Resume Buku General
Theory of Law and State (Hans Kelsen). Diterjemahkan Mandiri
HUKUM
DAN NEGARA
Oleh
: Suwandi S. Sangadji
Definisi entitas negara menjadi sangat sulit lantaran beraneka ragamnya
obyek yang biasa dinyatakan secara tegas oleh istilah tersebut. Istilah “negara”
kadang-kadang digunakan dalam pengertian yang sangat luas untukmenyebut “masyarakat”,
atau bentuk khusus dari masyarakat. Tetapi istilah itupun sangat sering
digunakan dalam pengertian yang sangat sempit untuk menyebut suatu organ khusus
masyarakat-misalnya pemerintah, atau para subyek pemerintah, “Bangsa”, atau
wilayah yang mereka diami. Kondisi teori politik yang tidak memuaskan ini –
yang pada hakikatnya merupakan teori negara- banyak disebabkan oleh fakta bahwa
para penulis yang berbeda membahas masalah-masalah yang sangat berbeda dibawah
satu nama yang sama dan bahwakan penuis yang sama-pun, tanpa disadari
menggunakan istilah yang sama dengan pengertian yang berlainan.
Keadaannya tampak lebih sederhana jika negara dibahas dari teori ilmu hukum
murni. Karenanya negara hanya dipandang sebagai fenomena hukum, sebagai badan hukum,
yakni sebagai korporasi. Dengan begitu, hakikat negara pada dasarnya ditentukan
oleh definisi kita terdahulu tentang korporasi. Satu-satunya persoalan yang
tersisa adalah bagaimana negara dibedakan dari korporasi-korporasi yang lain. Perbedaanya
mesti terletak pada tatanan norma yang membentuk korporasi negara. Negara adalah
komunitas yang diciptakan oleh satu tatanan hukum nasional (sebagai lawan dari
tatanan hukum internasional). Negara sebagai badan hukum adalah suatu
personifikasi dari komunitas ini atau personifikasi dari tatanan hukum nasional
yang membentuk komunitas ini. Oleh sebab itu, dari sudut pandang hukum,
persoalan negara tampak sebagai persoalan tatanan hukum nasional.
Wujud empiric dari hukum positif adalah tatanan hukum nasional yang satu
sama lain dihubungkan oleh tatanan hukum internasional. Tidak ada hukum absolute.
Yang ada hanyalah sejumlah system norma-hukum inggris, prancis, amerika, meksiko,
dan lain-lainyang bidang-bidang validitasnya dibatasi dengan cara-cara yang
khas, dismping itu, ada pula sekumpulan norma yang kita sebut hukum internasional.
Untuk mendefinisikan hukum, tidak cukup dengan menjelaskan perbedaan antara
yang disebut norma hukum dengan norma-norma yang lain yang mengatur perbuatan
manusia. Kita harus pula menjelaskan hakikat spesifik dari system-sistem norma
yang merupakan manifestasi empiric dari hukum positif, sebagaimana system-sitem
norma itu dibatasi dan bagaimana system-sitem norma saling berhubungan. Ini adalah
masalah yang dimunculkan oleh negara sebagai fenomena hukum, dan teori negara
sebagai cabang dari teori hukum mengemban tugas untuk memecahkannya.
Menurut pandangan tradisional, tidak mungkin untuk memahami esensi suatu
tatanan hukum nasional, yakni “Pricipium individuationis”-nya, kecuali kalau
negara dipostulasikan sebagai realitas sosial yang fundamental. Menurut pandangan
ini, system norma memiliki kesatuan dan kekhasan sehingga pantas disebut suatu
tatanan hukum nasional, semata-mata karena system norma ini, menurut cara yang
satu atau cara yang lain, berkaitan dengan satu negara sebagai satu fakta
sosial yang sesungguhnya; Karena system norma ini diciptakan oleh satu negara
atau system norma ini valid “bagi” satu negara. Hukum perancis dianggap
didasarkan pada eksistensi satu negara perancis sebagai suatu realitas sosial,
bukan realitas hukum. Hubungan antara hukum dan negara dipandang sama seperti
hubungan antara hukum dengan individu. Hukum walaupun diciptakan oleh negara
dianggap mengatur perbuatan negara, yang dipahami layaknya seorang manusia,
seperti halnya hukum mengatur perbuatan manusia. Konsep sosiologis tentang
negara diyakini ada disamping konsep hukumnya, dan bahkan secara logis dan historis
mendahului konsep hukumnya, seperti halnya keberadaan konsep “peribadi hukum”
disamping konsep manusia secara fisik biologis. Negara sebagai realitas sosial
termasuk dalam kategori masyarakat ; negara merupakan sebuah komunitas. Hukum termasuk
dalam kategori norma; hukum adalah sebuah system norma, sebuah tatanan norma. Menurut
pandangan ini, negara dan hukum merupakan dua obyek yang berbeda. Dualism antara
negara dan hukum sebenarnya merupakan salah satu landasan dan ilmu hukum modern.
Meski demikian, dualism ini secara teoritis tidak dapat dipertahankan.
Negara sebagai satu komunitas hukum bukanlah sesuatu yang terpisah dari tatanan
hukumnya, sesuatu selain korporasi yang berbeda dari tata pembentuknya
(anggaran dasarnya). Sejumlah individu membentuk suatu komunitas hanya karena
suatu tatanan norma mengatur perbuatan timbal baliknya. Komunitas seperti dikemukakan
pada satu bab yang lalu. Tidak lain merupakan tatanan norma yang mengatur
perbuatan timbal balik para individu tersebut. Istilah komunitas hanya menunjuk
fakta bahwa perbuatan timbal balik dari sejumlah individu tertentu diatur oleh suatu
tatanan norma. Pernyataan bahwa sejumlah individu adalah anggota dari suatu
komunitas hanyalah suatu ungkapan kiasan, suatu deskripsi kiasan dari
hubungan-hubungan yang dibentuk oleh suatu tatanan norma.
Karena kita tidak mempunyai dasar atau alasan untuk menerima gagasan
tentang adanya dua tatanan norma yang berbeda, yaitu tatanan negara dan tatanan
hukumnya, maka kita harus menerima bahwa komunitas yang disebut negara adalah
tatanan hukumnya. Hukum perancis dapat dibedakan hukum swiss atau meksikotanpa
bantuan dari hipotesis bahwa negara perancis, swiss, dan meksiko, merupakan
realitas-realitas sosial yang keberadaannya berdiri sendiri-sendiri. Negara sebagai
komunitas dalam hubungannya dengan hukum, bukanlah suatu realitas alami,
seperti manusia dalam hubungannya dengan hukum. Jika ada suatu realitas yang
berhubungan dengan fenomena yang disebut negara, dan oleh sebab itu, suatu
konsep sosiologis yang dibedakan dari konsep hukum mengenai negara, maka
prioritas jatuh kepada konsep hukum, bukan kepada konsep sosiologis. Konsep sosiologis
yang tuntutannya kepada istilah Negara akan dikaji lebih lanjut mempostulasikan
konsep hukum; bukan sebaliknya.
Komunitas sosial berarti kesatuan dari aneka ragam individu atau tindakan
dari sejumlah individu. Penegasan bahwa negara bukan semata-mata realitas hukum
melainkan suatu realitas sosiologis, suatu realitas sosial, yang terlepas dari
tatanan hukumnya, hanya dapat dipertahankan dengan pembuktian bahwa para
individu yang termasuk dalam negara tersebut membentuk satu kesatuan dan bahwa
kesatuan ini tidak diciptakan oleh tatanan hukum tetapi oleh suatu unsur yang
tidak berkaitan dengan hukum. Meski demikian, unsur yang membentuk kesatuan
dalam keanekaragaman, seperti tidak bisa ditemukan.
Interaksi yang dianggap terjadi diantara individu-individu yang berasal
dari satu negara telah dinyatakan sebagai suatu unsur sosiologis yang terlepas
dari hukum, yang membentuk kesatuan individu dari suatu negara, dan oleh sebab
itu membentuk negara sebagai suatu realitas sosial. Dikatakan bahwa sejumlah
orang membentuk satu kesatuan nyata, jika orang yang satu mempengaruhi orang
yang lain dan pada gilirannya, dia sendiri dipengaruhi oleh orang yang lain. Jelas
bahwa semua orang, terlepas dari segala fenomena apapun, berinteraksi seperti
itu. Dimanapun didunia ini, kita menjumpai interaksi, dan oleh sebab itu konsep
interaksi semata tidak dapat digunakan untuk menafsirkan kesatuan yang
merupakan ciri dari suatu fenomena alam tertentuuntuk menerapkan teori
interaksi kepada negara, kita harus menerima bahwa interaksi itu mengandung
derajat yang berbeda-beda dan interaksi diantara individu-individu yang berasal
dari berbagai negara. Tetapi asumsi semacam itu sama sekali tidak berdasar. Apakah
yang ada dalam benak kita adalah hubungan-hubungan ekonomi, politik, atau
budaya sewaktu membicarakan interaksi, sama sekali tidak dapat dibantah bahwa
orang-orang dari berbagai negara acap kali memiliki kontak yang lebih erat
dibanding para warga yang berasal dari satu negara. Pikirkanlah kasus dimana
individu-individu dari kebangsaan, ras, atau agama yang sama terbagi ke dalam
dua negara yang bertetangga dengan penduduknya yang tidak homogen. Keanggotaan dalam
komunitas Bahasa, agama, kelas, atau profesi seringkali melahirkan
ikatan-ikatan yang jauh lebih erat dibanding kesamaan kewarganegaraan. Karena memiliki
sifat psikologis, interaksi sosial tidak terbatas kepada orang-orang yang hidup
bersama dalam tempat atau ruang yang sama. Dengan bantuan peralatan komunikasi
saat ini, dimungkinkan terjadinya pertukaran nilai-nilai spiritual yang sangat
semarak diantara orang-orang yang tersebar di seluruh dunia. Dalam keadaan
normal, batas negara bukan halangan bagi terjalinnya hubungan erat antar
manusia. Jika intensitas interaksi sosial dapat diukur dengan tepat, boleh jadi
akan diketahui bahwa manusia terbagi menjadi kelompok-kelompok yang tidak
persis sama dengan negara-negara yang ada.
Penegasan bahwa interaksi antar individu yang berasal dari satu negara,
lebih erat dibanding interaksi antar individu yang berasal dari berbagai
negara, adalah suatu fiksi yang tendensi politiknya sangat jelas. Jika negara
dianggap sebagai satu kesatuan sosial, kriteria kesatuannya pasti sangat
berbeda dari interaksi sosial. Sifat hukum dari kriteria tersebut tampak dari
cara menyatakan masalah sosiologis. Mengatakan bahwa negara adalah satu
kesatuan sosial yang nyata, sama halnya mengatakan bahwa individu-individu yang
secara hukum berasal dari satu negara, juga memiliki suatu hubungan
interaksitimbal balik; yakni, bahwa negara merupakan suatu satuan sosia,
disamping sebagai satu kesatuan hukum. Negara dinyatakan sebagai satu kesatuan hukum
jika persoalan kesatuan sosiologisnya dirumuskan. Kita ketahui bahwa teori
interaksi tidak memberikan jawaban yang tegas atas persoalan ini, dan akan
diketahui bahwa setiap pemecahan positif yang diupayakan mesti mengandung jenis
fiksi politik yang sama.
Satu pendekatan sosiologis lain terhadap masalah negara lahir dari asumsi
bahwa individu yang berasal dari satu negara yang sama dipersatukan oleh fakta
bahwa mereka memiliki satu kehendak atau kepentingan yang sama. Kita menyebutnya
“kehendak kolektif” atau “kepentingan kolektif” dan menyatakan bahwa kehendak
atau kepentingan kolektif ini membentuk kesatuan dan oleh sebab itu membentuk
realitas sosial negara. Kita juga menyebut “perasaan kolektif”, “kesadaran
kolektif”, semacam jiwa kelompok, sebagai fakta yang membentuk komunitas
negara. Jika teori negara bukan untuk “mentransendentalkan” data pengalaman dan
menurunkannya menjadi spekulasi metafisik, maka “kehendak kolektif” atau “kesadaran
kolektif” ini tidak bisa menjadi kehendak atau kesadaran dari suatu makhluk
yang berbeda dari individu manusia yang berasal dari negara itu; istilah “kehendak
kolektif” hanya dapat berarti bahwa sejumlah individu memiliki kehendak,
perasaan, atau pikiran yang sama, dan dipersatukan oleh kesadaran terhadap
kehendak, perasaan, dan pikiran bersama ini. Karena itu kesatuan yang nyata
hanya ada diantara mereka yang sungguh-sungguh memiliki keadaan jiwa yang sama,
dan ini hanya ada pada saat identitas ini benar-benar ada. Identitas seperti
itu tidak akan ada kecuali dalam kelompok-kelompok yang relative kecil yang
keleluasaan atau keanggotaannya akan terus berubah. Penegasan bahwa semua warga
dari suatu negara secara permanen memiliki kehendak, perasaan, atau pikiran
yang sama, jelas merupakan suatu fiksi politik, mirip dengan fiksi yang
terdapat dalam teori interaksi.
Yang lebih fiktif lagi ialah pandangan bahwa negara merupakan atau
memiliki “kehendak kolektif” melebihi dan melampaui kehendak-kehendak dari para
subyeknya. Penegasan semacam itu sebenarnya hanya dapat dianggap sebagai
ungkapan kiasan bagi kekuatan pengikat yang dimiliki oleh tatanan hukum nasional
atas individu-individu yang perbuatannya diatur oleh tatanan hukum tersebut. Menyebut
kehendak negara sebagai realitas sosial atau psikologis berarti
menghipotesiskan suatu abstraksi kepada suatu unsur nyata, yakni, menganggap
karakter substansial atau personal berasal dari suatu hubungan normative antar
individu. Seperti telah kita kemukakan, ini adalah kecenderungan khas dari
pemikiran primitive. Kecenderungan untuk menghipotesiskan kehendak dari sesuatu
diatas individu, dan itu berarti suatu makhluk di atas manusia mengandung suatu
tujuan ideologis yang nyata.
Tujuan ideologis ini terlihat dengan lebih jelas, tatkala kesatuan nyata
dari negara dijelaskan sebagai suatu “kepentingan kolektif”. Pada kenyataanya,
penduduk suatu negara terbagi menjadi kelompok kepentingan yang satu sama lain
sedikit banyak saling bertentangan. Ideologi kepentingan kolektif negara
digunakan untuk menyembunyikan konflik kepentingan yang keberadaannya tidak
dapat dipungkiri ini. Menyebut kepentingan yang dinyatakan dalam tatanan hukum sebagai
kepentingan semua orang merupakan suatu fiksi, sekalipun bila tatanan hukum tersebut
menggambarkan suatu kompromi diantara kepentingan-kepentingan dari
kelompok-kelompok utama. Jika tatanan hukum memang merupakan pernyataan
kepentingan dari semua orang, dan itu berarti, seandainya tatanan hukum sepenuhnya
sesuai dengan kehendak dari semua individu yang tunduk kepada tatanan hukum tersebut,
maka tatanan hukum ini dapat memperhitungkan kepatuhan sukarela dari semua
subyeknya; dengan demikian tatanan hukum tersebut, maka tatanan hukum ini dapat
memperhitungkan kepatuhan sukarela dari semua subyeknya; dengan demikian,
tatanan hukum tersebut tidak perlu bersifat memaksa, dan karena menjadi sepenuhnya
adil, maka karakter hukum pun bahkan tidak perlu dimiliki.
Referensi:
Hans Kelsen. 1971. General Theory of Law and State.
New York: Russel and Russel
No comments:
Post a Comment