Sunday, May 11, 2014

PHILOSOPHICAL ETHICS AND GOOD GOVERNANCE



PHILOSOPHICAL ETHICS
AND GOOD GOVERNANCE

Oleh : Suwandi S. Sangadji










PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS MERCUBUANA
JAKARTA
2014


BAB I
PENDAHULUAN

        Penyelenggaraan sistem Pemerintahan Indonesia sebagaimana yang dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang 1945 yang semakin kompleks dan dinamis tampak menjadi suatu fenomena yang sarat dengan persoalan-persoalan sosiologis. Upaya untuk memahami dan mengungkap fenomena penyelenggaraan sistem Pemerintahan Indonesia juga semakin meluas dan mendalam. Karena itu, perkembangan Ilmu Pemerintahan pun semakin dituntut untuk secara kritis dan obyektif dapat menjadi salah satu pendekatan ilmu yang dapat diandalkan untuk membahas berbagai masalah pemerintahan serta sekaligus menemukan juga solusi-solusi untuk penyelesaian masalah-masalah tersebut.
         Untuk itu, pengembangan Ilmu Pemerintahan yang tengah memasuki tahapan kritis semakin membutuhkan pemikiran-pemikiran yang komprehensif, dengan melihat realitas bahwa di dalam penyelenggaraan sistem pemerintahan itu terdapat sekian banyak factor, mencakup begitu banyak aspek, dan menunjukkan sederetan masalah yang saling berkaitan. Faktor-faktor yang dimaksud tidak hanya tercakup dalam dimensi internal pemerintahan; namun mencakup pula factor-faktor yang tercakup dalam dimensi eksternal pemerintahan.
          Dalam dimensi internal pemerintahan, sejumlah factor yang dimaksud antara lain :
-       factor birokrasi pemerintahan yang tercermin dari struktur,  fungsi, prosedur dan koordinasi lembaga-lembaga pemerintahan;
-       factor administrasi pemerintahan yang meliputi sumber daya aparatur, sumber daya anggaran, sumber daya kebijakan, sumber daya sarana  prasarana untuk melaksanakan fungsi-fungsi pemerintahan;  
-       factor  manajemen pemerintahan yang meliputi fungsi perencanaan, fungsi pengorganisasian, fungsi pelaksanaan, fungsi pengawasan, fungsi pelaporan dan fungsi pertanggungjawaban;
-       factor-faktor kepemimpinan pemerintahan yang berlangsung di antara jabatan-jabatan politis dengan jabatan-jabatan administratif dan teknis;
-       faktor hubungan antar pemerintahan yang terjalin di antara lembaga-lembaga pemerintahan, di antara  lembaga-lembaga pemerintahan dengan masyarakat, dan di antara lembaga-lembaga pemerintahan dengan negara-negara lainmya; dan
-       faktor sumber daya pemerintahan yang meliputi wilayah negara, rakyat, dan segala sumber daya kenegaraan yang tersusun dari segenap sumber daya manusia dan seluruh sumber daya alam.
     Dalam dimensi eksternal pemerintahan, sejumlah factor yang dimaksud tercakup dalam dinamika kehidupan masyarakat di seluruh sektor dan tingkatan yaitu :
-       kondisi dinamis perkembangan, kebutuhan dan permasalahan kehidupan sosial politik;
-       kondisi dinamis perkembangan, kebutuhan dan permasalahan kehidupan sosial ekonomi; dan
-       kondisi dinamis perkembangan, kebutuhan dan permasalahan kehidupan sosial budaya.
        Bila faktor-faktor internal dan faktor-faktor eksternal pemerintahan tersebut disatupadukan sebagai suatu sistem sumber daya kenegaraan, maka dengan sendirinya obyek forma Ilmu Pemenrintahan menjadi sangat luas dan bersifat dinamis. Karena itu, diperlukan suatu konsep pemahaman yang komprehensif terhadap fenomena perkembangan, kebutuhan dan permasalahan peemrintahan. Untuk memperoleh konsep pemahaman tersebut diperlukan berbagai metodologi pendekatan yang dapat mengoptimalkan fungsi Ilmu Pemerintahan sebagai salah satu disiplin ilmu yang semakin fungsional bagi penyelenggaraan sistem pemerintahan. Dalam konteks inilah diperlukan  suatu konsep pemahaman tentang filsafat dan teori pemerintahan yang benar dan obyektif.



BAB II
FILSAFAT DAN FILSAFAT ILMU PEMERINTAHAN


A.   Filsafat
   Filsafat dalam bahasa Inggris, disebut philosophy, adalah istilah filsafat yang berasal dari bahasa Yunani, philosophia. Istilah ini terdiri atas dua kata: philos (cinta) atau philia (persahabatan, tertarik kepada) dan shopia (hikmah, kebijaksanaan, pengetahuan, keterampilan, pengalaman praktis, inteligensi). Jadi secara etimologi, filsafat berarti cinta kebijaksanaan atau kebenaran. Plato menyebut Socrates sebagai philosophos (filosof) dalam pengertian pencinta kebijaksanaan. Kata falsafah merupakan arabisasi yang berarti pencarian yang dilakukan oleh para filosof. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata filsafat menunjukkan pengertian yang dimaksud, yaitu pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab asal dan hukumnya. Manusia filosofis adalah manusia yang memiliki kesadaran diri dan akal sebagaimana ia juga memiliki jiwa yang independen dan bersifat spiritual.
     Sebelum Socrates ada satu kelompok yang menyebut diri mereka sophist (kaum sofis) yang berarti cendekiawan. Mereka menjadikan persepsi manusia sebagai ukuran realitas dan menggunakan hujah-hujah yang keliru dalam kesimpulan mereka. Sehingga kata sofis mengalami reduksi makna yaitu berpikir yang menyesatkan. Socrates karena kerendahan hati dan menghindarkan diri dari pengidentifikasian dengan kaum sofis, melarang dirinya disebut dengan seorang sofis (cendekiawan). Oleh karena itu istilah filosof tidak pakai orang sebelum Socrates (Muthahhari, 2002).
   Pada mulanya kata filsafat berarti segala ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia. Mereka membagi filsafat kepada dua bagian yakni, filsafat teoretis dan filsafat praktis. Filsafat teoretis mencakup: (1) ilmu pengetahuan alam, seperti: fisika, biologi, ilmu pertambangan, dan astronomi; (2) ilmu eksakta dan matematika; (3) ilmu tentang ketuhanan dan metafisika. Filsafat praktis mencakup: (1) norma-norma (akhlak); (2) urusan rumah tangga; (3) sosial dan politik.
Secara umum filsafat berarti upaya manusia untuk memahami segala sesuatu secara sistematis, radikal, dan kritis. Berarti filsafat merupakan sebuah proses bukan sebuah produk. Maka proses yang dilakukan adalah berpikir kritis yaitu usaha secara aktif, sistematis, dan mengikuti pronsip-prinsip logika untuk mengerti dan mengevaluasi suatu informasi dengan tujuan menentukan apakah informasi itu diterima atau ditolak. Dengan demikian filsafat akan terus berubah hingga satu titik tertentu (Takwin, 2001).
Defenisi kata filsafat bisa dikatakan merupakan sebuah masalah falsafi pula. Menurut para ahli logika ketika seseorang menanyakan pengertian (defenisi/hakikat) sesuatu, sesungguhnya ia sedang bertanya tentang macam-macam perkara. Tetapi paling tidak bisa dikatakan bahwa “falsafah” itu kira-kira merupakan studi yang didalami tidak dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan masalah secara persis, mencari solusi untuk ini, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu dan akhirnya dari proses-proses sebelumnya ini dimasukkan ke dalam sebuah dialektika. Dialektika ini secara singkat bisa dikatakan merupakan sebuah bentuk daripada dialog.
    Adapun beberapa pengertian pokok tentang filsafat menurut kalangan filosof adalah (1) Upaya spekulatif untuk menyajikan suatu pandangan sistematik serta lengkap tentang seluruh realitas; (2) Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir dan dasar secara nyata; (3) Upaya untuk menentukan batas-batas dan jangkauan pengetahuan sumber daya, hakikatnya, keabsahannya, dan nilainya; (4) Penyelidikan kritis atas pengandaian-pengandaian dan pernyataan-pernyataan yang diajukan oleh berbagai bidang pengetahuan; dan (5) Disiplin ilmu yang berupaya untuk membantu kita  melihat apa yang kita  katakan dan untuk menyatakan apa yang kita lihat.
    Plato (427–348 SM) menyatakan filsafat ialah pengetahuan yang bersifat untuk mencapai kebenaran yang asli. Sedangkan Aristoteles (382–322 SM) mendefenisikan filsafat ialah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika. Sedangkan filosof lainnya Cicero (106–043 SM) menyatakan filsafat ialah ibu dari semua ilmu pengetahuan lainnya. Filsafat ialah ilmu pengetahuan terluhur dan keinginan untuk mendapatkannya.
    Menurut Descartes (1596–1650), filsafat ialah kumpulan segala pengetahuan di mana Tuhan, alam dan manusia menjadi pokok penyelidikannya. Sedangkan Immanuel Kant (1724–1804) berpendapat filsafat ialah ilmu pengetahuan yang menjadi pokok dan pangkal segala pengetahuan yang tercakup di dalamnya 4 persoalan yakni (1) Apakah yang dapat kita ketahui? Jawabannya termasuk dalam bidang metafisika; (2) Apakah yang seharusnya kita kerjakan? Jawabannya termasuk dalam bidang etika; (3) Sampai di manakah harapan kita? Jawabannya termasuk pada bidang agama; dan (4) Apakah yang dinamakan manusia itu? Jawabannya termasuk pada bidang antropologi.
        Sekurang-kurangnya terdapat tiga karakteristik berpikir secara filsafat yakni:
         Pertama, sifat menyeluruh: seseorang ilmuwan tidak akan pernah puas jika hanya mengenal ilmu hanya dari segi pandang ilmu itu sendiri. Dia ingin tahu hakikat ilmu dari sudut pandang lain, kaitannya dengan moralitas, serta ingin yakin apakah ilmu ini akan membawa kebahagian dirinya. Hal ini akan membuat ilmuwan tidak merasa sombong dan paling hebat. Di atas langit masih ada langit. contoh: Socrates menyatakan dia tidak tahu apa-apa.
          Kedua,  sifat mendasar: yaitu sifat yang tidak saja begitu percaya bahwa ilmu itu benar. Mengapa ilmu itu benar? Bagaimana proses penilaian berdasarkan kriteria tersebut dilakukan? Apakah kriteria itu sendiri benar? Lalu benar sendiri itu apa? Seperti sebuah pertanyaan yang melingkar yang harus dimulai dengan menentukan titik yang benar.
          Ketiga, spekulatif: dalam menyusun sebuah lingkaran dan menentukan titik awal sebuah lingkaran yang sekaligus menjadi titik akhirnya dibutuhkan sebuah sifat spekulatif baik sisi proses, analisis maupun pembuktiannya. Sehingga dapat dipisahkan mana yang logis atau tidak.

B.   Filsafat Ilmu
          Dengan uraian pendekatan filsafat yang dikemukakan maka Ilmu Pemerintahan dapat digali, diolah dan dikemas menjadi suatu disiplin ilmu dengan pendekatan filsafat ilmu. Dalam kontek ini, Jujun Suriasumantri (2005:33-34) memandang filsafat ilmu sebagai bagian dari epistomologi (filsafat pengetahuan) yang ingin menjawab tiga kelompok pertanyaan mengenai hakikat ilmu sebagai berikut :
           Kelompok pertanyaan pertama antara lain : Obyek apa yang ditelaah ilmu? Bagaimana wujud hakiki dari obyek tersebut? Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tanggap manusia?
            Kelompok pertanyaan kedua : Bagaimana proses yang memungkinkan diperolehnya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar? Apa yang dimaksud kebenaran?
            Kelompok pertanyaan ketiga : Untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana kaitan antara cara menggunakan ilmu dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral?
            Kelompok pertanyaan pertama merupakan tinjauan ilmu secara ontologis. Sedangkan pertanyaan-pertanyaan kelompok kedua merupakan tinjauan ilmu secara etimologis. Dan pertanyaan-pertanyaan kelompok ketiga sebagai tinjauan ilmu secara aksiologis.

C.   Filsafat Ilmu Pemerintahan
          Dengan pendekatan filsafat ilmu tersebut maka filsafat ilmu pemerintahan dapat dibangun dengan paradigma sebagai berikut :

1.    Definisi Ilmu Pemerintahan
    Ilmu Pemerintahan adalah ilmu yang mempelajari fenomena, gejala, peristiwa, kejadian yang berlangsung dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara oleh lembaga-lembaga pemerintahan Negara yang meliputi kegiatan organisasional lembaga-lembaga pemerintahan; aktivitas administrasi pemerintahan; rangkaian manajemen pemerintahan; perilaku kepemimpinan pemerintahan; jalinan hubungan pemerintahan; dan pengelolaan sumber daya pemerintahan yang berlaku dalam rangka pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan yang meliputi fungsi pertahanan negara, fungsi penegakkan hukum, fungsi pembangunan, fungsi pemberdayaan dan fungsi pelayanan.
     Dengan konsep pemahaman yang demikian itu,  maka ruang lingkup kajian Ilmu Pemerintahan adalah : (1) kegiatan organisasional lembaga-lembaga pemerintahan; (2) aktivitas administrasi pemerintahan; (3) rangkaian manajemen pemerintahan; (4) perilaku kepemimpinan pemerintahan; (5) jalinan hubungan pemerintahan; dan (6) pengelolaan sumber daya pemerintahan yang berlaku dalam pelaksanaan fungsi pertahanan negara, fungsi penegakkan hukum, fungsi pembangunan, fungsi pemberdayaan dan fungsi pelayanan.
  Dengan ruang lingkup obyek kajian  yang demikian itu,  maka alur pikir Ilmu Pemerintahan adalah sebagai berikut :


Gambar 1
Alur Pikir Ilmu Pemerintahan

        Dengan konsep pemahaman alur pikir yang tergambar maka Ilmu Pemerintahan dapat dikatakan sebagai ilmu, karena telah menunjukkan secara jelas obyek atau sasaran kajiannya yaitu  fenomena process dan output penyelenggaraan pemerintahan oleh lembaga-lembaga Negara yaitu birokrasi pemerintahan, administrasi pemerintahan, manajemen pemerintahan, kepemimpinan pemerintahan, komunikasi pemerintahan dan sumber daya pemerintahan yang berlangsung dalam pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan yang meliputi fungsi perlindungan, fungsi pertahanan, fungsi penegakkan hukum, fungsi pembangunan, fungsi pemberdayaan,  fungsi pelayanan, dan fungsi hubungan antar pemerintahan. Dengan obyek atau sasaran ini maka Ilmu Pemerintahan telah membentuk body of knowledge yang mempunyai ruang lingkup kajian tersendiri.
          Sebagai suatu disiplin ilmu, metodologi Ilmu Pemerintahan adalah cara pandang dan pendekatan analisis sosiologis yang berbasis pada paradigma perilaku sosial yang berlangsung dalam penyelenggaraan sistem pemerintahan Negara yang diaktualisasikan menurut pendekatan ontologis (filasfat ilmu yang menunjukkan apa yang menjadi obyek penerapan ilmu), pendekatan epistemologis (filasafat ilmu yang menunjukkan cara untuk memperoleh ilmu pengetahuan), dan pendekatan aksiologis (filsafat ilmu yang menunjukkan kemanfaatan bagi manusia yang diperoleh dari ilmu tersebut).
         Pendekatan-pendekatan yang dapat digunakan untuk menganalisa masalah-masalah pemerintahan adalah pendekatan metadisiplin, pendekatan paradigmatic, pendekatan ontologikal, pengkajian lapangan, pengkajian konseptual, studi terapan dan studi kasus. Konsep pemahaman pendekatan-pendekatan tersebut adalah sebagai berikut : 
         Pendekatan metadisiplin adalah pendekatan analisis masalah-masalah pemerintahan yang didasarkan pada anggapan dasar (basic assumption) yang membedakan cabang satu ilmu dengan cabang ilmu lainnya. Anggapan dasar tersebut antara lain dibangun dengan mengajukan hipotesis.
         Pendekatan paradigmatik adalah pendekatan analisis  masalah-masalah pemerintahan secara dinamis dari satu paradigma ke paradigma berikutnya hingga membentuk suatu konsep pemahaman yang heuristik. Sebagai misal, pendakatan analisis masalah-masalah pemerintahan yang dilakukan dengan paradigma perilaku sosial, sebagai salah satu paradigma sosiologi yang mengacu pada rangkaian perilaku sosial yang berlangsung di suatu lingkungan seperti lingkungan birokrasi.  
          Pendekatan ontologikal adalah pendekatan analisis masalah-masalah pemerintahan menurut disiplin ilmu pemerintahan yang dipandang sebagai suatu body of knowledge mempunyai ruang lingkup kajian tersendiri, atau menjadi bagian integral dari disiplin ilmu lainnya. Pendekatan ontologikal ini dapat juga disebut sebagai pendekatan multidisiplin.
          Pengkajian lapangan adalah pendekatan analisis masalah-masalah pemerintahan yang didasarkan pada panduan teoritik dengan tujuan mengungkap dan membahas data empirik untuk mengembangkan konsep-konsep baru yang dapat dijadikan kontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan terutama ilmu pemerintahan. Pengkajian lapangan dapat dilakukan dengan metodologi kuantitatif, metodologi kualitatif atau gabungan kedua metologi tersebut. 
           Pengkajian konseptual adalah pendekatan analisis masalah-masalah pemerintahan yang bertujuan mengkonstruk konsep-konsep Ilmu Pemerintahan, dengan hasil penelitian sebagai bahan bakunya, dan dengan menggunakan teori-teori sebagai landasan teoritik penyusunan konsep operasional variabel-variabel penelitian. Dari pendekatan inilah akan terkonstruk teori baru seperti misalnya dari teori kepemimpinan yang bersifat umum menjadi teori kepemimpinan pemerintahan yang bersifat spesifik.
      Studi terapan  adalah pendekatan analisis masalah-masalah pemerintahan yang bertujuan mempelajari penerapan hasil studi teoritik di bidang tertentu dan penggunaannya untuk memperoleh solusi masalah. Hasil studi terapan ini biasa berbentuk laporan deskriptif.
          Studi kasus adalah pendekatan analisis masalah-masalah pemerintahan yang mengangkat fenomena, gejela-gejala, peristiwa tertentu yang diangkat dengan penyajian data empirik. Pendekatan analisis tersebut dilakukan untuk mengkritisi fenomena, gejela-gejala, peristiwa pemerintahan  yang terjadi dalam penyelenggaraan sistem pemerintahan sebagai suatu kajian kasus yang dapat membangun suatu solusi, atau menunjukkan perbandingan tertentu dalam berbagai aspek pemerintahan.

2.    Metodologi Ilmu Pemerintahan
          Pendekatan Ontologi : Ilmu Pemerintahan merupakan suatu disiplin ilmu yang telah berkembang melalui beberapa tahapan. Proses terbentuknya Ilmu Pemerintah  bermula dari :
           Kerangka pemikiran tentang perwujudan cita-cita kehidupan masyarakat atau bangsa yang damai, adil dan sejahtera melalui penyelenggaraan suatu sistem pemerintahan negara untuk mewujudkan cita-cita kehidupan bermaswyarakat, berbangsas dan bernegara.  Kerangka pemikiran ini terdapat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 45. Dari kerangka pemikiran ini terbentuk  basic platform Ilmu Pemerintahan..
            Basic platform yang tersusun dari  hak dan kewajiban negara terhadap warga negara; dan hak dan kewajiban negara terhadap warga negara. Pemenuhan hak dan kewajiban negara terhadap warga negara dilakukan oleh lembaga-lembaga penyelenggara pemerintahan negara seperti lembaga eksekutif, lembaga legislatif, dan lembaga yudikatif dalam menyelenggarakan fungsi-fungsi pemerintahan menurut tugas dan tanggungjawab masing-masing lembaga negara. Pemenuhan hak dan kewajiban warga negara terhadap negara dipenuhi oleh warga negara antara lain dengan cara berpartisipasi dalam pembentukan pemerintahan negara melalui kegiatan pemilihan umum;  mematuhi hukum negara, dan membayar pajak. Dari basic platform ini kemudian terbentuk  common platform Ilmu Pemerintahan.
         Common platform yang menunjukkan keterkaitan berbagai disiplin ilmu yang dijadikan cara pandang dan pendekatan-pendekatan analisis untuk secara parsial atau secara terintegrasi mempelajari fenomena penyelenggaraan pemerintahan negara seperti misalnya ilmu hukum, ilmu politik, ilmu administrasi negara, dan ilmu kesejahteraan sosial; dari common platform ini kemudian terbentuk anggapan dasar Ilmu Pemerintahan.
          Anggapan dasar Ilmu Pemerintahan  sebagai suatu body of knowledge adalah bahwa Ilmu Pemerintahan, menurut penulis : Ilmu yang mempelajari penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerintahan yang meliputi fungsi pertahanan, fungsi penegakkan hukum, fungsi pembangunan, fungsi pemberdayaan masyarakat, fungsi pelayanan publik dan fungsi hubungan antar pemerintahan yang dilakukan dengan mengelola birokrasi pemerintahan;  administrasi pemerintahan; manajemen pemerintahan; kepemimpinan pemerintahan; komunikasi pemerintahan; dan sumber daya pemerintahan dalam rangka mencapai tujuan-tujuan penyelenggaraan pemerintahan.
         Pendekatan Epistemologi : Ilmu Pemerintahan dapat diperoleh dengan pendekatan metadisiplin, pendekatan paradigmatic, pendekatan ontologikal, pengkajian lapangan, pengkajian konseptual, studi terapan dan studi kasus. Pendekatan metadisiplin adalah pendekatan analisis masalah-masalah pemerintahan yang didasarkan pada anggapan dasar (basic assumption) yang membedakan cabang satu ilmu dengan cabang ilmu lainnya. Anggapan dasar tersebut antara lain dibangun dengan mengajukan hipotesis. Pendekatan paradigmatik adalah pendekatan analisis  masalah-masalah pemerintahan secara dinamis dari satu paradigma ke paradigma berikutnya hingga membentuk suatu konsep pemahaman yang heuristik. Sebagai misal, pendakatan analisis masalah-masalah pemerintahan yang dilakukan dengan paradigma perilaku sosial, sebagai salah satu paradigma sosiologi yang mengacu pada rangkaian perilaku sosial yang berlangsung di suatu lingkungan seperti lingkungan birokrasi. Pendekatan ontologikal adalah pendekatan analisis masalah-masalah pemerintahan menurut disiplin ilmu pemerintahan yang dipandang sebagai suatu body of knowledge mempunyai ruang lingkup kajian tersendiri, atau menjadi bagian integral dari disiplin ilmu lainnya. Pendekatan ontologikal ini dapat juga disebut sebagai pendekatan multidisiplin. Pengkajian lapangan adalah pendekatan analisis masalah-masalah pemerintahan yang didasarkan pada panduan teoritik dengan tujuan mengungkap dan membahas data empirik untuk mengembangkan konsep-konsep baru yang dapat dijadikan kontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan terutama ilmu pemerintahan. Pengkajian lapangan dapat dilakukan dengan metodologi kuantitatif, metodologi kualitatif atau gabungan kedua metologi tersebut.  Pengkajian konseptual adalah pendekatan analisis masalah-masalah pemerintahan yang bertujuan mengkonstruk konsep-konsep Ilmu Pemerintahan, dengan hasil penelitian sebagai bahan bakunya, dan dengan menggunakan teori-teori sebagai landasan teoritik penyusunan konsep operasional variabel-variabel penelitian. Dari pendekatan inilah akan terkonstruk teori baru seperti misalnya dari teori kepemimpinan yang bersifat umum menjadi teori kepemimpinan pemerintahan yang bersifat spesifik. Studi terapan  adalah pendekatan analisis masalah-masalah pemerintahan yang bertujuan mempelajari penerapan hasil studi teoritik di bidang tertentu dan penggunaannya untuk memperoleh solusi masalah. Hasil studi terapan ini biasa berbentuk laporan deskriptif. Studi kasus adalah pendekatan analisis masalah-masalah pemerintahan yang mengangkat fenomena, gejela-gejala, peristiwa tertentu yang diangkat dengan penyajian data empirik. Pendekatan analisis tersebut dilakukan untuk mengkritisi fenomena, gejela-gejala, peristiwa pemerintahan  yang terjadi dalam penyelenggaraan sistem pemerintahan sebagai suatu kajian kasus yang dapat membangun suatu solusi, atau menunjukkan perbandingan tertentu dalam berbagai aspek pemerintahan.

D.   Asal dan Bentuk Pemerintahan
          Untuk memahami Ilmu pemrintahan secara utuh diperlukan pemahaman mengenai asal mula terbentuknya pemerintahan dan bentuk-bentuk pemerintahan.
1.    Asal Mula Pemerintahan
       Timbulnya pemerintahan,  menurut Thomas Hobbes, pada dasarnya bersumber  dari perkembangan, kebutuhan dan masalah kehidupan bersama manusia, yang menurut penulis dapat disarikan  sebagai berikut :
         Pertama, setiap orang dan semua orang mengalami persaingan yang terus menerus dalam meraih kepentingan dan atau mewujudkan kehormatan dan martabatnya. Dalam persaingan ini timbul kebencian atau iri hati yang menyebabkan timbulnya pertikaian. Dari persaingan inilah kemudian timbul peperangan untuk membentuk kehormatan dan martabat di satu pihak atau kelompok, dengan memperlemah atu meniadakan kehormatan dan martabat pihak atau kelompok lain.
         Kedua, dengan penegakkan kehormatan dan martabat melalui peperangan maka  orang-orang yang memenangkan peperangan memperoleh manfaat umum dari keberhasilan menegakkan kehormatan dan martabat sehingga menimbulkan keyakinan, kebanggaan dan kesenangan tertentu.  Karena itu, orang-orang tersebut merasa perlu mempertahankan keyakinan, kebanggaan dan kesenangan tersebut.  
        Ketiga, untuk mempertahankan keyakinan, kebanggaan dan kesenangan itu orang-orang tersebut berupaya mengembangkan urusan administrasi guna mengatur kepentingan bersama dengan melakukan reformasi dan inovasi untuk terwujudnya suatu sistem administrasi. 
       Keempat,  untuk mengembangkan urusan administrasi yang terkait dengan keinginan setiap orang dan keinginan bersama, maka orang-orang tersebut membentukan suatu lembaga perwakilan untuk mengurus kepentingan perseorangan dan kepentingan bersama secara tertib dan damai serta mempertahankan kepentngan bersama dari segala bentuk hal yang mengganggu kedamaian orang-orang tersebut. Lembawa perwakilan kepentingan bersama inilah yang disebut ”Pemerintahan”.
         Kelima,  dengan adanya lembaga keterwakilan yang diberi kuasa atau kewenangan untuk mengatur dan mengawasi kehidupan bersama agar tidak terjadi pertikaian yang bersumber dari sikap yang irasional dari orang-orang tersebut, maka terbentuklah suatu pola pemerintahan tertentu, yang betugas mengatur dan mengendalikan kehidupan bersama secara arif. Lembaga keterwakilan tersebut melaksanakan kedaulatan bersama yaitu kedaulatan rakyat.
        Keenam,  untuk mengatur dan mengendalikan kehidupan bersama itu kemudian timbul berbagai perjanjian yang berfungsi untuk mengatur, mengarahkan dan mengendalikan pola kehidupan bersama dalam rangka memelihara kepentingan umum, agar berlangsung aman, tertib dan lancar.  Perjanjian yang dimaksud adalah peraturan perundang-undangan. Didalam peraturan perundang-undangan ini diatur hak dan kewajiban negara terhadap warga negara; dan hak kewajiban warga negara terhadap negara dalam berbagai aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

2.    Bentuk-Bentuk Pemerintahan 
           Robert Mac Iver mengemukakan ikhtisar format pemerintahan yang terdiri atas pemerintahan yang berbasis pada konstitusi oligarki; dan pemerintahan yang bersis pada konstitusi demokrasi. Bentuk pemerintahan yang berbasis pada konstitusi oligarki (oligarchy) adalah sistem pemerintahan yang bergantung pada ”penguasa tunggal” dengan kekuasaan ekslusif dan absolut. Pada awalnya bentuk-bentuk pemerintahan dengan ”penguasa tunggal” adalah bentuk-bentuk pemerintahan yang dikendalikan oleh ”raja” atau ”ratu” sebagai penguasa turun temurun  yang memiliki kekuasaan ekslusif dan tak terbatas. Bentuk-bentuk pemerintahan yang berbasis pada konstitusi oligarki adalah pemerintahan yang bersifat monarkis (monarchy), pemerintahan yang bersifat diktatoris (dictatorship), Pemerintahan yang bersifat teokratis (theocracy), dan pemerintahan yang bersifat pluralistik (plural headship).  Sistem ekonomi dalam penyelenggaaan sistem pemerintahan yang berbasis pada konstitusi oligarki berbasis pada sistem folk economiy primitive government dan  atau feudal government. Basis kehidupan bersama (communal basic) yang dianut oleh pemerintahan yang berbasis pada oligarki konstitusi adalah tribal government atau ”polis” goverment.  Sedangkan sistem kedaulatan (sovereignty) yang dianut oleh pemerintahan yang berbasis pada konstitusi oligarki adalah sistem unitary goverement  atau empire colony depedency.
         Bentuk Pemerintahan yang berbasis pada konstitusi demokrasi (democracy) adalah sistem pemerintahan monarkis dengan kekuasaan yang terbatas dan sistem pemerintahan dengan pola republik. Dalam pekembangannya,  sistem pemerintahan dengan pola republik semakin memperkuat bentuk pemerintahan  yang demokratis. Pada dasarnya bentuk-bentuk Pemerintahan demokrasi adalah limited monarchy kemudian berkembang menjadi pemerintahan republic. Sistem ekonomi dalam penyelenggaaan sistem pemerintahan demokrasi berbasis pada sistem capitalist government atau socialist government. Basis kehidupan bersama (communal basic) yang dianut oleh pemerintahan demokrasi adalah country government,  national government, multi-national government dan world government. Sedangkan sistem kedaulatan (sovereignty) yang dianut oleh pemerintahan yang berbasis pada sistem demokrasi adalah sistem federal government.
         Berdasarkan uraian bentuk-bentuk pemerintahan yang dikemukakan oleh   Mac Iver, pada awalnya bentuk-bentuk pemerintahan di Indonesia terdiri dari penguasa-penguasa kerajaan yang menganut pola monarkis,  kemudian setelah Indonesia mederka dan menjadi Negara yang menganut system republic, pola monarkis itu berubah menjadi monarki yang sangat. Kini Indonesia menjadi Negara kesatuan (republic) yang cenderung menjadi Negara yang demokratis.  

E.   Etika Pemerintahan
           Etika pemerintahan adalah arah pandang dan perilaku pemerintahan yang terbentuk dari nilai-nilai luhur penyelenggaraan pemerintahan. Etika pemerintahan merupakan norma kebaikan dan norma kebenaran yang menjadi pedoman moral dan perilaku bagi setiap aparatur penyelenggara pemerintahan dalam mencapai tujuan-tujuan negara. Secara teoritik pemahaman etika pemerintahan merujuk pada teori etika berikut :
1.    Etika Deontologi
         Istilah ‘deontologi’ berasal dari kata Yunani deon, yang berarti kewajiban. Karena itu, etika deontologi ini menekankan kewajiban manusia untuk bertindak secara baik. Misanya, suatu tindakan pemerintah akan dinilai baik oleh etika deontologi bukan karena tindakan itu mendatangkan akibat baik bagi pelakunya, melainkan karena tindakan itu sejalan dengan kewajiban si pelaku. Seperti, memberikan pelayanan yang baik kepada semua masyarakat, dan sebagainya. Atas dasar itu, etika deontologi sangat menekankan motivasi, kemauan baik dan watak yang kuat dari pelaku.  Mengapa perbuatan ini baik dan perbuatan itu harus ditolak sebagai buruk’, deontologi menjawab : ‘karena perbuatan pertama menjadi kewajiban kita dan karena perbuatan kedua dilarang’. Yang menjadi dasar baik buruknya perbuatan adalah kewajiban. Pendekatan deontologi sudah diterima dalam konteks agama, sekarang merupakan juga salah satu teori etika yang terpenting. Ada tiga prinsip yang harus dipenuhi :
a.    Supaya tindakan punya nilai moral, tindakan ini harus dijalankan berdasarkan kewajiban.
b.    Nilai moral dari tindakan ini tidak tergantung pada tercapainya tujuan dari tindakan itu melainkan tergantung pada kemauan baik yang mendorong seseorang untuk melakukan tindakan itu, berarti kalaupun tujuan tidak tercapai, tindakan itu sudah dinilai baik.
c.    Sebagai konsekuensi dari kedua prinsip ini, kewajiban adalah hal yang niscaya dari tindakan yang dilakukan berdasarkan sikap hormat pada hukum moral universal. Bagi Kant, Hukum Moral ini dianggapnya sebagai perintah tak bersyarat, yang berarti hukum moral ini berlaku bagi semua orang pada segala situasi dan tempat. Perintah Bersyarat adalah perintah yang dilaksanakan kalau orang menghendaki akibatnya, atau        kalau     akibat     dari       tindakan    itu     merupakan hal yang
diinginkan dan dikehendaki oleh orang tersebut. Perintah Tak Bersyarat adalah perintah yang dilaksanakan begitu saja tanpa syarat apapun, yaitu tanpa mengharapkan akibatnya, atau tanpa mempedulikan apakah akibatnya tercapai dan berguna bagi orang tersebut atau tidak.

2.    Etika Teleologi
        Etika Teleologi, dari kata Yunani, telos = tujuan, yaitu mengukur baik buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan yang mau dicapai dengan tindakan itu, atau berdasarkan akibat yang ditimbulkan oleh tindakan itu. Misalnya, mencuri  bagi teleologi tidak dinilai baik atau buruk berdasarkan tindakan, melainkan oleh tujuan dan akibat dari tindakan itu. Kalau tujuannya baik, maka tindakan itu dinilai baik. Seperti, seorang anak kecil yang mencuri demi biaya pengobatan ibunya yang sedang sakit. Atas dasar ini, dapat dikatakan bahwa etika teleologi lebih situasional, karena tujuan dan akibat suatu tindakan bisa sangat tergantung pada situasi khusus tertentu. Dua aliran etika teleologi :
          Egoisme Etis : Inti pandangan egoisme adalah bahwa tindakan dari setiap orang pada dasarnya bertujuan untuk mengejar pribadi dan memajukan dirinya sendiri. Satu-satunya tujuan tindakan moral setiap orang adalah mengejar kepentingan pribadi dan memajukan dirinya. Egoisme ini baru menjadi persoalan serius ketika ia cenderung menjadi hedonistis, yaitu ketika kebahagiaan dan kepentingan pribadi diterjemahkan semata-mata sebagai kenikmatan fisik yg bersifat vulgar.
         Utilitarianisme : Berasal dari bahasa latin utilis yang berarti “bermanfaat”. Menurut teori ini suatu perbuatan adalah baik jika membawa manfaat, tapi manfaat itu harus menyangkut bukan saja satu dua orang melainkan masyarakat sebagai keseluruhan. Dalam rangka pemikiran utilitarianisme, kriteria untuk menentukan baik buruknya suatu perbuatan adalah “the greatest happiness of the greatest number”, kebahagiaan terbesar dari jumlah orang yang terbesar. Utilitarianisme , teori ini cocok sekali dengan pemikiran ekonomis, karena cukup dekat dengan Cost-Benefit Analysis. Manfaat yang dimaksudkan utilitarianisme bisa dihitung sama seperti kita menghitung untung dan rugi atau kredit dan debet dalam konteks bisnis. Utilitarianisme, dibedakan menjadi dua macam :  (1) Utilitarianisme Perbuatan (Act Utilitarianism); dan (2) Utilitarianisme Aturan (Rule Utilitarianism)  
        Teori Hak :   Dalam pemikiran moral dewasa ini barangkali teori hak ini adalah pendekatan yang paling banyak dipakai untuk mengevaluasi baik buruknya suatu perbuatan atau perilaku. Teori Hak merupakan suatu aspek dari teori deontologi, karena berkaitan dengan kewajiban. Hak dan kewajiban bagaikan dua sisi uang logam yang sama. Hak didasarkan atas martabat manusia dan martabat semua manusia itu sama. Karena itu hak sangat cocok dengan suasana pemikiran demokratis.
      Teori Keutamaan (Virtue) :   Memandang sikap atau akhlak seseorang. Tidak ditanyakan apakah suatu perbuatan tertentu adil, atau jujur, atau murah hati dan sebagainya. Keutamaan bisa didefinisikan sebagai berikut : disposisi watak yang telah diperoleh seseorang dan memungkinkan dia untuk bertingkah laku baik secara moral. Contoh keutamaan :  Kebijaksanaan;  Keadilan;  Suka bekerja keras; Hidup yang baik.
       Dengan dukungan teori etika yang diuraikan n maka  dapat dikemukakan bahwa etika pemerintahan dalam pandangan praktis adalah nilai-nilai dan norma-norma moral yang harus dilakukan serta yang tidak boleh dilakukan oleh aparatur penyelenggara pemerintahan serta pemikiran moral atau berpikir tentang apa yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan.  Etika pemerintahan merupakan studi mengenai moral yang benar dan salah. Studi ini berkonsentrasi pada standar moral sebagaimana diterapkan dalam kebijakan, institusi, dan perilaku bisnis (Velasquez, 2005). Etika adalah suatu cabang dari filosofi yang berkaitan dengan ”kebaikan (rightness)” atau moralitas (kesusilaan) dari perilaku manusia. Dalam pengertian ini etika diartikan sebagai aturan-aturan yang tidak dapat dilanggar dari perilaku yang diterima masyarakat sebagai baik atau buruk. Sedangkan Penentuan baik dan buruk adalah suatu masalah selalu berubah.
        Etika pemerintahan adalah standar-standar nilai yang menjadi pedoman atau acuan aparatur atau pejabat publik dalam pengambilan keputusan dan melaksanakan fungsi-fungsi pemeritahan. Secara formal etika pemerintahan berpedoman pada peraturan perundang-undangan serta mengindahkan harapan dan  tuntutan masyarakat terhadap kinerja pemerintahan.
            Penyelenggaraan negara yang bebas dan bersih dari segala prakteks korupsi, kolusi dan nepotisme adalah tuntutan masyarakat terhadap budaya kerja pemerintahan. Pelaksanaan kebijakan dan kegiatan pemerintahan yang transparan, efektif, efisien, dan akuntabel dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat adalah harapan masyarakat terhadap kinerja pemerintahan. Dalam konteks ini, maka etika pemerintahan dapat diartikan sebagai suatu rangkaian moralitas dan perilaku aparatur atau pejabat publik yang senantiasa didasarkan pada kesadaran dan tanggungjawabnya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Etika pemerintahan ini terejawantah melalui kapasitas intelektual, kualitas sikap mental dan kapabilitas sosial aparatur atau pejabat publik dalam mengaktualisasikan perannya sebagai abdi negara dan sekaligus sebagai abdi masyarakat.











Daftar Pustaka

Suriasumantri,  Jujun S, 2003, Filsafat Ilmu – Sebuah Pengantar Populer, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan

Ndraha, Taliziduhu, 2008, Kybernologi dan Kepamongprajaan, cet 1, Banten : Sirao Credentia Center.
_____,  2006, Kybernologi ”sebuah scientific Enterprise”,Banten : Sirao Credentia Center.

McIver,  Robert M,. 1965, The Web of Government, revised edition, New York: The Macmillan Company

P. Gauthier David, 1969, The Logic Of Leviathan : The Moral and The Political Theory Of Thomas Hobbes, Oxford University Press,

No comments:

Post a Comment