk-produk pangan ini di Indonesia, tentu saja tidak terlepas dari peningkatan kebutuhan, baik manusia maupun industri dalam negeri, sementara pasokan dalam negeri semakin terbatas karena berbagai hal antara lain keterbatasan lahan pengembangan, keterbatasan teknologi, keterbatasan keterampilan dan keterbatasan modal usaha.

Peningkatan impor atas cereals menunjukkan bahwa persoalan pangan di dalam negeri belum dapat diatasi, dalam arti kebutuhan dalam negeri belum dapat dipenuhi oleh produksi dalam negeri. Namun, pemenuhan kebutuhan dalam negeri dari produksi dalam negeri tidaklah bermaksud untuk menutup diri terhadap pasar internasional, tetapi untuk menggugah kesadaran bahwa potensi sumberdaya alam dan pertanian yang ada di negeri ini akan menjadi sia-sia kalau tidak digali untuk kemaslahatan bangsa. Jelas bahwa ketergantungan terhadap impor dapat menghambat pemanfaatan potensi pangan sumberdaya lokal ini.







NERACA PERDAGANGAN PERTANIAN INDONESIA-CHINA


Hasil-hasil yang diperoleh dari analisis kinerja ekspor dan impor Indonesia-China di atas dapat dipertegas lagi dengan perhitungan lebih lanjut pada neraca perdagangan Indonesia-China. Delapan dari 23 kelompok komoditas pertanian menunjukkan tren nilai neraca perdagangan positif dan sisanya sebanyak 15  kelompok  mempunyai  tren  negatif  selama  11  tahun  terakhir  ini.  Lima kelompok terbesar diantaranya adalah edible fruit and nuts; peel of citrus fruit or melons; cocoa and cocoa preparations; miscellaneous edible preparations; prod.mill.indust; malt; starches;  inulin; wheat gluten dan beverages, spirits and vinegar.

Lima kelompok dengan tren penurunan nilai neraca perdagangan terbesar adalah animal/veg fats & oils & their cleavage products; etc; cereals; tobacco and manufactured tobacco substitutes; edible vegetables and certain roots and tubers. sugars and sugar confectionery.

Sementara itu komoditas-komoditas seperti tobacco and  manufactured tobacco substitutes; edible vegetables and certain roots and tubers, seperti gaplek atau  manioc; vegetable planting materials; vegetable  products nes; coffee, tea, matï and spices; meat and edible meat offal; prep.of cereal, flour, starch/milk; pastry cooks' products yang selama ini dianggap sebagai harapan ekspor di masa depan, tampaknya tidak sesuai dengan kenyataan karena semua produk ini mempunyai tren nilai neraca perdagangan yang negatif dalam kurun waktu 11 tahun terakhir ini. Kalau pun kerangka KPB ASEAN-China diberlakukan, memungkinkan tren ini tidak dapat dibalik, kecuali ada langkah-langkah luar biasa dan tidak terduga. Artinya, dapat diduga bahwa pemberlakuan KPB ASEAN- China  akan  secara  persisten  menurunkan  neraca  perdagangan  pada  berbagai produk tersebut di atas.

Dari  analisis  dan  pembahasan di  atas  dapat  dikatakan  bahwa  dengan pemberlakuan Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN-China mulai tahun 2010 ini, ekspor komoditas pertanian Indonesia akan terpusat pada produk pertanian yang sangat primer atau setengah jadi seperti oil seed, cocoa and cocoa preparations , karet alam,  residues & waste from the food indust; preparation and fodder, dan edible fruit and nuts; peel of citrus fruit or melons. Sementara impor produk pertanian Indonesia akan memusat pada komoditas-komoditas pangan, sayur dan buah, kecuali daging. China akan membutuhkan beberapa produk primer dari ASEAN seperti kayu, biji besi, karet dan berbagai buah tropis untuk mengembangkan ekonominya (Tong dan Keng, 2010).


DAMPAK PEMOTONGAN TARIF DALAM KERANGKA KPB ASEAN-CHINA


Metode Analisis Keseimbangan Umum dengan dua skenario, yakni (1) liberalisasi penuh (pemotongan tarif sebesar 100 persen) pada seluruh produk pertanian ASEAN dan China dan (2) liberalisasi penuh pada seluruh produk yang diperdagangkan ASEAN dan China memberikan hasil sebagai berikut:

(a)     Kesejahteraan masyarakat Indonesia  pada  skenario (1)  menurun  sebesar AS$ -14,33 juta, atau setara Rp. 128,97 milyar (pada nilai tukar Rp. 9,000 per dolar AS), tetapi pada skenario (2) meningkat sebesar AS$ 319,82 juta, atau setara Rp. 2.878,38 milyar karena pendapatan rumahtangga regional Indonesia menurun sebesar -0,08 persen pada skenario (1), tetapi meningkat sebesar 1,13 persen pada skenario (2),

(b)    Produksi  komoditas  olahan  pertanian,  padi/beras,  padi-padian  lainnya, sayuran dan buah, tanaman lain menurun dengan kisaran antara 0,01 persen sampai 0,16 persen pada skenario (1). Sedangkan pada skenario (2) hampir semua produk pertanian dan olahannya menurun pada kisaran 0,11 persen sampai 1,10 persen,

(c)     Jumlah ekspor olahan pertanian, padi/beras dan sayur serta buah menurun sebesar 0,74 persen sampai 24,64 persen, ekspor gandum, padi-padian lainnya, biji-bijian mengandung minyak, pucuk tebu, bit gula, serat dari tanaman dan tanaman lainnya meningkat antara 0,01 persen sampai 0,64 persen  pada  skenario  (1),  sedangkan  pada  skenario  (2)  ekspor  seluruh produk ini menurun sebesar 0,6 persen sampai 28,21 persen, kecuali untuk pucuk tebu dan bit gula yang meningkat sebesar 9,13 persen,

(d)    Jumlah impor gandum, padi-padian lainnya, biji-bijian mengandung minyak dan pucuk tebu dan gula bit menurun antara 0,15 persen sampai 0,64 persen, sementara untuk produk olahan pertanian, padi/beras, sayur dan buah, serat dari tanaman dan tanaman lainnya meningkat antara 0,06 persen sampai
2,62  persen  pada  skenario  (1).  Pada  skenario  (2)  impor  untuk  seluruh produk pertanian ini  meningkat antara 0,43  persen sampai 4,08  persen, kecuali gandum menurun 0,15  persen. Laju  peningkatan impor  terbesar terjadi pada sayur dan buah,

Dari hasil-hasil ini dapat disimpulkan bahwa meskipun tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia secara umum dapat meningkat lebih tinggi pada skenario liberalisasi penuh bagi semua komoditas yang diperdagangkan, di sektor pertanian belum tentu diikuti dengan perbaikan pada produksi dan ekspor komoditas andalannya. Oleh karena itu, liberalisasi ini belum menjadi jaminan peningkatan kesejahteraan petani atau produsen komoditasnya. Hal ini sejalan dengan penelitian Pambudi dan Chandra (2006) serta Tambunan (2007) yang menyimpulkan bahwa petani-petani Indonesia akan mengalami lebih banyak kerugian daripada keuntungan dari program tersebut dan Indonesia akan menjadi sebuah negara anggota ASEAN yang dirugikan dari kesepakatan perdagangan regional tersebut.


TANTANGAN DAN PELUANG
Apakah Tantangan dapat dijadikan sebagai Peluang?

Pemberlakuan KPB ASEAN-China memberikan tantangan yang sangat berat pada produk pertanian dan masyarakat pertanian Indonesia, tetapi tantangan tersebut dapat juga dijadikan sebagai titik tolak untuk sekaligus menggali peluang agar  Indonesia  mampu  mendaya-gunakan  pertaniannya.  Tantangan-tantangan tersebut adalah:

(a)     Kecenderungan China Mengimpor Bahan Baku.

Dalam pengembangan ekonominya China akan cenderung mengimpor produk-produk primer dari Indonesia dan bahkan dari negara-negara mitra dagangnya, karena negara besar ini tentu tidak akan mau mengambil risiko industrinya terganggu, termasuk industri pertaniannya. Gangguan yang terjadi pada sektor industrinya akan mengancam lapangan pekerjaan bagi ratusan juta masyarakat China. Hal ini bertentangan dengan prakiraan Tong dan Keng (2010) yang menyatakan bahwa untuk menyeimbangkan ekonominya di dalam jangka panjang dan mengembangkan pasar konsumennya, China berpotensi menjadi pasar ekspor ASEAN bukan hanya bagi  produk-produk sumberdaya  alam,  tetapi  juga  barang-barang manufaktur.  Untuk mengatasi hal ini, maka Indonesia mulai saat ini juga harus   membangun   industri   yang   mendukung   sektor   pertanian   yang kemudian dalam jangka panjang dapat membangun pertanian industrial atau pertanian yang mendukung industri.

(b)     Penerapan Kekuatan Negara.

Sistem  perekonomian  China  sampai  saat  ini  didominasi  oleh  kekuatan negara (state) dan bukan kekuatan pasar semata, dan secara nyata menunjukkan kinerja yang sangat baik, setidaknya dalam sewindu terakhir ini juga mendukung kekuatan ekonomi China di dalam dan luar negeri. Hal ini   menyebabkan  berbagai  produk  mereka,  baik  di  sektor  pertanian sekalipun dapat dihasilkan dengan biaya yang sangat murah karena sebagian besar biaya tetap dan biaya operasional, terutama biaya tenaga kerja dan masukan produksi dipikul oleh negara. Hal ini sulit ditandingi oleh negara mana pun saat ini, apalagi bagi Indonesia yang sekarang ini lebih mementingkan gerakan demokrasi secara prosedural.   Arus global dalam HAM  dan  liberalisasi  telah  mempengaruhi  pengambilan  keputusan  di tingkat pemerintahan Indonesia.

(c)     Ekonomi Skala Kolektif.

Dengan kekuatan dominan negara dalam segala aspek perekonomian, maka ekonomi  skala  berbasis  kolektif  dapat  diterapkan  China  dan  memberi manfaat besar dalam meningkatkan keunggulan komparatif dan kompetitif produk-produk China, terutama untuk produk usaha pertanian dan rumah- tangga perdesaan. Hal ini harus menjadi  perhatian di Indonesia, terutama di sektor pertanian dengan membangkitkan dan memanfaatkan modal kebersamaan yang telah dibangun melalui kelompok tani dan atau gabungan kelompok tani/gapoktan. Seharusnya kelompok tani/gapoktan direvitalisasi lagi untuk membangun kepercayaan dan kebersamaan di antara para anggota dan lebih dimanfaatkan untuk tujuan pembangunan ekonomi skala dari pada tujuan-tujuan jangka pendek.
(d)     Kerja Keras dan Naluri Bisnis.

Fakta secara jelas menunjukkan bahwa di berbagai belahan dunia ini keturunan China merupakan pedagang dan atau pengusaha yang sangat ulet dan tegar. Boleh jadi mereka yang ada di mana-mana adalah katalisator, wahana atau agen perdagangan Negara China di pelosok di dunia ini, termasuk Indonesia. Dari berbagai informasi di media massa dilaporkan bahwa pedagang atau pengusaha kecil atau besar Indonesia, dan bahkan dari negara-negara maju dan tidak hanya yang keturunan China, saat ini banyak yang menanamkan investasi di berbagai industri yang berkembang di China. Sementara itu di Indonesia, meskipun telah mengikrarkan satu bangsa, bangsa Indonesia sampai saat ini tampak masih belum betul-betul bersatu. Dengan demikian keunggulan komparatif dan kompetitif di pasar internasional dan bahkan di pasar dalam negeri sendiri akan sulit tercipta kalau kesatuan ini belum terwujud dalam kehidupan sehari-hari. Diharapkan saudara-saudara sebangsa dan setanah air yang keturunan China yang berkiprah di bidang perdagangan, jasa dan industri dapat menjadi pelopor pembangunan pertanian dan industri pertanian di tanah air yang mampu bersaing dan efisien dan bukan menjadi penyalur produk-produk pertanian China di Indonesia.

(e)     Keutuhan Modal Sosial.

Modal sosial masyarakat China telah mampu membawa mereka menapaki langkah pembangunan ekonomi demi kemajuan bangsanya. Salah satu unsur modal sosial itu adalah kebanggaan masyarakatnya terhadap pemakaian dan pengkonsumsian produk dalam negerinya sendiri.  Bahkan  pada  produk- produk  pangan  mereka  tidak  terlalu  banyak  terpengaruh  pada  produk- produk pangan asing. Hal ini tentu menciptakan permintaan yang sangat besar terhadap produk-produk lokal mereka, dan pada gilirannya membangkitkan  upaya  pengembangan  produk  hulunya.  Hal  ini  patut menjadi perhatian di Indonesia. Yang seharusnya bangga dengan produk lokal, termasuk produk-produk pertanian. Kalau bangsa Indonesia tidak lagi menyukai dan membeli jeruk Medan dan apel Malang, jangan berharap produk-produk pertanian ini ada di nusantara ini. Oleh karena itu sejak saat ini seluruh pemangku kepentingan perlu memikirkan langkah-langkah nyata dan cerdas untuk mambangun kecintaan dan kemauan untuk membeli produk-produk pertanian lokal. Modal sosial harus dibangun oleh semua anak bangsa, semua suku, agama dan ras yang ada di Indonesia.

(f)     Keunggulan Kompetitif.

Keunggulan  kompetitif  produk-produk  pertanian  China  di  pasar internasional telah diakui, setidaknya dari indikator harga. Hal ini boleh jadi tercipta  karena  berbagai  hal  seperti  keefisienan  dalam  proses  produksi (biaya masukan produksi dan tenaga kerja yang murah), ekonomi skala; penerapan teknologi yang tepat dan efisien serta efisiensi dalam tataniaga dan biaya transaksi. Hal ini sangat bertolak belakang dengan keadaan di Indonesia, misalnya dalam biaya tataniaga dan transaksi. Berbagai media massa melaporkan bahwa suatu produk pertanian menjadi mahal karena biaya  angkutan sangat  mahal,  biaya  transaksi  tinggi,  dikenai  pajak  dan pungutan oleh pemerintah daerah resmi dan tidak resmi dan oleh badan yang tidak resmi. Jika keadaan ini terjadi terus menerus, mustahil keunggulan kompetitif  produk  pertanian  lokal  dapat  terwujud  di  masa  depan.  Oleh karena  itu  upaya  sungguh-sungguh untuk menghapus beban biaya  yang tidak perlu ini di seluruh Indonesia.


KEBIJAKAN ANTISIPATIF INVESTASI
DAN PERDAGANGAN PERTANIAN


Sampai saat ini Indonesia tetap mengundang investasi di berbagai bidang usaha di tanah air, termasuk di bidang pertanian. Perlu disadari bawah investasi di bidang pertanian jauh berbeda dari investasi di bidang industri manufaktur atau tekstil dan alas kaki. Dengan masuknya investasi di bidang industri manufaktur atau pertekstilan, angkatan/tenaga kerja Indonesia yang bertumbuh dengan cepat akan dapat diharapkan dipekerjakan sehingga mendapatkan penghasilan. Namun, industri  manufaktur dan  pertekstilan ini  bersifat  foot  loose,  artinya  mudah berubah arah dan rawan terhadap pasar internasional, pasar modal dan geopolitik dari segi sumber bahan baku dan pemasaran produknya. Sementara itu, investasi di bidang pertanian di Indonesia dapat diarahkan untuk memanfaatkan bahan baku pertanian yang tersedia secara lokal. Walaupun demikian, manfaat investasi pertanian tidak akan terasa bagi  petani, penduduk perdesaan atau  masyarakat secara umum kalau tujuan pasarnya bersifat eksklusif dan hanya mengikuti keinginan investor asing. Kondisi ini akan rawan terhadap penyalahgunaan kekuatan pasar (monopsoni) dengan menggunakan pendekatan supply chain atau value  chain  mechanism  yang  sekarang  ini  sedang  dikampanyekan di  seluruh dunia.

Dengan mekanisme ini, rantai pemasaran akan semakin pendek, para pedagang perantara semakin berkurang karena tujuan pasar menjadi jelas  dan “seolah-olah” efisien. Namun sebenarnya para  petani atau  produsen pertanian tidak akan memperoleh banyak manfaat, karena marjin pendapatan akan sebagian besar dinikmati oleh sejumlah kecil perantara yang memiliki modal (dana, informasi, teknologi, pengetahuan, dan sebagainya), yang menghubungkan produsen dengan konsumen produk pertanian. Contoh di usahatani kopi, mekanisme supply chain atau value chain mechanism telah  mampu membuat rantai pemasaran menjadi semakin pendek dan (seolah-olah) efisien, tetapi sayang yang paling diuntungkan adalah para perusahaan besar multibangsa. Justru para petani tidak memperoleh marjin yang sesuai dengan investasi yang mereka keluarkan   seperti   imbalan   untuk   pemeliharaan   sumberdaya   alam,   modal operasional usahatani, tenaga kerja dan biaya-biaya lain. Sementara para pedagang perantara (agen perusahaan) dan pengecer, yang semuanya terpadu dalam sistem yang  sangat  erat  dari  pengumpulan  bahan  mentah  kopi  dari  petani  sampai pengecer di gerai-gerai/kedai kopi, terutama di kota-kota mendapat keuntungan yang sangat besar.

Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah bahwa investasi asing di sektor pertanian, terutama dari China diduga akan tertarik di sektor usahatani untuk hanya mendapatkan bahan baku/mentah produk pertanian untuk diekspor dan diolah di China. Jika terjadi hal ini tidak akan memberi banyak manfaat terhadap pembangunan perdesaan dan peningkatan pendapatan masyarakat perdesaan.  Selain  itu  kehadiran  mereka  juga  dapat  mengancam  keberadaan industri-industri rumah-tangga yang sekarang ini  telah  berjalan. Padahal yang dibutuhkan Indonesia adalah investasi di industri pertanian di perdesaan yang dapat meningkatkan nilai-tambah produk pertanian untuk dijual ke pasar ekspor dan sekaligus dapat menampung angkatan/tenaga kerja di perdesaan.

Jadi dari pertimbangan-pertimbangan tersebut, disarankan agar pemberian izin investasi asing di bidang pertanian di Indonesia sebaiknya mengikuti berbagai aturan  yang  jelas  dan  tegas.  Aturan-aturan  investasi  ini  seyogyanya  disusun dengan  mempertimbangkan berbagai  aspek  ekonomi,  sosial  dan  budaya  serta kebiasaan masyarakat di mana investasi itu ditempatkan. Selain itu dalam pelaksanaannya perlu diawasi oleh pemerintah pusat/daerah secara berkala antara lain dengan mengevaluasi apakah usaha yang bersangkutan sesuai dengan tujuan investasi awal.








PENUTUP


Komoditas primer dan semi olahan seperti edible fruit and nuts; peel of citrus fruit or melons dan cocoa and cocoa preparations selama sebelas tahun terakhir  ini  mengalami  tren  peningkatan  nilai  ekspor  yang  sangat  tinggi. Sementara komoditas-komoditas yang mengalami tren nilai ekspor negatif, atau cenderung menurun adalah komoditas-komoditas olahan pertanian.

Pemberlakuan Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN-China akan merangsang ekspor komoditas pertanian Indonesia terpusat pada produk pertanian yang sangat primer atau setengah jadi seperti oil seed, cocoa and cocoa preparations , karet alam,  residues & waste from the food indust; preparation and fodder, dan edible fruit and nuts; peel of citrus fruit or melons, sementara impor produk pertanian Indonesia akan memusat pada komoditas-komoditas pangan, sayur dan buah, kecuali daging.

Tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia secara umum dapat meningkat lebih tinggi pada skenario liberalisasi penuh bagi semua komoditas yang diperdagangkan. Di sektor pertanian liberalisasi belum menjadi jaminan peningkatan kesejahteraan petani. Dibutuhkan perbaikan sistem produksi dan industri pengolahan pertanian, kebijakan yang seimbang antara penerapan pungutan ekspor dan insentif bagi produsen primer. Indonesia harus membangun industri yang mendukung sektor pertanian yang dalam jangka panjang dapat membangun pertanian industrial atau pertanian yang mendukung industri.

Pemberian izin investasi asing di bidang pertanian di Indonesia sebaiknya mengikuti berbagai aturan yang jelas dan tegas. Aturan-aturan investasi ini seyogyanya telah disusun sebelumnya dengan mempertimbangkan berbagai aspek ekonomi, sosial dan budaya serta kebiasaan masyarakat di mana investasi itu ditempatkan. Pelaksanaan dan wujud nyata investasi asing perlu diawasi oleh pemerintah pusat/daerah secara berkala dengan mengevaluasi apakah usaha yang bersangkutan sesuai dengan tujuan awal investasi.




DAFTAR PUSTAKA


ASEAN  Secretariat.  2002.  Southeast  Asia:  A  Free  Trade  Area.  ASEAN  Secretariat, Jakarta. http://www.aseansec.org/. Diakses 30 Mei 2005.

Hartono, D., D.S. Priyarsono, T. D. Nguyen and M. Ezaki. 2007. Regional Economic Integration and its Impacts on Growth, Poverty and Income Distribution: The Case of Indonesia. Discussion Paper No.152. Graduate School of International Development, Nagoya University, Japan. http://www.gsid.nagoya-u.ac.jp.

Hong, Y. 2003. The Economic Effects of Bilateral Free Trade Areas among ASEAN, China, Japan and Korea. http://www.ecomod.net/conferences/ecomod2003/ecomod2003_papers/Hong.pd.

Mutakin,  F.  dan  A.  R.  Salam.  2009.  Dampak  Penerapan  ASEAN-China  Free  Trade Agreement (AC-FTA) bagi Perdagangan Indonesia. Economic Review No. 218 Desember      2009.       http://www.bni.co.id/Portals/0/Document/UlasanEkonomi/ACFTA.pdf.

Pambudi, D. and A.C. Chandra 2006. Dampak Kesepakatan Perdagangan Bebas Bilateral ASEAN-China terhadap Perekonomian Indnesia, Jakarta: Institute for Global Justice.

Tambunan, T. 2007. Efek-efek Ekonomi dan Sosial dari Liberalisasi Perdagangan dalam Pertanian di bawah China-ASEAN FTA: Kasus Indonesia.  www.fe.trisakti.ac.id/ pusatstudi_industri/.../2007 tambunan.pdf. Diakses 2 Juni 2010.

Tambunan. T. and A. Suparyati. 2009.  ASEAN-China Trade  Liberalisation  Effect on Indonesian Agricultural Production and Trade. Policy Discussion Paper Series, Center for Industry, SME and Business Competition Studies, Trisakti University. Jakarta. http://www.fe.trisakti.ac.id/pusatstudi_industri/pusat study tulus tambunan/pusat studi/policy discussion paper/pdf3.pdf. Diakses 29 Juni 2010. 
Tong, S. Y. and C. C. S. Keng. 2010. China-ASEAN FTA in 2010_A Regional Perspective-Apr1210. EAI Background Brief No. 519. http://www.nus.edu.sg/NUSinfo/EAI/BB519.pdf. Diakses 4 Oktober

No comments:

Post a Comment