Thursday, September 22, 2016

Resume Buku General Theory of Law and State (Hans Kelsen)

Resume Buku General Theory of Law and State (Hans Kelsen). Diterjemahkan Mandiri

HUKUM DAN NEGARA
Oleh : Suwandi S. Sangadji

Definisi entitas negara menjadi sangat sulit lantaran beraneka ragamnya obyek yang biasa dinyatakan secara tegas oleh istilah tersebut. Istilah “negara” kadang-kadang digunakan dalam pengertian yang sangat luas untukmenyebut “masyarakat”, atau bentuk khusus dari masyarakat. Tetapi istilah itupun sangat sering digunakan dalam pengertian yang sangat sempit untuk menyebut suatu organ khusus masyarakat-misalnya pemerintah, atau para subyek pemerintah, “Bangsa”, atau wilayah yang mereka diami. Kondisi teori politik yang tidak memuaskan ini – yang pada hakikatnya merupakan teori negara- banyak disebabkan oleh fakta bahwa para penulis yang berbeda membahas masalah-masalah yang sangat berbeda dibawah satu nama yang sama dan bahwakan penuis yang sama-pun, tanpa disadari menggunakan istilah yang sama dengan pengertian yang berlainan.
Keadaannya tampak lebih sederhana jika negara dibahas dari teori ilmu hukum murni. Karenanya negara hanya dipandang sebagai fenomena hukum, sebagai badan hukum, yakni sebagai korporasi. Dengan begitu, hakikat negara pada dasarnya ditentukan oleh definisi kita terdahulu tentang korporasi. Satu-satunya persoalan yang tersisa adalah bagaimana negara dibedakan dari korporasi-korporasi yang lain. Perbedaanya mesti terletak pada tatanan norma yang membentuk korporasi negara. Negara adalah komunitas yang diciptakan oleh satu tatanan hukum nasional (sebagai lawan dari tatanan hukum internasional). Negara sebagai badan hukum adalah suatu personifikasi dari komunitas ini atau personifikasi dari tatanan hukum nasional yang membentuk komunitas ini. Oleh sebab itu, dari sudut pandang hukum, persoalan negara tampak sebagai persoalan tatanan hukum nasional.
Wujud empiric dari hukum positif adalah tatanan hukum nasional yang satu sama lain dihubungkan oleh tatanan hukum internasional. Tidak ada hukum absolute. Yang ada hanyalah sejumlah system norma-hukum inggris, prancis, amerika, meksiko, dan lain-lainyang bidang-bidang validitasnya dibatasi dengan cara-cara yang khas, dismping itu, ada pula sekumpulan norma yang kita sebut hukum internasional. Untuk mendefinisikan hukum, tidak cukup dengan menjelaskan perbedaan antara yang disebut norma hukum dengan norma-norma yang lain yang mengatur perbuatan manusia. Kita harus pula menjelaskan hakikat spesifik dari system-sistem norma yang merupakan manifestasi empiric dari hukum positif, sebagaimana system-sitem norma itu dibatasi dan bagaimana system-sitem norma saling berhubungan. Ini adalah masalah yang dimunculkan oleh negara sebagai fenomena hukum, dan teori negara sebagai cabang dari teori hukum mengemban tugas untuk memecahkannya.
Menurut pandangan tradisional, tidak mungkin untuk memahami esensi suatu tatanan hukum nasional, yakni “Pricipium individuationis”-nya, kecuali kalau negara dipostulasikan sebagai realitas sosial yang fundamental. Menurut pandangan ini, system norma memiliki kesatuan dan kekhasan sehingga pantas disebut suatu tatanan hukum nasional, semata-mata karena system norma ini, menurut cara yang satu atau cara yang lain, berkaitan dengan satu negara sebagai satu fakta sosial yang sesungguhnya; Karena system norma ini diciptakan oleh satu negara atau system norma ini valid “bagi” satu negara. Hukum perancis dianggap didasarkan pada eksistensi satu negara perancis sebagai suatu realitas sosial, bukan realitas hukum. Hubungan antara hukum dan negara dipandang sama seperti hubungan antara hukum dengan individu. Hukum walaupun diciptakan oleh negara dianggap mengatur perbuatan negara, yang dipahami layaknya seorang manusia, seperti halnya hukum mengatur perbuatan manusia. Konsep sosiologis tentang negara diyakini ada disamping konsep hukumnya, dan bahkan secara logis dan historis mendahului konsep hukumnya, seperti halnya keberadaan konsep “peribadi hukum” disamping konsep manusia secara fisik biologis. Negara sebagai realitas sosial termasuk dalam kategori masyarakat ; negara merupakan sebuah komunitas. Hukum termasuk dalam kategori norma; hukum adalah sebuah system norma, sebuah tatanan norma. Menurut pandangan ini, negara dan hukum merupakan dua obyek yang berbeda. Dualism antara negara dan hukum sebenarnya merupakan salah satu landasan dan ilmu hukum modern.
Meski demikian, dualism ini secara teoritis tidak dapat dipertahankan. Negara sebagai satu komunitas hukum bukanlah sesuatu yang terpisah dari tatanan hukumnya, sesuatu selain korporasi yang berbeda dari tata pembentuknya (anggaran dasarnya). Sejumlah individu membentuk suatu komunitas hanya karena suatu tatanan norma mengatur perbuatan timbal baliknya. Komunitas seperti dikemukakan pada satu bab yang lalu. Tidak lain merupakan tatanan norma yang mengatur perbuatan timbal balik para individu tersebut. Istilah komunitas hanya menunjuk fakta bahwa perbuatan timbal balik dari sejumlah individu tertentu diatur oleh suatu tatanan norma. Pernyataan bahwa sejumlah individu adalah anggota dari suatu komunitas hanyalah suatu ungkapan kiasan, suatu deskripsi kiasan dari hubungan-hubungan yang dibentuk oleh suatu tatanan norma.
Karena kita tidak mempunyai dasar atau alasan untuk menerima gagasan tentang adanya dua tatanan norma yang berbeda, yaitu tatanan negara dan tatanan hukumnya, maka kita harus menerima bahwa komunitas yang disebut negara adalah tatanan hukumnya. Hukum perancis dapat dibedakan hukum swiss atau meksikotanpa bantuan dari hipotesis bahwa negara perancis, swiss, dan meksiko, merupakan realitas-realitas sosial yang keberadaannya berdiri sendiri-sendiri. Negara sebagai komunitas dalam hubungannya dengan hukum, bukanlah suatu realitas alami, seperti manusia dalam hubungannya dengan hukum. Jika ada suatu realitas yang berhubungan dengan fenomena yang disebut negara, dan oleh sebab itu, suatu konsep sosiologis yang dibedakan dari konsep hukum mengenai negara, maka prioritas jatuh kepada konsep hukum, bukan kepada konsep sosiologis. Konsep sosiologis yang tuntutannya kepada istilah Negara akan dikaji lebih lanjut mempostulasikan konsep hukum; bukan sebaliknya.
Komunitas sosial berarti kesatuan dari aneka ragam individu atau tindakan dari sejumlah individu. Penegasan bahwa negara bukan semata-mata realitas hukum melainkan suatu realitas sosiologis, suatu realitas sosial, yang terlepas dari tatanan hukumnya, hanya dapat dipertahankan dengan pembuktian bahwa para individu yang termasuk dalam negara tersebut membentuk satu kesatuan dan bahwa kesatuan ini tidak diciptakan oleh tatanan hukum tetapi oleh suatu unsur yang tidak berkaitan dengan hukum. Meski demikian, unsur yang membentuk kesatuan dalam keanekaragaman, seperti tidak bisa ditemukan.
Interaksi yang dianggap terjadi diantara individu-individu yang berasal dari satu negara telah dinyatakan sebagai suatu unsur sosiologis yang terlepas dari hukum, yang membentuk kesatuan individu dari suatu negara, dan oleh sebab itu membentuk negara sebagai suatu realitas sosial. Dikatakan bahwa sejumlah orang membentuk satu kesatuan nyata, jika orang yang satu mempengaruhi orang yang lain dan pada gilirannya, dia sendiri dipengaruhi oleh orang yang lain. Jelas bahwa semua orang, terlepas dari segala fenomena apapun, berinteraksi seperti itu. Dimanapun didunia ini, kita menjumpai interaksi, dan oleh sebab itu konsep interaksi semata tidak dapat digunakan untuk menafsirkan kesatuan yang merupakan ciri dari suatu fenomena alam tertentuuntuk menerapkan teori interaksi kepada negara, kita harus menerima bahwa interaksi itu mengandung derajat yang berbeda-beda dan interaksi diantara individu-individu yang berasal dari berbagai negara. Tetapi asumsi semacam itu sama sekali tidak berdasar. Apakah yang ada dalam benak kita adalah hubungan-hubungan ekonomi, politik, atau budaya sewaktu membicarakan interaksi, sama sekali tidak dapat dibantah bahwa orang-orang dari berbagai negara acap kali memiliki kontak yang lebih erat dibanding para warga yang berasal dari satu negara. Pikirkanlah kasus dimana individu-individu dari kebangsaan, ras, atau agama yang sama terbagi ke dalam dua negara yang bertetangga dengan penduduknya yang tidak homogen. Keanggotaan dalam komunitas Bahasa, agama, kelas, atau profesi seringkali melahirkan ikatan-ikatan yang jauh lebih erat dibanding kesamaan kewarganegaraan. Karena memiliki sifat psikologis, interaksi sosial tidak terbatas kepada orang-orang yang hidup bersama dalam tempat atau ruang yang sama. Dengan bantuan peralatan komunikasi saat ini, dimungkinkan terjadinya pertukaran nilai-nilai spiritual yang sangat semarak diantara orang-orang yang tersebar di seluruh dunia. Dalam keadaan normal, batas negara bukan halangan bagi terjalinnya hubungan erat antar manusia. Jika intensitas interaksi sosial dapat diukur dengan tepat, boleh jadi akan diketahui bahwa manusia terbagi menjadi kelompok-kelompok yang tidak persis sama dengan negara-negara yang ada.
Penegasan bahwa interaksi antar individu yang berasal dari satu negara, lebih erat dibanding interaksi antar individu yang berasal dari berbagai negara, adalah suatu fiksi yang tendensi politiknya sangat jelas. Jika negara dianggap sebagai satu kesatuan sosial, kriteria kesatuannya pasti sangat berbeda dari interaksi sosial. Sifat hukum dari kriteria tersebut tampak dari cara menyatakan masalah sosiologis. Mengatakan bahwa negara adalah satu kesatuan sosial yang nyata, sama halnya mengatakan bahwa individu-individu yang secara hukum berasal dari satu negara, juga memiliki suatu hubungan interaksitimbal balik; yakni, bahwa negara merupakan suatu satuan sosia, disamping sebagai satu kesatuan hukum. Negara dinyatakan sebagai satu kesatuan hukum jika persoalan kesatuan sosiologisnya dirumuskan. Kita ketahui bahwa teori interaksi tidak memberikan jawaban yang tegas atas persoalan ini, dan akan diketahui bahwa setiap pemecahan positif yang diupayakan mesti mengandung jenis fiksi politik yang sama.
Satu pendekatan sosiologis lain terhadap masalah negara lahir dari asumsi bahwa individu yang berasal dari satu negara yang sama dipersatukan oleh fakta bahwa mereka memiliki satu kehendak atau kepentingan yang sama. Kita menyebutnya “kehendak kolektif” atau “kepentingan kolektif” dan menyatakan bahwa kehendak atau kepentingan kolektif ini membentuk kesatuan dan oleh sebab itu membentuk realitas sosial negara. Kita juga menyebut “perasaan kolektif”, “kesadaran kolektif”, semacam jiwa kelompok, sebagai fakta yang membentuk komunitas negara. Jika teori negara bukan untuk “mentransendentalkan” data pengalaman dan menurunkannya menjadi spekulasi metafisik, maka “kehendak kolektif” atau “kesadaran kolektif” ini tidak bisa menjadi kehendak atau kesadaran dari suatu makhluk yang berbeda dari individu manusia yang berasal dari negara itu; istilah “kehendak kolektif” hanya dapat berarti bahwa sejumlah individu memiliki kehendak, perasaan, atau pikiran yang sama, dan dipersatukan oleh kesadaran terhadap kehendak, perasaan, dan pikiran bersama ini. Karena itu kesatuan yang nyata hanya ada diantara mereka yang sungguh-sungguh memiliki keadaan jiwa yang sama, dan ini hanya ada pada saat identitas ini benar-benar ada. Identitas seperti itu tidak akan ada kecuali dalam kelompok-kelompok yang relative kecil yang keleluasaan atau keanggotaannya akan terus berubah. Penegasan bahwa semua warga dari suatu negara secara permanen memiliki kehendak, perasaan, atau pikiran yang sama, jelas merupakan suatu fiksi politik, mirip dengan fiksi yang terdapat dalam teori interaksi.
Yang lebih fiktif lagi ialah pandangan bahwa negara merupakan atau memiliki “kehendak kolektif” melebihi dan melampaui kehendak-kehendak dari para subyeknya. Penegasan semacam itu sebenarnya hanya dapat dianggap sebagai ungkapan kiasan bagi kekuatan pengikat yang dimiliki oleh tatanan hukum nasional atas individu-individu yang perbuatannya diatur oleh tatanan hukum tersebut. Menyebut kehendak negara sebagai realitas sosial atau psikologis berarti menghipotesiskan suatu abstraksi kepada suatu unsur nyata, yakni, menganggap karakter substansial atau personal berasal dari suatu hubungan normative antar individu. Seperti telah kita kemukakan, ini adalah kecenderungan khas dari pemikiran primitive. Kecenderungan untuk menghipotesiskan kehendak dari sesuatu diatas individu, dan itu berarti suatu makhluk di atas manusia mengandung suatu tujuan ideologis yang nyata.
Tujuan ideologis ini terlihat dengan lebih jelas, tatkala kesatuan nyata dari negara dijelaskan sebagai suatu “kepentingan kolektif”. Pada kenyataanya, penduduk suatu negara terbagi menjadi kelompok kepentingan yang satu sama lain sedikit banyak saling bertentangan. Ideologi kepentingan kolektif negara digunakan untuk menyembunyikan konflik kepentingan yang keberadaannya tidak dapat dipungkiri ini. Menyebut kepentingan yang dinyatakan dalam tatanan hukum sebagai kepentingan semua orang merupakan suatu fiksi, sekalipun bila tatanan hukum tersebut menggambarkan suatu kompromi diantara kepentingan-kepentingan dari kelompok-kelompok utama. Jika tatanan hukum memang merupakan pernyataan kepentingan dari semua orang, dan itu berarti, seandainya tatanan hukum sepenuhnya sesuai dengan kehendak dari semua individu yang tunduk kepada tatanan hukum tersebut, maka tatanan hukum ini dapat memperhitungkan kepatuhan sukarela dari semua subyeknya; dengan demikian tatanan hukum tersebut, maka tatanan hukum ini dapat memperhitungkan kepatuhan sukarela dari semua subyeknya; dengan demikian, tatanan hukum tersebut tidak perlu bersifat memaksa, dan karena menjadi sepenuhnya adil, maka karakter hukum pun bahkan tidak perlu dimiliki.

Referensi:
Hans Kelsen. 1971. General Theory of Law and State. New York: Russel and Russel

No comments:

Post a Comment