IMPLIKASI
PERDAGANGAN BEBAS WILAYAH ASEAN-CHINA TERHADAP PERDAGANGAN DAN INVESTASI
PERTANIAN INDONESIA
SUWANDI S SANGADJI
ABSTRAK
Sebuah
babak baru pola perdagangan Indonesia dan China telah terjadi dengan
kesepakatan perdagangan bebas/KPB
ASEAN-China yang berlaku efektif sejak 1 Januari 2010 tahun lalu, setelah
penandatanganan
kerangka awalnya pada
4 November 2002
dan ratifikasi pemerintah
melalui KEPPRES No. 48 pada 16 Juni 2004. Kesepakatan perdagangan bebas ASEAN
dan ASEAN-China ini tentu
saja memberikan tantangan dan
peluang bagi berbagai komoditas pertanian
yang diproduksi di dalam negeri, baik untuk
tujuan ekspor maupun untuk konsumsi di dalam
negeri. Makalah ini bertujuan untuk
menganalisis kebijakan
perdagangan bebas
ini
dan dampaknya terhadap pengembangan komoditas utama pertanian nasional. Makalah menyimpulkan antara lain bahwa pemberlakuan
Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN-China mulai tahun 2010 akan merangsang ekspor komoditas pertanian Indonesia terpusat pada produk pertanian yang sangat primer atau setengah
jadi, sedangkan impor
produk pertanian Indonesia akan
memusat pada komoditas-komoditas pangan, sayur
dan buah, kecuali daging. Untuk membangun
industri
pengolahan pertanian di
dalam negeri, kebijakan
yang seimbang antara penerapan pungutan ekspor dan insentif bagi produsen primer pertanian sangat
diperlukan.
Kata kunci : kawasan-perdagangan-bebas,
tarif, daftar pengecualian,
komoditas, investasi
PENDAHULUAN
Sebuah babak baru pola perdagangan
Indonesia dan China telah terjadi
dengan kesepakatan perdagangan bebas/KPB ASEAN-China sejak 1 Januari 2010
tahun lalu, setelah penandatanganan kerangka awalnya pada 4 November 2002 dan
diratifikasi oleh pemerintah melalui KEPPRES
No. 48 pada 15 Juni 2004. Sudah hampir 20 tahun Indonesia bersama
dengan negara-negara tetangganya di Asia Tenggara berada dalam kerangka Kawasan Perdagangan
Bebas/KPB atau Free Trade
Area/FTA. Mereka telah menerapkan program penurunan tarif sejak tahun 2002 dengan mekanisme
penurunan tarif istimewa secara efektif dan bersama- sama atau Common Effective
Preferential Tariff/CEPT dimana produk-produk
yang dimasukkan dalam tiga kelompok yang berbeda, yakni kelompok jalur cepat
atau fast track, jalur normal atau normal
track dan jalur pengecualian
sementara atau exclusion list. Kemudian pada 4 November 2002, kembali ASEAN menanda- tangani kesepakatan kerangka awal ASEAN-China dan secara efektif
berlaku 1 Januari 2010. Kesepakatan perdagangan bebas ASEAN dan ASEAN-China ini tentu saja memberikan
tantangan dan peluang bagi berbagai komoditas pertanian yang diproduksi
di dalam negeri, baik untuk tujuan
ekspor
maupun untuk
konsumsi di dalam negeri.
Sekretariat ASEAN (2002) memproyeksikan bahwa KPB ASEAN-China akan meningkatkan PDB 0,9 persen di ASEAN dan 3 persen di China. Analisis
simulasi Harsono
et al. (2007) juga mempraduga bahwa KPB ASEAN-China dan KPB Indonesia-China akan meningkatkan PDB Indonesia masing-masing sekitar 0,26 persen dan 0,20 persen.
Kesejahteraan masyarakat
ASEAN
dan
China
menurut Hong (2003) akan meningkat masing-masing sebesar 4,19 milyar dolar
AS dan 1,5 miliar dolar AS dengan pemberlakuan KPB.
Makalah ini bertujuan
untuk: (1) memberi gambaran tentang kinerja perdagangan ekspor dan
impor komoditas pertanian dan mengidentifikasi
kelompok komoditas utama
yang diperdagangkan dan dipasarkan antara Indonesia dan China, (2) membahas berbagai tantangan dan peluang pengembangan komoditas
utama ini dan kaitannya dengan investasi asing, dan (3) mengusulkan berbagai saran-saran kebijakan untuk menghadapi tantangan dan memanfaatkan peluangnya.
EKSPOR KOMODITAS PERTANIAN INDONESIA KE CHINA
Dari 23 kelompok
komoditas pertanian
ekspor Indonesia
ke China dalam HS 2 digit, yakni HS 01-HS 24 kecuali
HS 03, yang tercatat
dalam WITS pada masa 1996-2007
terdapat 18 kelompok yang memiliki data secara berurutan.
Dari ke 18 kelompok
ini, lima kelompok komoditas dengan tren ekspor positif terbesar
adalah:
Daftar di bawah ini memberikan gambaran bahwa komoditas-komoditas
yang selama sebelas tahun terakhir ini mengalami tren nilai ekspor
yang
sangat menakjubkan adalah komoditas
primer dan semi olahan seperti edible fruit and
nuts; peel of citrus fruit or melons dan cocoa and cocoa preparations.
HS
08
|
Descriptions
Edible fruit
and nuts; peel of citrus fruit
or melons
|
Tren
9640,88
|
|
18
|
Cocoa and cocoa preparations
|
7430,20
|
|
07
|
Edible vegetables and certain roots and tubers
|
5047,84
|
|
14
|
Vegetable plaiting materials; vegetable products nes
|
2350,25
|
|
23
|
Residues & waste from the food indust;
preparation and fodder
|
2323,19
|
|
Kelompok komoditas
dengan tren ekspor negatif
adalah:
|
|||
HS
15
|
Descriptions
Animal/veg
fats & oils
& their cleavage products; etc
|
Tren
-148749,28
|
|
12
|
Oil seed,
oleagi fruits; miscell grain,
seed, fruit etc
|
-2874,68
|
|
19
|
Prep.of cereal, flour, starch/milk;
pastry cooks' prod
|
-966,33
|
|
21
|
Miscellaneous edible preparations
|
-291,67
|
|
05
|
Products of animal origin, nes or included
|
-135,15
|
|
20
|
Prep of vegetable,
fruit, nuts or other
parts of plants
|
-72,45
|
|
Dari data di atas ditunjukkan bahwa nilai ekspor komoditas-komoditas ini cenderung masih meningkat.
Mutakin dan Salam (2009) mendapatkan
juga kesimpulan yang sama. Komoditas pertanian yang nilai ekspornya paling besar dan memiliki kecenderungan peningkatan ekspor cukup nyata adalah kelompok
produk pertanian seperti minyak nabati/sawit (HS 15), karet
dan barang
dari padanya (HS 40), pulp dari kayu atau dari bahan selulosa berserat lainnya; kertas atau kertas karton yang diputihkan (sisa dan skrap) (HS 47), dan biji logam, kerak dan
abu (HS 26). Dengan demikian, kesepakatan AC-FTA berpotensi memberi
keuntungan pada kelompok produk-produk ini.
Peningkatan impor China
atas produk-produk primer ini merupakan akibat dari kebijakan
industrialisasi yang
dijalankan pemerintah
China, terutama selama 20 tahun terakhir ini di mana
banyak industri membutuhkan
bahan baku yang tidak cukup dan bahkan tidak tersedia di China.
Sementara itu yang mengalami tren nilai ekspor negatif, atau dengan kata lain
nilai
ekspor
cenderung menurun adalah
komoditas-komoditas olahan pertanian, karena industri pengolahan China sudah mampu menggantikan
kebutuhan impornya dari produksi dalam negeri akibat kebijakan industrialisasi. Hal ini menjadi suatu ironi bagi Indonesia yang ingin mengembangkan industri pengolahan pertaniannya, tetapi menguntungkan
petani penghasil. Dari sudut
pandang petani atau produsen komoditas pertanian lainnya dikatakan
menguntungkan karena bagi mereka manfaatnya lebih langsung dibanding kalau produk ini harus diolah di dalam negeri.
Hal ini terjadi karena umumnya harga fob komoditas relatif lebih tinggi dari harga pembelian industri pengolahan lokal,
apalagi kalau komoditas tersebut
dikenakan pungutan ekspor.
Secara teoritis,
dampak pengenaan pungutan ekspor bagi suatu komoditas memberikan tiga kemungkinan,
yaitu: (1) menekan harga di dalam negeri, (2)
menaikkan harga di pasar dunia,
dan (3) gabungan keduanya. Namun, pengalaman menunjukkan bahwa harga
komoditas bersangkutan di dalam negeri menurun,
dan akibat berikutnya
harga yang diterima petani juga menurun.
Inilah keadaan yang lebih
sering terjadi. Padahal,
pungutan ekspor ini diberlakukan pemerintah mempunyai tujuan
yang baik, yaitu
untuk melindungi pasokan
bahan mentah kepada industri pengolahan pertanian dalam negeri,
disamping untuk mendapatkan
dana bagi kebutuhan pembangunan.
Kalau ditinjau
dari perspektif jangka panjang pengembangan
industri pengolahan produk pertanian merupakan langkah yang sangat strategis, karena
permintaan konsumen dalam negeri akan terus meningkat
dengan peningkatan pendapatan
dan
jumlah penduduk. Selain itu, ada harapan kesempatan
kerja akan terbuka dengan berkembangnya industri pengolahan pertanian
di perdesaan. Oleh
karena itu, diperlukan kebijakan
yang seimbang antara
penerapan pungutan ekspor
dan insentif bagi produsen primer pertanian.
IMPOR KOMODITAS PERTANIAN INDONESIA DARI CHINA
Dengan cara yang sama dengan di atas
dapat diidentifikasi lima kelompok
komoditas impor pertanian terbesar Indonesia dari China, yaitu:
HS
|
Descriptions
|
Tren
|
10
|
Cereals
|
126853,14
|
24
|
Tobacco and manufactured tobacco
substitutes
|
44805,47
|
07
|
Edible vegetables and certain roots and tubers
|
30164,80
|
17
|
Sugars and sugar
confectionery
|
23177,29
|
12
|
Oil seed, oleagi fruits; miscell grain,
seed, fruit etc
|
14462,55
|
dan kelompok komoditas dengan
tren negatif adalah:
HS
|
Descriptions
|
Tren
|
08
|
Edible
fruit and nuts; peel of citrus fruit or melons
|
-16870,13
|
21
|
Miscellaneous
edible preparations
|
-6800,56
|
11
|
Prod.mill.indust;
malt; starches; inulin; wheat gluten
|
-4868,29
|
22
|
Beverages,
spirits and vinegar
|
-1512,04
|
13
|
Lac;
gums, resins & other vegetable saps & extracts
|
-688,80
|
19
|
Prep.of
cereal, flour, starch/milk; pastrycooks' prod
|
-79,07
|
Dua daftar di atas menunjukkan bahwa Indonesia semakin banyak mengimpor bahan pangan seperti
cereals, vegetables, sugar dan buah-buahan dan lain-lain, sementara impor edible fruit and nuts; peel of citrus fruit
or melons; miscellaneous edible preparations; beverages, spirits and vinegar;
prod.mill.indust; malt; starches; inulin; wheat gluten menurun dengan tajam.
Pertumbuhan impor produk-produk pangan ini di Indonesia,
tentu saja tidak terlepas dari peningkatan kebutuhan, baik manusia maupun industri dalam negeri, sementara pasokan dalam negeri semakin terbatas karena berbagai
hal antara lain
keterbatasan lahan pengembangan, keterbatasan teknologi,
keterbatasan keterampilan dan keterbatasan modal usaha.
Peningkatan impor atas cereals menunjukkan
bahwa persoalan pangan di dalam
negeri belum dapat diatasi, dalam arti kebutuhan dalam negeri belum dapat dipenuhi oleh produksi
dalam negeri. Namun, pemenuhan kebutuhan dalam negeri dari produksi dalam negeri tidaklah bermaksud untuk menutup diri terhadap
pasar internasional, tetapi untuk menggugah kesadaran bahwa potensi sumberdaya alam dan
pertanian yang ada di negeri ini akan menjadi sia-sia
kalau tidak digali untuk
kemaslahatan bangsa. Jelas bahwa ketergantungan terhadap impor dapat menghambat pemanfaatan
potensi pangan sumberdaya lokal ini.
NERACA PERDAGANGAN PERTANIAN INDONESIA-CHINA
Hasil-hasil
yang
diperoleh dari analisis kinerja ekspor
dan impor Indonesia-China di atas dapat dipertegas lagi dengan perhitungan lebih lanjut pada neraca perdagangan Indonesia-China.
Delapan dari 23 kelompok komoditas
pertanian menunjukkan tren nilai neraca perdagangan positif
dan sisanya sebanyak
15 kelompok mempunyai tren negatif selama 11 tahun
terakhir
ini.
Lima
kelompok terbesar diantaranya
adalah edible fruit and nuts; peel of citrus
fruit or melons; cocoa and cocoa preparations;
miscellaneous edible preparations; prod.mill.indust; malt; starches;
inulin; wheat gluten dan beverages, spirits and vinegar.
Lima kelompok dengan tren penurunan nilai neraca perdagangan
terbesar adalah animal/veg fats & oils & their cleavage products; etc; cereals; tobacco and manufactured tobacco substitutes; edible vegetables and certain roots and tubers. sugars and sugar
confectionery.
Sementara itu
komoditas-komoditas seperti tobacco and manufactured tobacco substitutes; edible vegetables and certain roots and tubers, seperti
gaplek atau manioc; vegetable planting materials;
vegetable products nes; coffee, tea,
matï and spices; meat and edible meat offal; prep.of
cereal, flour, starch/milk; pastry cooks' products yang selama ini dianggap
sebagai harapan ekspor di masa depan, tampaknya tidak sesuai dengan kenyataan karena
semua produk
ini mempunyai tren nilai neraca perdagangan
yang
negatif dalam kurun waktu 11 tahun terakhir ini. Kalau pun kerangka KPB ASEAN-China
diberlakukan, memungkinkan tren
ini tidak dapat dibalik,
kecuali ada langkah-langkah luar biasa
dan tidak terduga. Artinya, dapat diduga bahwa
pemberlakuan KPB ASEAN- China akan secara persisten
menurunkan neraca perdagangan pada berbagai produk tersebut di atas.
Dari
analisis dan pembahasan di atas
dapat
dikatakan
bahwa dengan pemberlakuan Kawasan
Perdagangan Bebas ASEAN-China mulai tahun 2010 ini, ekspor
komoditas pertanian Indonesia
akan terpusat pada produk pertanian
yang
sangat primer atau setengah jadi seperti oil seed, cocoa
and cocoa preparations ,
karet alam, residues & waste from the food indust; preparation and fodder, dan edible fruit and nuts; peel of citrus fruit or melons. Sementara impor produk pertanian Indonesia akan memusat pada komoditas-komoditas
pangan, sayur dan buah,
kecuali daging. China akan membutuhkan beberapa produk primer dari
ASEAN seperti kayu, biji besi, karet dan berbagai
buah tropis untuk mengembangkan ekonominya (Tong dan Keng, 2010).
DAMPAK PEMOTONGAN TARIF DALAM KERANGKA KPB
ASEAN-CHINA
Metode Analisis
Keseimbangan Umum dengan dua skenario,
yakni (1) liberalisasi penuh (pemotongan tarif sebesar 100 persen) pada seluruh produk
pertanian ASEAN dan China dan (2) liberalisasi penuh pada seluruh produk yang
diperdagangkan ASEAN dan China
memberikan hasil sebagai berikut:
(a) Kesejahteraan masyarakat Indonesia
pada
skenario (1) menurun sebesar AS$
-14,33 juta, atau setara Rp. 128,97 milyar (pada nilai tukar Rp. 9,000
per dolar AS), tetapi pada skenario (2) meningkat sebesar AS$ 319,82 juta, atau setara Rp. 2.878,38 milyar karena pendapatan rumahtangga
regional Indonesia menurun sebesar
-0,08 persen pada skenario (1), tetapi meningkat
sebesar 1,13 persen pada skenario
(2),
(b) Produksi komoditas olahan pertanian, padi/beras,
padi-padian
lainnya, sayuran
dan buah, tanaman lain menurun dengan kisaran antara 0,01 persen sampai 0,16 persen pada skenario
(1). Sedangkan pada skenario (2) hampir
semua produk pertanian
dan
olahannya menurun pada kisaran 0,11 persen
sampai 1,10 persen,
(c) Jumlah ekspor olahan pertanian, padi/beras dan sayur serta buah menurun sebesar 0,74 persen sampai 24,64 persen, ekspor gandum, padi-padian lainnya, biji-bijian mengandung minyak, pucuk tebu, bit gula, serat dari
tanaman dan tanaman lainnya meningkat antara
0,01 persen sampai 0,64
persen pada skenario (1), sedangkan
pada skenario (2) ekspor seluruh
produk ini menurun sebesar 0,6 persen sampai 28,21 persen, kecuali untuk pucuk tebu dan bit gula
yang meningkat sebesar
9,13 persen,
(d) Jumlah impor gandum, padi-padian lainnya, biji-bijian mengandung minyak dan pucuk tebu dan gula bit menurun antara 0,15 persen
sampai 0,64 persen, sementara untuk produk olahan pertanian, padi/beras, sayur dan buah, serat dari tanaman dan tanaman lainnya meningkat
antara 0,06 persen
sampai
2,62
persen
pada
skenario (1). Pada skenario (2) impor
untuk seluruh produk pertanian ini meningkat antara 0,43
persen sampai 4,08
persen,
kecuali gandum menurun
0,15 persen. Laju
peningkatan impor terbesar terjadi pada sayur dan buah,
Dari hasil-hasil ini dapat disimpulkan bahwa meskipun tingkat
kesejahteraan masyarakat Indonesia secara umum dapat meningkat lebih tinggi pada skenario liberalisasi penuh bagi semua komoditas yang diperdagangkan, di sektor pertanian belum tentu diikuti
dengan perbaikan pada produksi dan ekspor
komoditas andalannya. Oleh karena itu, liberalisasi ini belum menjadi jaminan peningkatan kesejahteraan petani atau produsen komoditasnya.
Hal ini sejalan dengan penelitian Pambudi dan Chandra (2006) serta Tambunan (2007) yang menyimpulkan bahwa petani-petani Indonesia
akan mengalami lebih banyak kerugian daripada keuntungan dari
program tersebut
dan Indonesia akan menjadi
sebuah negara anggota ASEAN yang dirugikan
dari kesepakatan perdagangan
regional tersebut.
TANTANGAN DAN PELUANG
Apakah Tantangan dapat dijadikan sebagai Peluang?
Pemberlakuan
KPB ASEAN-China memberikan tantangan yang sangat berat pada produk pertanian
dan masyarakat pertanian Indonesia, tetapi tantangan
tersebut dapat juga dijadikan sebagai titik tolak untuk sekaligus menggali
peluang agar Indonesia mampu mendaya-gunakan pertaniannya. Tantangan-tantangan tersebut adalah:
(a) Kecenderungan China Mengimpor Bahan Baku.
Dalam pengembangan ekonominya China akan cenderung mengimpor
produk-produk primer dari Indonesia dan bahkan dari negara-negara mitra dagangnya, karena negara besar ini tentu tidak akan mau mengambil
risiko industrinya terganggu, termasuk industri pertaniannya.
Gangguan yang terjadi pada sektor industrinya akan mengancam lapangan pekerjaan bagi ratusan juta masyarakat
China. Hal ini bertentangan
dengan prakiraan Tong dan
Keng (2010) yang menyatakan
bahwa untuk menyeimbangkan ekonominya di dalam jangka panjang dan mengembangkan
pasar konsumennya, China berpotensi menjadi pasar ekspor
ASEAN bukan hanya bagi produk-produk sumberdaya
alam, tetapi juga
barang-barang
manufaktur. Untuk
mengatasi hal ini, maka Indonesia mulai saat ini juga harus
membangun
industri yang mendukung sektor pertanian yang
kemudian dalam jangka panjang dapat membangun pertanian
industrial atau pertanian yang mendukung industri.
(b) Penerapan Kekuatan Negara.
Sistem
perekonomian China sampai saat ini didominasi
oleh
kekuatan
negara (state) dan bukan kekuatan pasar semata, dan secara nyata menunjukkan kinerja yang sangat baik, setidaknya dalam sewindu terakhir ini juga mendukung
kekuatan ekonomi China di dalam dan luar negeri. Hal ini
menyebabkan berbagai
produk mereka,
baik
di
sektor
pertanian
sekalipun dapat dihasilkan dengan biaya yang
sangat murah karena
sebagian besar biaya tetap dan biaya operasional, terutama biaya tenaga kerja dan masukan produksi dipikul oleh negara. Hal ini sulit ditandingi oleh negara mana pun saat ini, apalagi bagi Indonesia
yang sekarang
ini lebih mementingkan gerakan demokrasi secara prosedural. Arus global dalam
HAM dan
liberalisasi
telah mempengaruhi
pengambilan keputusan di tingkat pemerintahan Indonesia.
(c) Ekonomi Skala
Kolektif.
Dengan kekuatan
dominan negara dalam segala aspek perekonomian, maka ekonomi skala berbasis kolektif dapat diterapkan China dan memberi manfaat besar dalam meningkatkan
keunggulan komparatif dan kompetitif produk-produk
China, terutama untuk produk usaha pertanian dan rumah- tangga perdesaan. Hal ini harus menjadi
perhatian di Indonesia, terutama di sektor
pertanian dengan membangkitkan
dan memanfaatkan modal kebersamaan yang telah dibangun
melalui kelompok tani dan atau gabungan kelompok tani/gapoktan.
Seharusnya kelompok tani/gapoktan direvitalisasi
lagi untuk membangun kepercayaan dan kebersamaan di antara para anggota
dan lebih dimanfaatkan untuk
tujuan pembangunan
ekonomi skala dari pada tujuan-tujuan jangka pendek.
(d) Kerja
Keras dan Naluri Bisnis.
Fakta secara jelas menunjukkan bahwa di berbagai belahan
dunia ini keturunan China merupakan pedagang
dan atau pengusaha yang sangat ulet
dan tegar. Boleh jadi mereka yang ada di mana-mana adalah katalisator, wahana atau agen perdagangan
Negara China di pelosok di dunia ini,
termasuk Indonesia. Dari berbagai informasi di media massa dilaporkan
bahwa pedagang atau pengusaha kecil atau besar Indonesia, dan bahkan dari negara-negara maju dan tidak hanya yang keturunan
China, saat ini banyak
yang menanamkan investasi di berbagai industri
yang berkembang di China. Sementara itu di Indonesia,
meskipun telah mengikrarkan satu bangsa, bangsa Indonesia sampai saat ini tampak masih belum betul-betul bersatu. Dengan demikian
keunggulan komparatif dan kompetitif di pasar
internasional dan bahkan di pasar dalam negeri sendiri akan sulit tercipta
kalau kesatuan ini belum terwujud dalam kehidupan
sehari-hari. Diharapkan
saudara-saudara sebangsa dan setanah air yang keturunan China yang berkiprah di bidang perdagangan, jasa dan industri dapat menjadi pelopor pembangunan pertanian dan industri pertanian
di tanah air yang mampu bersaing dan efisien dan bukan menjadi penyalur produk-produk
pertanian China di Indonesia.
(e) Keutuhan Modal Sosial.
Modal sosial masyarakat China telah mampu membawa
mereka menapaki langkah pembangunan ekonomi demi kemajuan bangsanya. Salah satu unsur
modal sosial itu adalah kebanggaan masyarakatnya terhadap
pemakaian dan pengkonsumsian produk
dalam negerinya sendiri. Bahkan
pada produk- produk pangan
mereka tidak terlalu
banyak
terpengaruh pada produk- produk pangan asing. Hal ini tentu menciptakan
permintaan yang sangat besar terhadap produk-produk
lokal mereka, dan pada gilirannya membangkitkan upaya
pengembangan produk hulunya.
Hal
ini
patut
menjadi perhatian di Indonesia. Yang seharusnya bangga dengan produk
lokal, termasuk produk-produk pertanian.
Kalau bangsa Indonesia tidak lagi
menyukai dan membeli jeruk Medan dan apel Malang, jangan berharap produk-produk
pertanian ini ada di nusantara ini. Oleh karena itu sejak saat ini seluruh pemangku
kepentingan perlu memikirkan langkah-langkah nyata
dan cerdas untuk mambangun
kecintaan dan kemauan untuk membeli
produk-produk pertanian lokal.
Modal sosial harus dibangun oleh semua anak bangsa, semua suku, agama dan ras yang ada di Indonesia.
(f) Keunggulan Kompetitif.
Keunggulan kompetitif produk-produk pertanian China di pasar internasional telah diakui, setidaknya dari indikator
harga. Hal ini boleh jadi tercipta karena berbagai hal seperti keefisienan dalam proses produksi (biaya masukan produksi dan
tenaga kerja yang murah), ekonomi skala;
penerapan teknologi yang tepat
dan efisien serta efisiensi
dalam tataniaga dan biaya transaksi. Hal ini sangat bertolak belakang
dengan keadaan di Indonesia,
misalnya dalam biaya tataniaga
dan transaksi. Berbagai
media massa melaporkan bahwa suatu produk pertanian menjadi mahal karena biaya angkutan sangat
mahal,
biaya transaksi tinggi, dikenai
pajak dan pungutan oleh pemerintah daerah resmi dan tidak resmi dan oleh badan yang
tidak resmi. Jika keadaan
ini terjadi terus menerus,
mustahil keunggulan
kompetitif produk pertanian lokal dapat
terwujud di masa
depan.
Oleh
karena itu upaya sungguh-sungguh untuk menghapus
beban biaya yang tidak
perlu ini di seluruh
Indonesia.
KEBIJAKAN ANTISIPATIF INVESTASI
DAN PERDAGANGAN PERTANIAN
Sampai saat ini Indonesia tetap mengundang investasi di berbagai
bidang usaha di tanah air, termasuk di bidang pertanian. Perlu disadari bawah investasi
di bidang pertanian jauh berbeda dari investasi di bidang industri manufaktur atau tekstil dan alas kaki. Dengan masuknya investasi di bidang industri
manufaktur atau pertekstilan, angkatan/tenaga kerja Indonesia yang bertumbuh dengan cepat akan
dapat diharapkan dipekerjakan sehingga mendapatkan
penghasilan. Namun,
industri manufaktur dan pertekstilan ini bersifat “foot
loose”, artinya mudah berubah arah dan rawan terhadap pasar internasional, pasar modal dan geopolitik
dari segi sumber bahan baku dan pemasaran produknya. Sementara itu, investasi di
bidang pertanian di Indonesia dapat diarahkan untuk
memanfaatkan bahan
baku pertanian yang tersedia secara lokal. Walaupun
demikian, manfaat investasi
pertanian tidak akan terasa bagi
petani, penduduk
perdesaan atau
masyarakat secara umum kalau tujuan pasarnya bersifat eksklusif
dan hanya mengikuti keinginan investor
asing. Kondisi ini akan rawan terhadap penyalahgunaan
kekuatan pasar (monopsoni)
dengan menggunakan pendekatan supply
chain atau value chain mechanism yang
sekarang
ini
sedang
dikampanyekan di
seluruh
dunia.
Dengan mekanisme ini, rantai pemasaran
akan semakin pendek, para pedagang perantara semakin berkurang karena tujuan
pasar menjadi jelas
dan “seolah-olah” efisien. Namun sebenarnya para petani atau produsen pertanian
tidak akan memperoleh
banyak manfaat, karena marjin pendapatan akan sebagian besar dinikmati oleh sejumlah kecil perantara
yang memiliki modal (dana, informasi, teknologi, pengetahuan, dan sebagainya), yang menghubungkan
produsen dengan konsumen
produk pertanian. Contoh di usahatani kopi, mekanisme supply chain atau value
chain mechanism telah mampu membuat
rantai pemasaran menjadi semakin pendek dan (seolah-olah) efisien, tetapi sayang
yang
paling diuntungkan adalah para perusahaan besar multibangsa. Justru para petani tidak memperoleh
marjin yang sesuai dengan investasi
yang mereka keluarkan
seperti
imbalan untuk
pemeliharaan sumberdaya alam, modal
operasional usahatani, tenaga
kerja dan biaya-biaya lain.
Sementara para pedagang
perantara (agen perusahaan) dan pengecer, yang semuanya terpadu dalam sistem yang sangat erat dari pengumpulan
bahan mentah kopi
dari
petani
sampai
pengecer di gerai-gerai/kedai kopi, terutama di kota-kota mendapat keuntungan yang sangat besar.
Hal lain yang perlu dipertimbangkan
adalah bahwa investasi asing di sektor pertanian, terutama dari China diduga akan tertarik
di sektor usahatani untuk hanya mendapatkan bahan baku/mentah produk
pertanian untuk diekspor dan
diolah di China. Jika terjadi hal ini tidak akan memberi banyak manfaat terhadap pembangunan perdesaan dan peningkatan pendapatan masyarakat
perdesaan. Selain itu kehadiran
mereka juga dapat mengancam
keberadaan industri-industri rumah-tangga yang sekarang ini
telah berjalan. Padahal
yang dibutuhkan Indonesia adalah
investasi di industri
pertanian di perdesaan yang dapat meningkatkan nilai-tambah produk pertanian untuk dijual ke pasar ekspor
dan sekaligus dapat menampung angkatan/tenaga kerja di perdesaan.
Jadi dari pertimbangan-pertimbangan tersebut, disarankan agar pemberian izin investasi asing di bidang pertanian di Indonesia
sebaiknya mengikuti berbagai aturan yang jelas dan tegas. Aturan-aturan
investasi ini seyogyanya disusun
dengan mempertimbangkan
berbagai aspek ekonomi, sosial dan budaya serta
kebiasaan masyarakat di mana investasi itu ditempatkan. Selain itu dalam
pelaksanaannya perlu diawasi oleh pemerintah pusat/daerah secara berkala antara lain dengan mengevaluasi apakah usaha yang bersangkutan sesuai dengan tujuan
investasi awal.
PENUTUP
Komoditas
primer dan semi olahan seperti edible
fruit and nuts; peel of
citrus fruit or melons dan cocoa and cocoa preparations
selama sebelas tahun terakhir ini mengalami tren peningkatan
nilai ekspor yang sangat
tinggi. Sementara komoditas-komoditas
yang
mengalami tren nilai ekspor negatif, atau cenderung menurun adalah komoditas-komoditas
olahan pertanian.
Pemberlakuan
Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN-China akan merangsang ekspor komoditas pertanian Indonesia terpusat pada produk pertanian
yang
sangat primer atau setengah jadi seperti oil seed, cocoa and cocoa preparations , karet alam, residues
& waste from the food indust;
preparation and fodder, dan edible fruit and nuts; peel of citrus fruit or melons,
sementara impor
produk pertanian Indonesia akan memusat pada komoditas-komoditas pangan, sayur dan buah, kecuali daging.
Tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia secara umum dapat
meningkat lebih tinggi
pada skenario liberalisasi penuh
bagi semua komoditas yang
diperdagangkan. Di sektor
pertanian liberalisasi belum menjadi jaminan
peningkatan kesejahteraan petani. Dibutuhkan perbaikan sistem produksi dan industri pengolahan pertanian, kebijakan yang seimbang antara
penerapan pungutan ekspor dan insentif
bagi produsen primer. Indonesia harus membangun industri yang mendukung sektor pertanian yang dalam jangka panjang dapat membangun pertanian
industrial atau pertanian
yang mendukung industri.
Pemberian izin investasi asing di bidang pertanian di Indonesia sebaiknya mengikuti berbagai aturan yang jelas dan tegas. Aturan-aturan
investasi ini seyogyanya telah disusun sebelumnya dengan mempertimbangkan berbagai aspek ekonomi, sosial dan budaya serta kebiasaan masyarakat di
mana investasi itu ditempatkan. Pelaksanaan dan wujud nyata investasi
asing perlu diawasi
oleh pemerintah pusat/daerah secara berkala
dengan mengevaluasi apakah usaha yang
bersangkutan sesuai dengan
tujuan awal investasi.
DAFTAR PUSTAKA
ASEAN
Secretariat. 2002. Southeast
Asia:
A
Free
Trade Area.
ASEAN Secretariat, Jakarta. http://www.aseansec.org/. Diakses 30
Mei 2005.
Hartono, D., D.S. Priyarsono, T.
D. Nguyen and M. Ezaki.
2007. Regional Economic Integration and its Impacts on Growth, Poverty and Income Distribution: The
Case of Indonesia. Discussion Paper No.152. Graduate School of International Development, Nagoya University, Japan.
http://www.gsid.nagoya-u.ac.jp.
Hong, Y. 2003. The Economic Effects
of Bilateral Free Trade Areas among ASEAN,
China, Japan and Korea. http://www.ecomod.net/conferences/ecomod2003/ecomod2003_papers/Hong.pd.
Mutakin, F. dan
A.
R.
Salam. 2009. Dampak Penerapan
ASEAN-China Free
Trade
Agreement (AC-FTA)
bagi Perdagangan Indonesia. Economic Review No. 218 Desember
2009.
http://www.bni.co.id/Portals/0/Document/UlasanEkonomi/ACFTA.pdf.
Pambudi, D. and A.C. Chandra
2006. Dampak Kesepakatan Perdagangan Bebas Bilateral ASEAN-China terhadap Perekonomian Indnesia,
Jakarta: Institute for Global Justice.
Tambunan, T.
2007. Efek-efek Ekonomi
dan Sosial dari Liberalisasi Perdagangan dalam Pertanian di bawah China-ASEAN FTA: Kasus Indonesia.
www.fe.trisakti.ac.id/ pusatstudi_industri/.../2007 tambunan.pdf. Diakses
2 Juni 2010.
Tambunan. T. and
A. Suparyati.
2009. ASEAN-China Trade Liberalisation
Effect on Indonesian Agricultural
Production and Trade. Policy Discussion Paper Series, Center for Industry,
SME and Business Competition Studies, Trisakti University. Jakarta. http://www.fe.trisakti.ac.id/pusatstudi_industri/pusat
study tulus tambunan/pusat
studi/policy discussion paper/pdf3.pdf. Diakses 29 Juni 2010.
Tong, S. Y. and C. C. S. Keng. 2010. China-ASEAN
FTA in 2010_A Regional
Perspective-Apr1210. EAI Background Brief No.
519. http://www.nus.edu.sg/NUSinfo/EAI/BB519.pdf. Diakses 4 Oktober
No comments:
Post a Comment