Monday, January 26, 2015

Makalah Hukum Tata Pemerintahan


KASUS HUKUM TATA PEMERINTAHAN
DALAM PENYELENGGARAAN SISTEM PERTANAHAN

Disusun oleh:
SUWANDI S. SANGADJI
NIM : 55 113120209


1.      Pendahuluan
Gagasan negara hukum menuntut agar penyelenggaraan urusan kenegaraan dan pemerintahan harus didasarkan pada undang-undang dan memberikan jaminan terhadap hak-hak dasar masyarakat. Asas legalitas menjadi dasar legitimasi tindakan pemerintah dan jaminan perlindungan dari hak-hak rakyat. Dalam konteks ini, Sjahran Basah mengatakan bahwa asas legalitas berarti sebuah upaya mewujudkan duet integral secara harmonis antara paham kedaulatan hukum dan paham kedaulatan rakyat berdasarkan prinsip monodualistis selaku pilar-pilar, yang sifat hakikinya konstitutif. [1] 

Dalam pandangan Indroharto, penerapan asas legalitas ini akan menunjang berlakunya kepastian hukum dan kesamaan perlakuan. Kesamaan perlakuan terjadi karena setiap orang yang berada dalam situasi seperti yang ditentukan dalam ketentuan undang-udang itu berhak dan berkewajiban untuk berbuat seperti apa yang ditentukan dalam undang-undang tersebut. [2] 

Sedangkan kepastian hukum akan terjadi karena suatu peraturan dapat membuat semua tindakan yang akan dilakukan pemerintah itu dapat diramalkan atau diperkirakan lebih dahulu, dengan melihat kepada peraturan-peraturan yang berlaku, maka pada asanya dilihat atau diharapkan apa yang akan dilakukan oleh aparat pemerintahan yang bersangkutan. Dengan demikian warga masyarakat dapat menyesuaikan dengan keadaan tersebut. [3] 

Asas legalitas erat kaitannya dengan hukum yang tertulis. Di satu sisi, dalam hukum tertulis atau undang-undang ini, tidak bisa selalu mengikuti dinamika perkembangan masyarakat, Jika penerapan hukum tertulis atau undang-undang ini mengandung kelemahan, secara otomatis hal ini juga akan berimbas kepada asas legalitas. Padahal jelas dikatakan bahwa asas legalitas keberadaanya memberikan jaminan kedudukan hukum warga negara terhadap pemerintah. Pemerintah hanya dapat melakukan perbuatan hukum jika memiliki legalitas atau didasarkan pada undang-undang yang merupakan perwujudan aspirasi masyarakat. [4]

2.      Hukum Tata Pemerintahan
Kajian Hukum Tata Pemerintahan mencakup dua aspek yaitu aspek yang luas dan sempit. Kedua aspek itu melihat Hukum Tata Pemerintahan dari fokus perhatian yakni obyek penelitiannya. Aspek yang Luas: melihat Hukum Tata Pemerintahan sebagai sebagai obyek yang berorientasipada pengertian Hukum Tata Pemerintahan yang identik dengan lapangan tugas pemerintahan sedangkan obyek yang sempit adalah yang tidak identik. [5] 

Pengertian hukum Tata Pemerintahan terbagi dalam 2 (dua) pengertian yaitu  (1)  Hukum Tata Pemerintahan Heteronom adalah semua aturan hukum yang mengatur tentang organisasi pemerintahan negara. Hukum Tata Pemerintahan yang merupakan bagian dari hukum Tata Negara;  dan (2) Hukum Tata Pemerintahan Otonom adalah aturan-aturan hukum yang dibuat oleh aparat pemerintah yang sifatnya istimewa, baik aturan yang sifatnya sepihak maupun aturan yang bersifat dua pihak. atau hukum yang dibuat oleh aparatur pemerintah atau oleh para administrasi negara. [6] 

Hukum Tata Pemerintahan Heterenom dalam kajiannya berada pada konteks tugas-tugas pemerintah berkaitan dengan akibat-akibat hukum yang ditimbulkannya, termasuk didalamnya aspek hukum dalam kehidupan organisasi pemerintahan seperti organisasi pemerintahan negara dalam hal hubungan hukum lembaga-lembaga negara dan berbagai kompetensi hukum kelembagaan organisasi pemerintahan negara; organisasi pemerintahan daerah dalan kaitan hukum otonomi daerah; dan akibat-akibat hukum dalam organisasi pemerintahan desa dan kelurahan. Juga menyangkut aspek hukum dalam menyelesaikan pertentangan kepentingan pemerintah dengan warga yang diayomi atau penyelesaian suatu sengketa akibat dari suatu perbuatan pemerintah.  Sedangkan Hukum Tata pemerintahan yang Otonom adalah adalah hukum yang dibuat dan atau diciptakan oleh aparatur pemerintah dalan rangka pelaksanaan tugas seperti; Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati/Walikota/Camat/dan oleh Kepala Desa atau Lurah. [7] 

Didalam mempelajari Hukum Tata Pemerintahan Heteronom akan terkait aspek hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan, sementara penyelenggaraan pemerintahan suatu negara akan ditentukan oleh tipe negara. Pada tipe welfare state (negara kesejahteraan), lapangan pemerintahan semakin luas. Hal ini disebabkan semakin luasnya tuntutan campur tangan pemerintah dalam kehidupan masyarakat. Tugas pemerintah dalam tipe negara demikian ini, oleh Lemaire (1952) disebut sebagai Bestuurzorg. Ini dimaksudkan bahwa dalam penyelenggaraan kesejahteraan umum, kepada aparatur pemerintah memiliki hak istimewa yang disebut Freies Ermessen, yaitu kepada aparatur pemerintah diberikan kebebasan untuk atas inisiatif sendiri melakukan perbuatan-perbuatan guna menyelesaikan persoalan yang mendesak dan peraturan penyelesaiannya belum ada. Dengan hak yang demikian itu maka aparatur pemerintah dapat membuat peraturan yang diperlukan. Dari sini terlihat bahwa dengan hal istimewa menyebabkan fungsi aparatur pemerintah dalam Welfare State ini bukan saja berfungsi sebagai badan eksekutif tetapi juga sudah berfungsi sebagai badan legilatif. Sebagai konsekwensinya di dalam Undang-Undang Dasar 1945 hak ini pun diakui, di dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa kepada Presiden diberikan hak untuk menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang (Perpu). [8] 

Didalam Hukum Tata Pemerintahan Heteronom dipelajari pula hal-hal yang menyangkut leability, responsibility dan accountability. Leability menuntut tanggung jawab aparatur pemerintah terhadap hukum. Artinya dalam melaksanakan tugas para aparatur pemerintah dituntut untuk berbuat sesuai aturan hukum yang berlaku, dituntut untuk mempertahankan keberlakukan aturan hukum. Begitu pula dengan responsibility para aparatur pemerintah dituntut tanggung jawabnya dalam pelaksanaan tugas dalam batas-batas pendelegasian wewenangan yang pada gilirannya dapat melahirkan hubungan hukum antara yang memberi dan menerima wewenang. Accontability menunut para aparatur negara bertanggung jawab atas segala kegiatan dan tugas yang diemban. Di dalam kerangka itulah maka konteks hubungan hukum terjelma dalam tuntutan dan realisasi tuntutan. [9] 

Ketiga hal tersebut ini bukan saja menjadi suatu keharusan dimiliki oleh setiap aparatur pemerintah tetapi justru menjadi dasar dari kekuasaan para aparatur pemerintah di dalam berbuat dan bertindak. Kalau berbicara tentang kekuasaan aparatur pemerintah, maka sumber kekuasaan berasal dari sumber kekuasaan yang tertinggi yang ada pada setiap negara. Kekuasaan demikian itu diartikan sebagai kedaulatan yang ada pada setiap negara. Kekuasaan yang berasal dari kedaulatan adalah disebut kekuasaan publik yaitu suatu kekuasaan yang tidak dapat dilawan oleh siapapun kecuali melalui aturan hukum yang bersifat khusus atau yang bersifat istimewa. Aturan-aturan yang sifatnya istimewa inilah yang menjadi isi dari aturan Hukum Tata Pemerintahan baik itu dalam konteks yang heteronom maupun dalm konteks yang otonom. [10] 

Dalam konteks yang heteronom, isi Hukum Tata Pemerintahan adalah aturan-aturan hukum yang mengatur tentang organisasi pemerintahan negara mulai dari tingkat pemerintah pusat sampai pada tingkat pemerintahan desa dan kelurahan termasuk didalamnya kaitan atas hal-hal tersebut diatas. Sedangkan dalam konteks yang otonom, maka isi Hukum Tata Pemerintahan adalah aturan-aturan hukum yang dibuat oleh aparatur pemerintah baik itu bersifat pengaturan sepihak sebagaimana ketetapan maupun pengaturan dua pihak sebagaiaman telah dijelaskan sebelumnya. Semua aturan yang dimaksud adalah bersifat istimewa atau yang bersifat khusus. [11]

3.      Kasus Hukum Tata Pemerintahan di Bidang Pertanahan
Salah satu sumber penerimaan Negara yang masih dikelola langsung oleh instansi Pemerintah Pusat adalah Penerimaan Negara Bukan Pajak. Berbeda dengan Pajak Bumi dan Bangunan, Peneriman Negara Bukan Pajak ini diterima Negara melalui pelayanan administrasi pertanahan  yang diselenggarakan oleh Kantor Pertanahan. Jenis-jenis pelayanan administrasi pertanahan yang diselenggarakan oleh Kantor Pertanahan adalah Pelayanan  Pendaftaran Tanah, Pelayanan Informasi pertanahan, Pelayanan Pemeriksaan Tanah, dan Pelayanan Penetapan Hak Atas Tanah.

Dari satu sudut pandang, jenis-jenis pelayanan administrasi pertanahan yang diselenggarakan oleh Kantor Pertanahan menunjukan bahwa pelayanan publik di bidang pertanahan berfungsi strategis bagi kepentingan sosial masyarakat, termasuk kepentingan ekonomi warga masyarakat. Dalam konteks ini, kejelasan dan kepastian hukum mengenai hak atas tanah pada setiap pihak menjadi penting untuk terwujudnya tertib administrasi pertanahan. Penegakan hukum  yang menjamin terwujudnya tertib administrasi di bidang pertanahan ini sangat penting mengingat bahwa tidak sedikit  kasus-kasus  pertanahan yang menimbulkan gejolak sosial dan  merugikan banyak pihak.

Dari sudut pandang lainnya, jenis-jenis   pelayanan   administrasi  pertanahan   yang diselenggarakan oleh Kantor Pertanahan itu dapat dipandang sebagai sumber-sumber pemasukan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang harus dikelola secara  profesional, transparan dan efisien. Mengapa demikian, karena instansi pertanahan adalah salah satu unit kerja pemerintahan yang bertugas menggali sumber-sumber pembiayaan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan Negara. Indikator kinerja  unit kerja pemerintahan yang bertugas di bidang pertanahan ini adalah efektivitas tertib administrasi pertanahan dan efisiensi pelayanan administrasi pertanahan yang menghasilkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).  

Pemasukan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang dikelola oleh instansi pertanahan merupakan salah satu faktor pendukung pembiayaan pemerintahan Negara.  Mungkin itu sebabnya Pemerintah Pusat belum berkenan menyerahkan urusan administrasi pertanahan kepada Daerah. Padahal menurut ayat (1) Pasal 14 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah bahwa urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota meliputi : (a)  perencanaan dan pengendalian pembangunan; (b) perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; (c) penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat; (d) penyediaan sarana dan prasarana umum; (e)  penanganan bidang kesehatan; (f) penyelenggaraan pendidikan; (g) penanggulangan masalah sosial; (h) pelayanan bidang ketenagakerjaan; (i)  fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah; (j) pengendalian lingkungan hidup; (k)  pelayanan pertanahan; (l) pelayanan kependudukan, dan catatan sipil; (m) pelayanan administrasi umum pemerintahan; (n) pelayanan administrasi penanaman modal; (o) penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan (p) urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.

Karena itu, Peraturan Presiden Noor 63 Tahun 2013 tentang Badan Pertanahan Nasional layak dianggap bertentangan dengan huruf k, ayat  (1) Pasal 14 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Berdasarkan Perpres No 63/2013 Badan Pertanahan Nasional melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan secara nasional, regional dan sektoral. Dengan kewenangan itu, BPN menjalankan fungsi-fungsi antara lain (1) perumusan kebijakan nasional di bidang pertanahan, (2) koordinasi dengan pemerintah daerah dan sektor terkait, (3) menetapkan kebijakan penetapan hak tanah, pendaftaran tanah dan pemberdayaan masyarakat,  (40  kebijakan pengaturan penataan dan pengendalian pertanahan, (5) kebijakan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum, (6)  kebijakan pengkajian dan penanganan sengketa dan perkara pertanahan serta (7)  pengelolaan data informasi lahan pertanian pangan berkelanjutan dan informasi di bidang pertanahan.

Penerbitan Peraturan Presiden Noor 63 Tahun 2013 layak dianggap tidak sesuai dengan ayat 6 Pasal  1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang menyatakan : ”Peraturan Presiden adalah Peraturan Perundangundangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan perintah Peraturan Perundangundangan yang lebih tinggi atau dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan”.  Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 menyatakan bahwa “Jenis dan Hierarki Peraturan Perundang-Undangan terdiri atas : (a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (b) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; (c) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; (d) Peraturan Pemerintah; (e) Peraturan Presiden; (f) Peraturan Daerah Provinsi; dan (g) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. 

Dengan demikian peraturan perundang-undangan yang mengatur penyelenggaraan sistem pertanahan di Indonesia masih terkesan tumpang tindih, dan tidak selaras dengan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.


[1] Sjahran Basah, Perlindungan Hukum atas Tindak Pidana Admnistrasi Negara, Bandung : Alumni, 1992, hlm.2
[2] Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradian Tata Usaha Neghara; Buku II, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1993, hlm.84
[3] Ibid, hlm.84
[4] Murtir Jeddawi,  Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta : Total Media, 2012, hlm.71
[5] Faried Ali, Hukum Tata Pemerintahan dan Proses Legislatif Indonesia, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 1997, hlm.17
[6] Ibid, hal.18
[7] Ibid, hal.18
[8] Ibid, hal.19
[9] Ibid, hal.20
[10] Ibid, hal.20
[11] Ibid, hal.21