Thursday, September 18, 2014

KIAT-KIAT REVOLUSI MENTAL DALAM MEWUJUDKAN GOOD GOVERNANCE




MATA KULIAH :
HUMAN RESOURCE MANAGEMENT

KIAT “REVOLUSI MENTAL” JOKO WIDODO
DALAM MEWUJUDKAN GOOD GOVERNANCE

Oleh
SUWANDI S SANGADJI
55113120209
Program Pascasarjana Magister Manajemen
Universitas Mercubuana Jakarta
Jl. Meruya Selatan, Kebun Jeruk - Jakarta Barat
Wandy_sangadji@yahoo.com

Fenomena yang menarik dari penyelenggaraan Pemilukada Jakarta Tahun 2013 adalah tampilnya pasangan Jokowi-Ahok. Awalnya penampilan pasangan Jokowi-Ahok  kurang menarik, karena tidak hanya berhadapan dengan beberapa pasangan yang sudah popular seperti misalnya pasangan Fauzi Bowo dan pasangan Nur Wahid; namun performance Jokowi-Ahok  itu sendiri  tidak meyakinkan publik. Dengan penampilan kostum merah bermotifkan kotak-kotak, Jokowi-Ahok tampak menjadi peserta Pemilukada yang sederhana. 
Sulit mengalahkan incumbent memang benar, karena Pasangan Fauzi Bowo-Nacrhowi tidak hanya popular sebagai incumbent tetapi juga karena pasangan ini didukung oleh partai yang tengah berkuasa. Namun kenyataan menunjukkan lain, ternyata pasangan Jokowi-Ahok - yang terlihat sederhana dan terkesan merakyat – justru berhasil memenangkan Pemilukada Jakarta Tahun 2013!
Itulah fenomena politik yang terbentuk dari proses demokrasi yang menjadi pilihan kita dalam membangun tatanan kehidupan politik. Fenomena politik yang demikian itu bisa terjadi bila mayoritas rakyat berbicara dan menunjukkan pilihannya secara langsung. Pemilukada Jakarta tahun 2013 memberi pelajaran kepada kita, bahwa sesungguhnya popularitas itu tidak sepenuhnya menjamin seseorang akan terpilih menjadi pemenang pemilu – meskipun kerja keras untuk memenangkan juga diperlukan.Terrnyata, ada hal-hal lain yang perlu dipertimbangkan, ada hal-hal lain yang  berada di luar  jangkauan hitung-hitungan matematik politik. Hal-hal lain di luar hitung-hitungan matematik politik itulah yang muncul dari serorang Jokowi – sosok lugu yang sederhana, dan dengan bahasa yang sederhana mampu menggugah publik dengan perilaku kepemimpinan yang bersahaja. Dengan kesederhanaan dan kesahajaan yang ditampilkannya Jokowi tampak memberi warna baru dalam kancah kepemimpinan politik. Tampilan ini jelas sangat berbeda dengan tampilan SBY yang selalu berupaya  untuk tampil sebagai sosok ”bourgeois”,  ”terpelajar”,  ”bijaksana”, dan ”santun”. Walaupun kenyataan menunjukkan  bahwa ucapan dan kebijakan SBY sering kontroversial dan mendatangkan kritikan publik – misalnya ada ormas keagamaan yang berani mengatakan ”SBY itu pecundang”, atau ada politikus yang berani  mengatakan ”SBY itu peragu”, dan banyak lagi ”stempel sosial” negatif yang diberikan berbagai kalangan terhadap kepemimpinan SBY.  Dibalik stempel sosial yang demikian itu jelas ada sesuatu yang sangat dirindukan dari sosok pemimpin yang benar-benar  didambakan rakyat. Lantas, pertanyaannya adalah ”Siapakah gerangan sosok pemimpin yang benar-benar diambakan oleh rakya Indonesia?”
Jokowi memenangkan Pemilukada Jakarta tahun 2013 dan menjadi Gubernur yang senang ”blusukan” itu tampaknya belum menjadi fenomena politik yang luar biasa. Mengapa, karena Jakarta bukanlah Indonesia. Tapi ketika terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia, itu baru fenomena politik yang luar biasa. Mengapa begitu, karena ada sederet soal yang sulit dijawab dengan hanya mengandalkan hitung-hitungan matamatik politik. Tapi itulah kenyataan, bahwa walaupun menang tipis dan dengan segalah tuduhan kecurangan diarahkan kepada kelompoknya – namun nyatanya Jokowi itu menjadi Presiden Terpilih!
Setelah Jokowi terpilih menjadi Presiden Indonesia yang ke-8, lantas kiat apa yang harus dilakukan oleh Jokowi untuk memimpin Indonesia yang sarat dengan berbagai masalah ipoleksosbudhamkanas? Kiat yang diartikan sebagai suatu pilihan konsep dan strategi kepemimpinan - baik secara sadar atau tidak sadar dipolakan menjadi perilaku kepemimpinannya – Jokowi tentu perlu memilih  kiat yang tepat untuk bisa sukses memimpin Indonesia yang sarat dengan penyalahgunaan kekuasaan dan maraknya perilaku korupsi. Mengacu pada jargon politik Jokowi ketika melakukan kampanye Pilpres yaitu ”Revolusi Mental” yang dilontarkan kepada publik,  maka pertanyaannya adalah ”Apa yang harus diubah oleh Jokowi agar ”revolusi mental” yang dimaksud dapat diaktualisasikan secara nyata dalam proses kepemimpinannya pada kurun lima tahun mendatang?
Terhadap  pertanyaan   seperti  itu,  jawaban sementara yang layak didisukusikan adalah bahwa ”Jokowi perlu mengubah budaya organisasi pemerintahan dan kepemimpinan birokrasi dengan mengaktualisasikan prinsip-prinsip good governance ke dalam pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan.” 

1.    Praktek Good Governance Dalam Penyelenggaraan Sistem Pemerintahan
1.1 Prinsip-prinsip Good Governance
Secara umum prinsip-prinsip good governance yang dikenal publik mencakup desentralisasi, partisipasi, penegakan hukum, transparansi, responsivitas, oreintasi pada consensus, keadilan, efektivitas dan efisiensi, akuntabilitas dan visi strategis. Dalam konteks ini, menurut penulis perlu ditambahkan satu lagi prinsip good governance agar sesuai dengan kebudayaan masyarakat Indonesia yang agamis, yakni Prinsip Amanah. Mengapa prinsip ini perlu dimaksukkan menjadi salah satu elemen good governance untuk  mewujudkan good goverment, karena seluruh jabatan publik yang dijabat oleh pera pejabat publik itu sesungguhnya adalah amanah publik yang harus diterima dengan kesadaran,  komitmen dan integritas untuk mengaktualisasikannya secara konsisten dan konsekuen menurut ukuran-ukuran moralitas sebagaimana layaknya pihak yang menerima amanah. Aktualisasi jabatan publik secara konsisten dan konsekuen menurut ukuran-ukuran moralitas inilah yang dimaksud sebagai pengejawantahan Prinsip Amanah.
Dalam konteks itu,  jabatan publik  apapun   yang  diterima oleh aparatur atau pejabat publik sesungguhnya mengandung sederetan tuntutan dan sejumlah tantangan yang menghendaki agar pejabat publik itu bersikap amanah sesuai amanah yang tertuang dalam sumpah jabatan serta ketentuan hukum yang mengatur fungsi jabatan tersebut. Apabila prinsip amanah ini dapat diaktualisasikan secara utuh, konsisten dan konsekuen – apapun resikonya – maka prinsip-prinsip good governance lainnya menjadi tidak terlalu sulit untuk diaktualisasikan. Mengapa demikian, karena orang yang bersikap amanah adalah orang yang rendah hati, jujur dan bersikap melayani kepada siapa saja yang bersentuhan dengan pelaksanaan fungsi jabatannya. Dalam konteks ini, desentralisasi dapat diartikan sebagai suatu proses pendelegasian wewenang atasan kepada bawahan untuk meningkatkan kinerja jabatan atau mencapai tujuan pelaksanaan fungsi jabatan. Karena itu pelaksanaan fungsi jabatan itu sesungguhnya tidak bergantung hanya pada satu orang saja yang menguasai jabatan, namun bergantung pada strauktur jabatan yang membentuk sekian banyak orang untuk secara bersama-sama menjalin kerjasama dan kebersamaan yang saling mendukung dan memperlancar.  Partisipasi, dapat diartikan bahwa potensi dan keterlibatan secara aktif setiap individu yang terstruktur dalam fungsi jabatan  agar dapat memberikan kontribusinya secara efektif dalam pelaksanaan fungsi jabatan tersebut. Dalam konteks yang lebih luas, partisipasi itu juga dapat diartikan sebagai potensi dan keterlibatan para pemangku kepentingan (stakeholder) yang terkait dengan pelaksanaan fungsi jabatan tersebut. Karena itu, salah satu tantangan yang dihadapi para pejabat publik adalah bagaimana mengembangkan sistem partisipasi yang kontruktif bagi pelaksanaan fungsi jabatan yang berdayaguna dan berhasilguna. Penegakkan hukum, dapat diartikan sebagai suatu upaya mewujudkan kinerja dan pelaksanaan fungsi jabatan agar selalu didasarkan pada aturan hukum dan ketentuan administratif yang berlaku dengan selalu memperhatikan pentingnya ketertiban  dan disiplin dalam pelaksanaan tugas. Karena itu, setiap pejabat tidak hanya dituntut untuk memahami persoalan hukum tetapi sekaligus juga dituntut untuk tidak melanggar atau mengabaikan ketentuan hukum, meskipun ketentuan hukum itu dapat diubah oleh otoritas jabatannya. Transparansi, dapat diartikan sebagai suatu keterbukaan sikap yang jujur dan demokratis  dalam mengimplementasikan kebijakan publik dan penggunaan sumberdaya administrasi publik untuk mencapai tujuan pelaksanaan fungsi jabatan.Transparansi juga dapat diartikan terbangunnya suatu sistem komunikasi sosial yang efektif dengan berbagai pihak yang terkait dan atau berkepentingan dengan pelaksanaan fungsi jabatan. Responsivitas, dapat diartikan sebagai suatu manifestasi kepekaan dan daya tanggap terhadap segala permasalahan dan tuntutan yang menjadi konsekuensi dan atau resiko penerimaan dan pelaksanaan fungsi jabatan. Oreintasi pada consensus, dapat diartikan sebagai kepatuhan pada  kesepakatan dan norma-norma yang mendasari penerimaan jabatan. Keadilan, dapat diartikan sebagai suatu ungkapan sikap kepemimpinan pejabat publik yang bijaksana dan kepedulian sosial yang memandang penting kedudukan setiap pihak yang terkait dengan pelaksanaan fungsi jabatan.Untuk itu setiap pejabat publik hendaknya dapat menghindari kepentingan subyektif dan desakan ego sektoral. Efektivitas dan efisiensi,  dapat diartikan sebagai proses pencapaian tujuan pelaksanaan fungsi jabatan secara optimal, dan penggunaan sumber daya jabatan secara maksimal. Untuk itu, setiap pejabat publik perlu memahami ukuran-ukuran pencapaian tujuan dan sasaran pelaksanaan fungsi jabatan. Akuntabilitas,  dapat diartikan sebagai suatu pertanggungjawaban atas pelaksanaan fngsi jabatan, baik secara moral, hukum dan administratif. Dalam konteks ini, seorang pejabat publik perlu memiliki landasan moral, etika dan norma yang jelas. Visi strategis,  dapat diartikan bahwa seorang pejabat publik perlu mengembangkan visi dan gaya kepemimpinannya yang selaras dengan dinamika perubahan lingkungan strategis organisasi, dan menguasai juga strategi-startegi pendekatan yang tepat untuk mengatasi setiap permasalahan yang menuntut optimalisasi pelaksanaan fungsi jabatan. Untuk itu, setiap pejabat publik perlu mengembangkan wawasan dan kompetensinya agar mampu berperan dalam proses transformasi nlai-nilai yang terkait dengan fungsi jabatannya.
Dengan memahami, menghayati dan mengejawantahkan prinsip-prinsip good governance yang demikian itu ke dalam dinamika pelaksanaan fungsi jabatannya, maka dengan sendirinya seorang pejabat publik tentu dapat menjadi kontributor bagi terbentuknya good government di lingkungan tugasnya. Jika sebagian besar pejabat publik juga dapat mengaktualisasikan seluruh prinsip good governance secara konsisten dan konsekuen, maka tak sulit merealisasikan good government.     

1.2 Good Governance vs Budaya Organisasi Pemerintahan
Menyadari bahwa setiap individu mempunyai latar belakang, karakteristik, dan kemampuan yang berbeda-beda, maka aktualisasi nilai-nilai yang terkandung pada setiap prinsip good governance juga berbeda-beda, dan tidak mudah mengaktualisasikannya secara utuh. Lebih dari itu, aktualisasi prinsip-prinsip good governance juga dihadapkan pada situasi dan kondisi yang selama bertahun-tahun terbentuk oleh proses budaya organisasi. Sangat sulit bagi seseorang yang berkiprah di dalam suatu budaya organisasi yang sudah membentuk nilai-nilai tertentu; bahkan tanpa disadarinya ia pun menerima dan menjadi penganut nilai-nilai tersebut. Karena itu, upaya mengubah nilai-nilai budaya organisasi pemerintahan menjadi sangat sulit dan memerlukan waktu yang sangat lama. Apa yang terjadi di negeri Tiongkok adalah contoh bagaimana bangsa China dapat melakukan revolusi budaya secara total untuk untuk mengubah budaya feodalisme yang terwariskan dari zaman kerajaan dinasti-dinasti menjadi budaya komunisme yang menempatkan sistem partai tunggal sebagai pengendali penyelenggaraan kekuasan negara. Dalam konteks ini, terlepas dari apa itu komunisme, fenomena perubahan sistem ketatanegaraan yang terjadi di negeri Tiongkok itu merupakan fakta yang mengisyaratkan bahwa faktor perubahan budaya dalam penyelenggaraan kekuasaan negara menjadi sangat penting, fundamental dan bernilai strategis untuk melakukan berbagai perubahan yang dikehendaki.
Agaknya tidak berlebihan bila kebijakan reformasi birokrasi dalam rangka penegakkan prinsip-prinsip good governance untuk terwujudnya good government mempelajari juga keberhasilan bangsa China dalam mengubah nilai-nilai budaya lama menjadi nilai-nilai budaya baru yang dikehendaki bersama. Artinya, penegakkan prinsip-prinsip good governance hanya bisa dilakukan jika ada upaya total dan kerja keras dari seluruh elemen bangsa dan seluruh unsur penyelenggara kekuasaan negara untuk mengubah budaya organisasi pemerintahan yang dianggap tidak relevan lagi dengan budaya organisasi pemerintahan yang sesuai dengan perkembangan masyarakat dan tuntutan masa depan yang sarat dengan persaingan yang ketat dalam menguasai sumber daya ekonomi. Dalam dimensi ini pertanyaannya adalah ”Apakah nilai-nilai budaya organisasi pemerintahan pada masa kini sudah tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat dan tuntutan masa depan bangsa?” Jawabannya : sebagian nilai-nilai budaya organisasi pemerintahan pada masa kini memang masih sesuai dan bahkan harus dipertahankan dan diberi bobot yang optimal; namun sebagian lagi nilai-nilai budaya organisasi pemerintahan sudah sangat tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat dan tuntutan masa depan bangsa. Dalam konteks perubahan nilai-nilai organisasi pemerintahan, kita baru sampai pada perubahan sistem pemerintahan dari sistem pemerintahan yang sentralistik dan militeristik menjadi sistem pemerintahan sipil yang demokratis dan desentralistik. Namun sayang, perubahan sistem pemerintahan yang demikian belum disertai dengan perubahan perilaku kekuasaan yang sesuai dengan perkembangan masyarakat dan tuntutan masa depan bangsa.  Kasus-kasus korupsi yang melibatkan sejumlah petinggi partai, sejumlah menteri dan pejabat-pejabat negara di berbagai sektor dan tingkatan serta   lunturnya kepercayaa publik terhadap kinerja lembaga-lembaga penegak hukum  kecuali KPK, adalah fakta bahwa perilaku kekuasaan di negeri ini masih dilingkari dengan permasalahan rendahnya moralitas pejabat-pejabat publik. Kasus-kasus tersebut  baru merupakan puncak gunung es di permukaan laut. Kasus-kasus yang tidak terangkat ke permukaan tentu jauh lebih banyak dari yang muncul ke permukaan.
Fenomena yang terungkap dari kasus-kasus itu agaknya dapat diartikan bahwa secara mental dan kultural para pejabat public di Indonesia  masih belum siap untuk menerima konsekuensi penyelenggaraan sistem pemerintahan yang semakin demokratis, dan juga tidak mampu mengaktualisasikan secara konsistem dan konsekuen prinsip-prinsip good governance.  Oleh sebab itu, dalam penyelenggaraan sistem pemerintahan yang semakin demokratis yang ditandai dengan semakin berkembangnya kebebasan dan kinerja pers, para pejabat publik Indonesia sering tersentak oleh realitas-realitas yang berada di luar jangkauan pemikirannya. Dalam konteks inilah, maka yang menjadi pekerjaan besar bangsa Indonesia adalah mengatasi kesenjangan di antara tuntutan aktualisasi good governance dengan budaya organisasi pemerintahan yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat, perubahan lingkungan strategis dan tuntutan masa depan bangsa. Lantas dengan strategi apa yang dibutuhkan untuk mengatasi kesenjangan tersebut? Jawabannya : kita harus berani melakukan perubahan secara menyeluruh terhadap budaya organisasi pemerintahan yang tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat, perubahan lingkungan strategis dan tuntutan masa depan bangsa serta mengubah pula budaya masyarakat yang menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya organisasi pemerintahan tersebut. Inti keberhasilan dalam mengubah nilai-nilai budaya organisasi pemerintahan tersebut adalah perubahan mental budaya para pejabat publik agar menjadi figur-figur yang pandai bersikap amanah sesuai amanah yang tertuang dalam sumpah jabatan serta ketentuan hukum yang mengatur fungsi jabatannya.  Apabila prinsip amanah ini dapat diaktualisasikan secara utuh, konsisten dan konsekuen – apapun resikonya – maka prinsip-prinsip good governance lainnya menjadi tidak terlalu sulit untuk diaktualisasikan. Mengapa demikian, karena pejabat yang amanah adalah pejabat yang rendah hati, jujur dan bersikap melayani kepada siapa saja yang bersentuhan dengan pelaksanaan fungsi jabatannya. Sementara itu, lawan pejabat yang amanah adalah pejabat-pejabat yang masih asyik dengan arogansi kekuasaan dan perilaku koruptif. Inilah yang kita sebut good governance vs budaya organisasi pemerintahan yang masih dipertahankan oleh sederetan pejabat publik yang ”dablek”, alias punya telinga tapi tidak mendengar, punya mata tapi tidak melihat, punya rasa tapi tidak berperasaan! Inilah yang mungkin dimaksud oleh Jokowi sebagai ”Revolusi Mental!”

1.3 Good Governance vs Gaya Kepemimpinan Birokrasi yang Arogan
Sebenarnya tidak terlalu sulit mengubah budaya organisasi pemerintahan yang kita anggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat, perubahan lingkungan strategis dan tuntutan masa depan bangsa, kalau saja kita memahami entry point dan starting point untuk melakukan perubahan budaya tersebut. Entry point yang dimaksud adalah moralitas atau mentalitas figur-figur pemimpin yang memegang tampuk kekuasaan legislative, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudikatif. Sedangkan yang dimaksud starting point adalah gaya kepemimpinan birokrasi pemerintahan yang berada dibawah figure-figur pemimpin tersebut. Entry point tersebut merupakan keharusan yang tak dapat ditawar-tawar untuk bisa mengubah nilai-nilai budaya organisasi pemerintahan yang arogan dan koruptif  menjadi budaya organisasi pemerintahan yang mencerminkan prinsip-prinsip good governance.  Dengan entry point yang demikian itu, maka upaya untuk mengubah budaya organisasi pemerintahan yang arogan dan koruptif dilanjutkan dengan starting point yaitu mengubah gaya kepemimpinan birokrasi pemerintahan yang juga arogan dan koruptif dengan gaya kepemimpinan yang amanah, yakni gaya kepemimpinan yang jujur, rendah hati dan melayani. Inilah yang dimaksud good governance vs gaya kepemimpinan birokrasi yang dipengaruhi oleh budaya organisasi pemerintahan yang sarat sindikat KKN.
Dalam konteks itu, permasalahannya adalah bahwa tidak setiap pejabat public bisa menjadi figure yang jujur, rendah hati dan melayani, karena secara teoritis kekuasaan itu cenderung koruptif, dan kekuasaan itu cenderung “arogan”. Ditambah dengan fenomena punya telinga tak mendengar, punya mata tak melihat dan punya rasa tapi tak berperasaan, maka upaya untuk menumbuhkan kesadaran tentang pentingnya moralitas para pejabat public yang jujur, rendah hati dan melayani kita geser sedikit kepada masyarakat pers dan elemen masyarakat lainnya. Mengapa begitu, karena yang bisa melakukan revolusi kebudayaan secara intelektual tanpa menimbulkan tindakan-tindakan kekerasan fisik adalah kalangan pers dengan kinerja pers yang mengkedepankan visi dan misi perubahan bangsa. Jika sementara ini kinerja KPK terarah untuk menumbuhkan budaya takut di kalangan pejabat public, maka kinerja pers bisa diarahkan untuk menumbuhkan budaya malu dan kejutan di kalangan pejabat public yang “dablek”. Tanpa dukungan kinerja insan pers dan elemen-elemen masyarakat yang konsen pada perubahan, maka langkah-langkah reformasi birokrasi untuk mengubah budaya organisasi yang koruptif dan gaya kepemimpinan birokrasi yang arogan akan menemui jalan butu. Mengapa begitu, karena ”maling tidak bisa mengubah rumitnya kelakuan maling”, tapi maling teriak maling  itu ada gunanya, karena maling tahu persis lingkaran kelakuan maling. Meski begitu, kebijakan reformasi birokrasi tetap menjadi entry point dan sekaligus starting point untuk mewujudkan good governance agar secara bertahap dan berkelanjutan good government dapat kita wujudkan.   

2.    Penutup
Dari fenomena politik yang melekat pada sosok Jokowi, kita dihadapkan pada kenyataan bahwa secara mental dan cultural para pejabat public di Indonesia masih belum siap menghadapi perkembangan masyarakat yang semakin kritis dan menutut moralitas yang mulia. Kondisi mental dan cultural yang demikian juga mengisyaratkan bahwa mentalitas para pejabat publik adalah mentalitas yang terbentuk dalam budaya organisasi pemerintahan yang arogan dan sarat dengan perilaku koruptif. Karena itu, ketika kinerja insan pers bersama elemen-elemen masyarakat lainnya yang konsen pada perubahan menyuarakan tuntutan moralitas kepada para pejabat public, maka Jokowi dapat menjadi partisipasi politik insen pers dan partisipasi politik elemen-elemen masyarakat non partai sebagai mitra politiknya. Inilah salah satu kiat yang dapat dipilih Jokowi untuk mengoptimalisasikan kepemimpinannya.
Seiring dengan pilihan kiat tersebut, dengan tekad yang kuat dan berani “babak belur” Jokowi seharusnya berani lansung “tancap gas” untuk sesegera mungkin mengaktualisasikan prinsip-prinsip good governance secara nyata di seluruh jajaran pemerintahannya. Tujuannya adalah agar budaya organisasi pemerintahan yang koruptif dan kepemimpinan birokrasi yang arogan dan koruptif menjadi sirna dari bumi Nusantara! Inilah salah satu kiat untuk mengaktualisasikan ide “revolusi mental”-nya Jokowi.