Monday, May 23, 2016

MEMBANGUN MANUSIA UNGGUL MALUKU UTARA



MEMBANGUN MANUSIA UNGGUL MALUKU UTARA

Oleh :
Suwandi S Sangadji


Pertimbangan-pertimbangan yang melatarbelakangi terbitnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara adalah bahwa dalam rangka pelaksanaan cita-cita bangsa dan mewujudkan tujuan negara sebagaimana tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, perlu dibangun aparatur sipil negara yang memiliki integritas, profesional, netral dan bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta mampu menyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakat dan mampu menjalankan peran sebagai unsur perekat persatuan dan kesatuan bangsa berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pembangunan aparatur sipil negara yang demikian itu diperlukan, karena pelaksanaan manajemen aparatur sipil negara belum berdasarkan pada perbandingan antara kompetensi dan kualifikasi yang diperlukan oleh jabatan dengan kompetensi dan kualifikasi yang dimiliki calon dalam rekrutmen, pengangkatan, penempatan, dan promosi pada jabatan sejalan dengan tata kelola pemerintahan yang baik. Dengan demikian fungsi manajemen sumber daya manusia dalam penyelenggaraan birokrasi pemerintahan menjadi penting dan strategis bagi terbangunnya aparatur sipil negara yang memiliki integritas, profesional, netral dan bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta mampu menyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakat. (UU No.5/2014)
Pertimbangan-pertimbangan yang dikemukakan di atas merupakan ungkapan arah kebijakan negara dalam memandang kedudukan, peran strategis dan tanggungjawab aparatur sipil negara, sebagai salah satu unsur administrasi negara yang sangat dominan dalam penyelenggaraan birokrasi pemerintahan. Karena itu, dalam perspektif pelaksanaan kebijakan dan program reformasi birokrasi di Provinsi Maluku Utara,   upaya membangun aparatur sipil negara yang memiliki integritas, profesional, netral dan bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta mampu melaksanakan berbagai kebijakan, program dan kegiatan pembangunan, pelayanan publik dan pemberdayaan masyarakat secara efektif, layak dijadikan kebijakan dan sekaligus pilihan strategis untuk  Membangun Manusia Unggul Maluku Utara di Sektor Publik”. Keberhasilan membangun manusia unggul Maluku Utara di sektor merupakan salah satu prasyarat mutlak untuk mengantarkan ”Maluku Utara Menuju Kota Megapolitan”. Dengan membangun manusia unggul Maluku Utara di sektor publik maka penyelenggaraan Pemerintahan Provinsi Maluku Utara  akan semakin demokratis, transparan, efektif, efisien dan akuntabel dalam mewujudkan Maluku Utara sebagai Kota Megapolitan. Maluku Utara layak disebut sebagai Kota Megapolitan apabila kondisi dinamis sumber daya manusia di Maluku Utara semakin berkualitas, modern dan berbudaya plural; apabila Maluku Utara bebas lingkungan kumuh; apabila Maluku Utara memiliki jaringan infrastruktur perkotaan yang modern serta tata ruang yang harmonis dan ramah lingkungan; apabila Maluku Utara dipandang sebagai kota yang paling aman untuk berinvestasi dan melaksanakan berbagai event internasional. Maluku Utara sebagai Kota Megapolitan adalah konsep modernisasi dan pengembangan jaringan perkotaan yang meliputi kawasan Tidore, Ternate, Halteng, Halbar, Halut, Haltim, dan Morotai.
Konsep Membangun Manusia Unggul di Sektor Publik mencakup konsep normatif dan konsep teoritik. Konsep normatif adalah konsep yang dikembangkan dari kebijakan negara di bidang Aparatur Sipil Negara. Konsep teoritik adalah konsep yang dikembangkan dari teori kompetensi.
Dari aspek normatif, konsep Membangun Manusia Unggul di Sektor Publik dimaksudkan sebagai kebijakan membangun Aparatur Sipil Negara (ASN) yang dipandang sebagai suatu profesi.   ASN sebagai profesi berlandaskan pada prinsip sebagai berikut: a) nilai dasar; b)  kode etik dan kode perilaku; c) komitmen, integritas moral, dan tanggung jawab pada pelayanan publik;  d) kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas; e) kualifikasi akademik; f) jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas; dan g)profesionalitas jabatan. (Pasal 3 UU No.5/2014)
Nilai dasar sebagaimana dimaksud meliputi: a) memegang teguh ideologi Pancasila; b) setia dan mempertahankan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta pemerintahan yang sah; c) mengabdi kepada negara dan rakyat Indonesia; d) menjalankan tugas secara profesional dan tidak berpihak; e) membuat keputusan berdasarkan prinsip keahlian; f) menciptakan lingkungan kerja yang nondiskriminatif; g) memelihara dan menjunjung tinggi standar etika yang luhur; h) mempertanggungjawabkan tindakan dan kinerjanya kepada publik; i) memiliki kemampuan dalam melaksanakan kebijakan dan program pemerintah; j) memberikan layanan kepada publik secara jujur, tanggap, cepat, tepat, akurat, berdaya guna, berhasil guna, dan santun; k) mengutamakan kepemimpinan berkualitas tinggi; l) menghargai komunikasi, konsultasi, dan kerja sama; m) mengutamakan pencapaian hasil dan mendorong kinerja pegawai; n)  mendorong kesetaraan dalam pekerjaan; dan o) meningkatkan efektivitas sistem pemerintahan yang demokratis sebagai perangkat sistem karier. (Pasal 4 UU No.5/2014)
Kode etik dan kode perilaku sebagaimana dimaksud bertujuan untuk menjaga martabat dan kehormatan ASN.  Kode etik dan kode perilaku sebagaimana dimaksud berisi pengaturan perilaku agar Pegawai ASN: a)  melaksanakan tugasnya dengan jujur, bertanggung jawab, dan berintegritas tinggi; b) melaksanakan tugasnya dengan cermat dan disiplin; c)  melayani dengan sikap hormat, sopan, dan tanpa tekanan; d) melaksanakan tugasnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; e) melaksanakan tugasnya sesuai dengan perintah atasan atau Pejabat yang Berwenang sejauh tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan etika pemerintahan; f)  menjaga kerahasiaan yang menyangkut kebijakan negara; g) menggunakan kekayaan dan barang milik negara secara bertanggung jawab, efektif, dan efisien; h)  menjaga agar tidak terjadi konflik kepentingan dalam melaksanakan tugasnya; i) memberikan informasi secara benar dan tidak menyesatkan kepada pihak lain yang memerlukan informasi terkait kepentingan kedinasan; j) tidak menyalahgunakan informasi intern negara, tugas, status, kekuasaan, dan jabatannya untuk mendapat atau mencari keuntungan atau manfaat bagi diri sendiri atau untuk orang lain; k) memegang teguh nilai dasar ASN dan selalu menjaga reputasi dan integritas ASN; dan l) melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai disiplin Pegawai ASN. Kode etik dan kode perilaku dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (Pasal 5 UU No.5/2014)
Adapun secara teoritik, Konsep Manusia Unggul dapat merujuk pada teori kompetensi David McClelland (dalam Martin, 2002:151) mengatakan bahwa ada sesuatu karakteristik dasar yang lebih penting dalam memprediksikan kesuksesan kerja. Sesuatu itu, lebih berharga daripada kecerdasan akademik. Dan sesuatu itu dapat ditentukan dengan akurat, dapat menjadi titik penentu (critical factor) pembeda antara seorang star performer dan seorang dead wood. Menurut McClelland, sesuatu itulah yang disebut : Kompetensi. Kompetensi adalah suatu kemampuan atau keunggulan individu yang relevan dengan tuntutan pekerjaan atau mencapai suatu standar kinerja. Spencer & Spencer (1993:9) memberikan konsep pemahaman kompetensi berikut :
         A competency  is an underlying characteristic’s of an individual which is causally related to criterion-referenced effective and/or superior performance in a job or situation.
       Underlying charaxteristic means the competency is a fairly deep enduring party of a person’s personality and can predict behavior in a wide variety of situaton and job taks
       Causally related means that a competency causes or predict behavior and performance.
      Criterion- referenced means that the competency actually predict who does something well or poorly, as measured on a specific criterion or standard.
Dari penjelasan Spencer & Spencer di atas diperoleh suatu konsep pemahaman bahwa “underlying characteristics” mengandung makna kompetensi adalah bagian terdalam kepribadian yang dimiliki seseorang yang dapat memprediksi berbagai keadaan,  tugas dan pekerjaan. Kata “causally related” dapat diartikan bahwa kompetensi adalah sesuatu yang berhubungan dengan perilaku dan kinerja. Kata “Criterion-referenced” mengandung arti bahwa kompetensi merujuk pada  siapa yang mempunyai kriteri kinerja baik dan kriteria kinerja yang kurang baik, bila diukur dari kriteria atau standar kinerja tertentu. Misalnya, pencapaian standard pelayanan yang dinilai dari kriteria kepuasan penerima layanan seperti kepuasan warga masyarakat yang mengurus keperluan administrasi kependudukan. Dalam konteks ini, Spencer and Spencer   (1993:9-11) menunjukkan lima karakteristik kompetensi berikut :
1.    Motives. The thing a person consistenly thinks about or wants that cause action. Motives “drive, direct, and select” behavior toward certain action or goals and away from others.
2.    Traits. Physical caracteristics and consistent responses to situation of information. 
3.    Self-concept. A person’s atitude, values, or self-image. 
4.    Knowledge. Information a person has in specific content areas.
5.    Skill. The ability to perform a contain physical or mental task.
Pemahaman tentang hubungan kelima tipe karakteristik kompetensi tersebut dapat memandu  memprediksi   perilaku seseorang dan kinerjanya. Hal ini ditunjukkan oleh Spencer &  Spencer (1993:11) dengan gambar di bawah ini :













Gambar 1 : Competency Causal Flow Model
Spencer and Spencer (1993:10) mengatakan bahwa kompetensi selalu mengandung maksud atau tujuan seperti motives, self-concept  atau traits yang menyebabkan suatu tindakan dilakukan untuk memperoleh suatu hasil atau mencapai tujuan tertentu. Tindakan dilakukan dengan kompetensi knowledge dan  skill. Bagi organisasi yang tidak mengembangkan kompetensi motive, trait dan self-concept untuk karyawannya, jangan harap  terjadi   peningkatan produktivitas, profitabilitas dan kualitas yang signifikan terhadap suatu produk dan jasa yang dikelolanya. Mengapa demikian, karena setiap orang mempunyai motive, trait dan self-concept tersendiri dalam menghadirkan dirinya di lingkungan kerja,  motive, trait dan self-concept itulah yang mempengaruhi perilaku kerjanya dalam melaksanakan tugas atau pekerjaan.  Karena itu, Spencer and Spencer (1993:13) mengemukakan bagaimana pentingnya motivasi  berprestasi pada seseorang dengan gambar berikut:

Gambar 2 : Axample : Achievement Motivation Sample
Gambar di atas menunjukkan bahwa motives atau dorongan perilaku merupakan salah satu faktor internal seseorang yang sering mendominasi sikap dan perilaku seseorang dalam bekerja. Motives merupakan salah satu elemen yang dominan mempengaruhi kinerja seseorang. Dengan demikian kompetensi dapat juga didefinsikan sebagai karakteristik dan kapasitas kepribadian seseorang yang mencakup kapasitas intelektual, kualitas sikap mental, fleksibelitas fisikal dan kapabilitas sosial seseorang dalam menunjukkan kinerja yang profesional sesuai dengan bidang pekerjannya.              Bagaimana memahami kompetensi menurut kriteria kinerja, Spencer and Spencer (1993:14) mengatakan :
Competencies can be divided into two categoris, “threshold” and “differentiating”, according to the job performance citerion they predict.
·       Threshold Competencies. These are the essential characteristics (usually knowledge or basic skills, such as the ability to read) that everyone in a job needs to be minimallly effective but that do not distinguish superior from average performer. A threshold competency for a salesperson inknowledeg of the product or ability to fill out invoices.
·       Differentiatiing Competencies. These factors distinguish superior from average performer. For example, achiement orientation expressed in a person’s setting goals higher than those required by the organization, is a competency that differentiates superior from average salespeople.

Penjelasan  Spencer  & Spencer di atas menunjukkan bahwa bahwa kompetensi dapat dibagi atas dua kategori yaitu “threshold” dan “differentiating” menurut kriteria yang digunakan untuk memprediksi kinerja suatu pekerjaan. Threshold competencies adalah karakteristik utama, biasanya pengetahuan atau keahlian dasar seperti kemampuan untuk membaca, yang harus dimiliki oleh seseorang agar dapat melaksanakan pekerjaannya. Tetapi tidak untuk membedakan seseorang yang berkinerja tinggi dan rata-rata kompetensi “threshold” untuk seorang sales adalah pengetahuan tentang produk atau kemampuannya untuk mengisi formulir. Sedangkan “differentiating competencies” adalah faktor-faktor yang membedakan individu yang berkinerja tinggi dan rendah. Secara individual setiap individu memang memiliki kompetensi dan kinerja yang berbeda antara satu dan yang lainnya. Perbedaan kompetensi dan kinerja ini sebaiknya dioreintasikan pada fungsi jabatan atau kebutuhan kerja, agar setiap perbedaan tetap mengacu pada pelaksanaan fungsi jabatan atau pekerjaan. Akan lebih baik jika perbedaan tersebut disinergikan menjadi satu kesatuan potensi kerja yang saling mendukung untuk terwujudkan pelaksanaan fungsi jabatan atau pekerjaan yang terkoordinasi, efektif dan efisien. Untuk itu diperlukan suatu pendekatan manajemen sumber daya manusia. Selanjutnya, Spencer and Spencer (1993:12) menunjukan bagaimana model kompetensi dihubungkan dengan strategi MSDM dengan gambar berikut :

Gambar 3 : Integrated HRM Around a Clear Understanding of Core Competencies
Dengan gambar yang ditujukkannya, Spencer and Spencer itu mengemukakan bahwa manajemen sumber daya manusia merupakan suatu proses penyeleksian dan penarikan personil yang didasarkan pada suatu model kompetensi yang dibutuhkan untuk jabatan atau pekerjaan tertentu; penempatan personil untuk keberhasilan perencanaan; pola pengembangan karir yang sesuai dengan kompetensi personil; dan imbalan untuk personil yang  kompeten dalam manajemen kinerja. Dengan demikian model kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan jabatan atau pekerjan merupakan suatu pola pemahaman tentang hubungan kompetensi dengan fungsi jabatan atau tuntutan pekerjaan.  Konsep ini tentu relevan untuk membangun Manusia Unggul Maluku Utara di sektor publik atau membangun aparatur unggul dalam penyelenggaraan Pemerintaha Provinsi Maluku Utara Karena itu, secara teoritik, karakteristik kompetensi yang mencakup lima dimensi, yaitu (1) Dimensi Motives, (2) Dimensi Traits, (3) Dimensi Self-concept, (4) Dimensi Knowledge,  dan (5) Dimensi Skill dapat dijadikan rujukan untuk membangun manusia unggul Maluku Utara di sektor publik.
Aplikasi atau penerapan konsep membangun manusia unggul Maluku Utara di sektor publik mencakup empat pendekatan aplikasi, yakni : (1) Pengembangan Manajemen ASN; (2) Pengembangan Budaya Organisasi; (3) Pengembangan Kepemimpinan Birokrasi, dan (4) Pengembangan Mental Aparatur.
Manajemen ASN adalah pengelolaan ASN untuk menghasilkan Pegawai ASN yang profesional, memiliki nilai dasar, etika profesi, bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dengan demikian terbentuk indikator-indikator pembangunan sumber daya aparatur sipil negara, yaitu profesional, memiliki nilai dasar, etika profesi, bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. (Pasal 1UU No.5/2014) Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 menyatakan bahwa penyelenggaraan kebijakan dan Manajemen ASN berdasarkan pada asas: a)  kepastian hukum; b) profesionalitas; c) proporsionalitas; d) keterpaduan; e)  delegasi; f) netralitas; g) akuntabilitas; h) efektif dan efisien; i) keterbukaan; j)  nondiskriminatif; k) persatuan dan kesatuan; l) keadilan dan kesetaraan; dan m)  kesejahteraan. Arah kebijakan dan praktek Manajemen ASN ini pada dasarnya ditujukan untuk mencapai salah satu sasaran penyelenggaraan reformasi birokrasi yaitu terwujudkan kinerja ASN dan kinerja birokrasi yang antara lain menunjukkan kondisi dinamis berkembangnya profesionalitas; keterpaduan; netralitas; akuntabilitas; efektivitas dan efisiensi; keterbukaan; nondiskriminatif; persatuan dan kesatuan; keadilan dan kesetaraan; dan kesejahteraan ASN dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Pengelolaan ASN untuk menghasilkan Pegawai ASN tersebut dapat dilakukan melalui Diklatpim, Diklat Fungsional dan Diklat Teknis serta sistem pengembangan karir yang terbuka sesuai dengan ketentuan hukum yang tercantum dalam Undang-Undang No.5/2014 Tentang Aparatur Sipil Negara.

Pengembangan Budaya organisasi
Pengembangan budaya organisasi di sector public adalah upaya untuk memperkuat sistem nilai birokrasi agar lebih sesuai dengan perkembangan masyarakat, perubahan social dan dinamika global.  Pengembangan budaya  organisasi tersebut merujuk pada penguatan budaya sebagaimana dikemukakan oleh Shane dan Glinow sebagai berikut :








Gambar 2.4
Potential Benefits and Contingencies of Culture Strength
                                                                           Sumber : Shane dan Glinow, 2010:424


Pengembangan budaya organisasi di lingkungan birokrasi dilakukan untuk mewujudkan tujuh karakteritik utama budaya organisasi sebagaimana yang dikemukakan oleh Robbins (2005:485), yaitu: innovation and risk taking; attention to detail; outcome orientation; people orientation; team orientation; aggressiveness;  dan stability.

Pengembangan Kepemimpinan Birokrasi
Pengembangan kepemimpinan birokrasi adalah pengembangan pola kepemimpinan di seluruh unit kerja birokrasi. Pola kepemimpinan yang selaras dengan pengembangan budaya organisasi adalah gaya kepemimpinan visioner. Nanus (1992: 12) mengemukakan empat peran penting pemimpin untuk mengembangkan kepemimpinan visoner yang efektif. Keempat peran tersebut adalah pemimpin sebagai juru bicara (Spokesperson), pemimpin sebagai penata arahan (Direction Setter), pemimpin sebagai pelatih (Coach) dan pemimpin sebagai agen perubahan (Change Agent). Pemimipin visioner setidaknya harus memiliki tiga kompetensi kunci sebagaimana dikemukakan oleh Nanus (1992:136-141),  yaitu:
1.   Communication, Seorang pemimpin visioner harus memiliki kemampuan untuk berkomunikasi secara efektif dengan manajer dan karyawan lainnya dalam organisasi. Hal ini membutuhkan pemimpin untuk menghasilkan “guidance, encouragement, and motivation.”
2.   Networking, Seorang pemimpin visioner harus menginvestasikan banyak waktu dalam membangun jaringan dengan orang di dalam dan di luar organisasi untuk membina kepercayaan (trust) dan konsensus terhadap visi.
3.   Personifying the Vision, Seorang pemimpin visioner harus mampu mempersonifikasi visinya dalam arti segala tindakan dan perilakunya harus konsisten dengan visi.

Pengembangan Mental Aparatur
Pengembangan mental aparatur adalah suatu upaya yang terpola, terpadu dan berkelanjutan dalam rangka meningkatkan kapasitas dan kualitas mental aparatur. Pengembangan mentalitas aparatur ini merujuk pada Pasal 23 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 menyatakan bahwa Pegawai ASN wajib: a) setia dan taat pada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan pemerintah yang sah; b)  menjaga persatuan dan kesatuan bangsa; c) melaksanakan kebijakan yang dirumuskan pejabat pemerintah yang berwenang; d) menaati ketentuan peraturan perundang-undangan; e)  melaksanakan tugas kedinasan dengan penuh pengabdian, kejujuran, kesadaran, dan tanggung jawab; f) menunjukkan integritas dan keteladanan dalam sikap, perilaku, ucapan dan tindakan kepada setiap orang, baik di dalam maupun di luar kedinasan; g) menyimpan rahasia jabatan dan hanya dapat mengemukakan rahasia jabatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

Kesimpulan
1.      Konsep Membangun Manusia Unggul di Sektor Publik adalah upaya membangun aparatur unggul Pemda DKI Maluku Utara. Upaya ini mencakup pendekatan normatif dan pendekatan teoritik. Pendekatan normatif adalah upaya yang dikembangkan dari kebijakan negara di bidang Aparatur Sipil Negara. Pendekatan teoritik adalah upaya yang dikembangkan dari teori kompetensi.
2.      Aplikasi atau penerapan konsep membangun manusia unggul Maluku Utara di sektor publik mencakup empat pendekatan aplikasi, yakni : (1) Pengembangan Manajemen ASN; (2) Pengembangan Budaya Organisasi; (3) Pengembangan Kepemimpinan Birokrasi, dan (4) Pengembangan Mental Aparatur.
3.      Manajemen ASN adalah pengelolaan ASN untuk menghasilkan Pegawai ASN yang profesional, memiliki nilai dasar, etika profesi, bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Pengelolaan ASN untuk menghasilkan Pegawai ASN tersebut dapat dilakukan melalui Diklatpim, Diklat Fungsional dan Diklat Teknis serta sistem pengembangan karir yang terbuka sesuai dengan ketentuan hukum yang tercantum dalam Undang-Undang No.5/2014 Tentang Aparatur Sipil Negara.
4.      Pengembangan budaya organisasi di sector public adalah upaya untuk memperkuat sistem nilai birokrasi Pemerintahan Provinsi Maluku Utara agar lebih sesuai dengan perkembangan masyarakat, perubahan social dan dinamika global.  Pengembangan budaya  organisasi tersebut dilakukan untuk membangun tujuh karakteritik utama budaya organisasi yaitu: innovation and risk taking; attention to detail; outcome orientation; people orientation; team orientation; aggressiveness;  dan stability.
5.      Pengembangan kepemimpinan birokrasi adalah pengembangan pola kepemimpinan di seluruh unit kerja birokrasi. Pola kepemimpinan yang selaras dengan pengembangan budaya organisasi adalah gaya kepemimpinan visioner. Empat peran penting pemimpin untuk mengembangkan kepemimpinan visoner yang efektif. Keempat peran tersebut adalah pemimpin sebagai juru bicara (Spokesperson), pemimpin sebagai penata arahan (Direction Setter), pemimpin sebagai pelatih (Coach) dan pemimpin sebagai agen perubahan (Change Agent).
6.      Pengembangan mental aparatur adalah suatu upaya yang terpola, terpadu dan berkelanjutan dalam rangka meningkatkan kapasitas dan kualitas mental aparatur. Pengembangan mentalitas aparatur ini diarahkan untuk membangun mentalitas aparatur yang melaksanakan tugas kedinasan dengan penuh pengabdian, kejujuran, kesadaran, dan tanggung jawab;  dan  menunjukkan integritas dan keteladanan dalam sikap, perilaku, ucapan dan tindakan kepada setiap orang, baik di dalam maupun di luar kedinasan.


Rekomendasi
        Berdasarkan kesimpulan tersebut disarankan kepada Pemda Provinsi Maluku Utara agar menerapkan konsep membangun manusia unggul Maluku Utara di sektor publik yang mencakup empat pendekatan aplikasi, yakni : (1) Pengembangan Manajemen ASN; (2) Pengembangan Budaya Organisasi; (3) Pengembangan Kepemimpinan Birokrasi, dan (4) Pengembangan Mental Aparatur.


Referensi:
Shermon, Ganesh, 2004, Competency based HRM, India : Tata McGraw-Hill Publishing Company Limited.
Spencer, Lyle, M. Jr. And Spencer, M.Signe. 1993. Competence At Work Models For Superior Performance, United State of America: John Wiley & Sons, Inc.
Undang-Undang Nomor 5  Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara














Sunday, May 22, 2016

JAKARTA MENUJU MEGAPOLITAN



JAKARTA MENUJU MEGAPOLITAN

Oleh : Suwandi S Sangadji

 
Selama puluhan tahun telah melembaga suatu anggapan dan selalu menjadi acuan penelitian dan pengkajian berbagai pihak bahwa Depok, Bogor, Tangerang, dan Bekasi merupakan daerah penyanggah bagi DKI Jakarta. Daerah penyanggah dapat diartikan sebagai daerah penopang. Artinya, selama ini  Depok, Bogor, Tangerang, dan Bekasi dipandang sebagai daerah-daerah yang  membantu menopang beban yang bertumpu di DKI Jakarta. Beban yang dimaksud  dapat mencakup beban sosiologis, beban ekonomis dan beban ekologis. Beban sosiologis bersumber dari koneksitas dinamika perkembangan masyarakat dan perubahan social masyarakat di DKI Jakarta dan masyarakat di Depok, Bogor, Tangerang, dan Bekasi. Beban ekonomis bersumber dari koneksitas dinamika pertumbuhan penduduk, pertumbuhan ekonomi, partumbuhan infrastruktur dan perkembangan wilayah di DKI Jakarta dan di Depok, Bogor, Tangerang, dan Bekasi. Beban ekologis bersumber dari koneksitas dinamika pemanfaatan wilayah dan tata ruang serta penurunan kapasitas sumber daya alam  di DKI Jakarta dan di Depok, Bogor, Tangerang, dan Bekasi. Dampak dari beban yang demikian itu adalah kepadatan penduduk, lingkungan kumuh, banjir, macet, permasalahan sosial dan gangguan ketertiban umum yang tampak menjadi fenomena kehidupan sehari-hari di DKI Jakarta.
Dengan kajian koneksitas beban antar daerah yang demikian itu, maka pertanyaan yang menarik untuk dijawab adalah “Apakah masih relevan anggapan bahwa Depok, Bogor, Tangerang, dan Bekasi merupakan daerah yang membantu menopang beban yang bertumpu di  DKI Jakarta? Mengapa pertanyaan seperti ini menarik untuk dijawab, karena realitas selama puluhan tahun menunjukkan bahwa justru DKI Jakarta itu menjadi daerah yang menerima banyak beban dari daerah-daerah di sekitarnya. Bahkan dalam perspektif yang luas justru beban itu tidak hanya datang dari Depok, Bogor, Tangerang, dan Bekasi, namun bisa juga datang dari daerah-daerah lainnya di Indonesia. Oleh sebab itu, kebijakan dan strategi Jakarta Menuju Kota Megapolitan dapat dijadikan alternatif jawaban untuk menemukan solusi yang actual dan komprehensif.

Analisis Perspektif Masalah Jakarta Menuju Kota Megapolitan
Analisis perspektif masalah Jakarta Menuju Kota Megapolitan mencakup Latar Belakang Masalah; Fakta  Masalah; Dampak Masalah; Meta Masalah; Filosofi Masalah; dan Solusi Masalah. Analisis masing-masing masalah adalah berikut :
Latar Belakang Masalah
Kemajuan daerah, pertumbuhan ekonomi, perkembangan masyarakat, perubahan social,  pertumbuhan infrastruktur, perkembangan wilayah dan tata ruang serta peningkatan pendidikan yang terjadi di DKI Jakarta selama puluhan tahun telah menjadikan Jakarta sebagai daerah khusus yang menyerap sekaligus berbagai potensi dan beban  sosiologis, ekonomis dan beban ekologis dari berbagai daerah di seluruh Indonesia. Serapan berbagai potensi dan beban tersebut pada akhirnya memunculkan sederet tantangan dan tuntutan actual bagi masyarakat dan Pemda DKI Jakarta.  Issu yang teramat actual yang timbul dari tuntutan dan tantangan tersebut adalah “Jakarta Menuju Kota Megapolitan 
Fakta Masalah
Berbagai masalah dan kendala yang menjadi tuntutan dan sekaligus tantangan bagi masyarakat dan Pemda DKI Jakarta (termasuk bagi masyarakat Indonesia) antara lain masalah dan kendala yang timbul dari  koneksitas beban antar DKI Jakarta dengan daerah-daerah sekitarnya. Misalnya, beban sosiologis bersumber dari koneksitas dinamika perkembangan masyarakat dan perubahan social masyarakat di DKI Jakarta dan masyarakat di Depok, Bogor, Tangerang, dan Bekasi. Misal lainnya, beban ekonomis bersumber dari koneksitas dinamika pertumbuhan penduduk, pertumbuhan ekonomi, partumbuhan infrastruktur dan perkembangan wilayah di DKI Jakarta dan di Depok, Bogor, Tangerang, dan Bekasi. Sementara itu, beban ekologis bersumber dari koneksitas dinamika pemanfaatan wilayah dan tata ruang serta penurunan kapasitas sumber daya alam di DKI Jakarta dan di Depok, Bogor, Tangerang, dan Bekasi semakin memberat.
Dampak Masalah
Pada satu sisi, dampak dari beban yang terbentuk dari koneksitas beban sosiologis, ekonomis dan ekologis di antara DKI Jakarta dengan daerah-daerah di sekitarnya antara lain kepadatan penduduk, lingkungan kumuh, banjir, macet, permasalahan sosial dan gangguan ketertiban umum yang tampak menjadi fenomena kehidupan sehari-hari di DKI Jakarta. Pada sisi lain, terjadi pergeseran pertumbuhan penduduk dari DKI Jakarta ke daerah-daerah sekitarnya, pembangunan inftrastruktur terutama iunfrastruktur permukiman, pengembangan wilayah dan pemanfaatan tata ruang yang semakin kompleks di daerah-daerah sekitar DKI Jakarta. Dari dua sisi inilah kemudian muncul dan berkembang kompleksitas berbagai permasalahan sosiologis, ekonomis, dan ekologis yang saling berkorelasi di antara satu daerah dengan daerah lainnya.

Meta Masalah
Dalam perspektif manajerial, meta masalah (akar masalah) yang menyebabkan terjadinya kompleksitas permaalahan koneksitas beban sosiologis, beban ekonomis dan beban ekologis di antara DKI Jakarta dengan daerah-daerah di sekitarnya adalah lemahnya kinerja koordinasi, lemahnya kinerja integrasi dan lemahnya kinerja koneksitas manajemen pemerintahan dan pembangunan di antara Pemprov DKI Jakarta dengan Pemda Depok, Pemda Bogor, Pemda Tangerang dan Pemda Bekasi. Dalam perspektif organisasional, meta masalah yang menyebabkan terjadinya koneksitas beban sosiologis, beban ekonomis dan beban ekologis di antara DKI Jakarta dengan daerah-daerah di sekitarnya adalah ego lokal dan kepemimpinan local yang memandang issu Jakarta Menuju Kota Megapolitan yang tidak memperhatikan eksistensi ego local dan  mengambaikan kepemimpinan local di daerah-daerah sekitar DKI Jakarta.
Filosofi Masalah
Dari analisis meta masalah yang dikemukakan ditemukan filofosi masalah yang terkait denga issu Jakarta Menuju Kota Megapolitan, yaitu (1) Lemah kinerja koordinasi, lemahnya kinerja integrasi dan lemahnya kinerja koneksitas manajemen pemerintahan dan pembangunan di antara Pemprov DKI Jakarta dengan daerah-daerah sekitarnya; (2) Eksistensi ego local yang terbentuk dari nilai-nilai historis dan karakteristik local daerah-daerah di sekitar DKI Jakarta; dan  (3) Terabaikannya aspirasi dan peran pemimpin dan masyarakat local di daerah-daerah sekitar DKI Jakarta.

Solusi Masalah
Berdasarkan filosofi masalah yang teridentifikasi maka solusi masalah yang diperlukan untuk mengaktualisasikan issu Jakarta Menuju Kota Megapolita adalah (1) Memperkuat kinerja koordinasi, kinerja integrasi dan kinerja koneksitas manajemen pemerintahan dan pembangunan di antara Pemprov DKI Jakarta dengan daerah-daerah sekitarnya; (2) Menghormati eksistensi ego local yang terbentuk dari nilai-nilai historis dan karakteristik local daerah-daerah di sekitar DKI Jakarta; dan  (3) Menyerap aspirasi dan mengoptimalkan peran pemimpin dan masyarakat local di daerah-daerah sekitar DKI Jakarta untuk suksesnya Jakarta Menuju Kota Megapolitan.

Penutup
Berdasarkan komponen-komponen solusi masalah yang dikemukakan diajukan rekomendasi kepada Pemda Provinsi DKI Jakarta atau kepada Presiden sebagai berikut :
1.      Membentuk Badan Kerjasama Kota Megapolitan yang dipimpin oleh seorang Menteri Negara dan bertanggungjawab langsung kepada Presiden. Keanggotaan badan tersebut terdiri atas pejabat senior dari Pemda Provinsi DKI Jakarta dan pejabat-pejabat senior dari Pemda-Pemda di sekitar DKI Jakarta.
2.      Tugas dan fungsi badan tersebut adalah (1) Mengembangkan kinerja koordinasi, kinerja integrasi dan kinerja koneksitas manajemen pemerintahan dan pembangunan antar daerah  untuk mewujudkan Kota Megapolitan; (2) Mengembangkan kearifan dan karakteristik Sub Kota Megapolitan; dan  (3) Menyerap aspirasi dan mengoptimalkan peran pemimpin dan masyarakat local di daerah-daerah sekitar DKI Jakarta untuk mewujudkan Kota Megapolitan.