TELAAH ETHOS, PATHOS DAN LOGOS JOKOWIDODO
Oleh : Suwandi S. Sangadji
NPM :55113120209
Program Pascasarjana Magister
Manajemen
Universitas Mercubuana
Jakarta
Jl. Meruya Selatan, Kebun Jeruk
- Jakarta Barat
1.
Pendahuluan
Seorang pejabat negara, terutama orang-orang yang menduduki jabatan publik
yang berpengaruh kuat terhadap hajat kehidupan
orang banyak seperti misalnya Presiden atau Kepala Daerah, jelas
dituntut untuk tampil prima dalam melakukan komunikasi pemerintahan. Komunikasi
pemerintahan yang dimaksud tentu tidak terbatas hanya dalam pengertian
komunikasi di antara pejabat-pejabat negara; namun mencakup juga komunikasi di
antara pejabat-pejabat negara dengan warga negara. Dalam konteks ini, komunikasi pemerintahan diterjemahkan
sebagai suatu interaksi sosial yang terjalin
secara langsung atau tidak langsung melalui proses penerimaan dan atau
penyampaian informasi di antara pejabat-pejabat negara dan atau di antara
pejabat negara dengan warga negara yang dilakukan dengan menggunakan media
tertentu untuk maksud dan tujuan tertentu yang terkait dengan kebijakan dan
atau kegiatan pemerintahan.
Tidak semua pejabat negara pandai melakukan komunikasi pemerintahan secara
efektif. Mengapa, karena komunikasi pemerintahan tidak hanya terkait dengan persoalan
khalayak serta isu-isu yang dikomunikasikan; namun terkait juga dengan
kompetensi seseorang. Cakupan kompetensi seseorang sebagaimana dimaksud oleh
Spencer & Spencer meliputi motives,
traits, self-concept, knowledge dan skills.
Dari lima dimensi kompetensi tersebut, senyatanya tidak semua pejabat negara memiliki traits, self-concept, knowledge dan skills retorika. Artinya, tidak semua pejabat negara memiliki traits (karakteristik) yang ideal untuk
tampil sebagai orator; tidak semua pejabat negara memiliki self-concept (citra diri)
yang menarik; tidak semua pejabat negara mempunyai knowledge (pengetahuan) yang mendukung penampilannya; dan tidak
semua pejabat negara mempunyai skills
(ketrampilan) retorik yang diperlukan untuk berbicara secara efektif dan
meyakinkan khlayak. Karena itu, muncullah persoalan ethos, pathos dan logos dalam komunikasi pemerintahan. Ethos, pathos dan logos inilah
yang membentuk persuasi seseorang terhadap orasi orang lain yang berbicara mengenai
hal-hal tertentu dengan cara dan melalui media tertentu.
2.
Bahasan
Setelah menunggu beberapa hari, akhirnya pada
hari minggu malam senin tanggal 26 Oktober 2014, Presiden Jokowi mengumumkan
nama-nama Menteri yang akan membantunya selama lima tahun ke depan. Dari nama-nama dan jabatan-jabatan Menteri
yang diumumkannya, ada sejumlah persoalan yang menarik dari sosok Jokowi. Sejak
ia menjadi Gubernur DKI Jakarta, mengikuti Pilpres dan kemudian terpilih
menjadi Presiden RI ke-7, Jokowi mantan Walikota Solo, dengan gayanya yang
sederhana, sering mengucapkan hal-hal
yang menarik untuk ditelaah menurut beberapa sudut pandang persuasi
dalam berkomunikasi.
Untuk memperoleh dukungan publik terhadap gagasan dan atau kebijakannya,
Jokowi sering melontarkan retorika politis yang dapat menimbulkan persuasi
tertentu. Misalnya, ketika ditanya oleh para awak media mengenai isu-isu
politik yang sering muncul pada masa kampanye Pilpres, Jokowi kerapkali
mengucapkan”koalisi tanpa syarat”; dan seolah-olah tidak ada bagi-bagi
kekausaan. Ketika koalisi-koalisi mulai terbentuk di antara partai-partai politik, dan Partai Golkar mencoba merapat ke Koalisasi Indonesia
Hebat (KIH) yang didominasi oleh PDIP. Namun terkesan pendekatan Partai Golkar
itu tidak berhasil, karena mungkin negoisasi yang dilakukan belum bisa mengubah
kebijakan politik KIH yaitu ”koalisi tanpa syarat”. Kemudian, partai Golkar
merapat ke Koalisi Merah Putih (KMP). Tampaknya di KMP mendapat tempat yang
istimewa karena dianggap sebagai play
maker oleh Prabowo. Akhirnya Pilpres 2014 nerlangusng dengan persaingan dua
kubu koalisi, yaitu KMP yang terdiri atas Partai Grindra, PAN, PKS, Partai
Golkar, dan PPP yang setengah hati; dan KIH yang terdiri atas PDIP, Partai
Nasdem, PKB dan Partai Hanura. Dalam
konteks ini, karakteristik Jokowi tampaknya masih bisa meyakinkan publik (convince).
Artinya, ethos Jokowi dalam membangun persuasi publik masih layak
dianggap aktual. Sementara itu, konsistensi pada kebijakan “koalisi
tanpa syarat”; dan “tidak ada bagi-bagi kekausaan”, yang dikemukakan oleh
Jokowi dalam berbagai kesempatan semakin menjadi daya tarik Jokowi dalam
melibatkan emosi publik (appeal to emotion in audience). Dengan demikian pathos Jokowi semakin menguat, dan
menjadi salah satu faktor penting yang pertimbangan publik. Pathos ini seolah-olah dapat diperkuat dengan berbagai
alasan dan argumen yang menunjukkan kuatnya idealisme KIH dalam membangun
konsep koalisi. Artinya, logos (Proof based on reason, logical argument) Jokowi juga masih mendukung untuk
tampil prima dalam berbagai kesempatan kampanye. Dengan
demikian terbentuk sosok Jokowi yang konsisten dan konsekuen dalam membangun
konsep koalisi tanpa syarat.
Mestinya, konsep koalisi tanpa syarat dan tidak ada bagi-bagi kekuasaan
dapat dijadikan faktor pengungkit (leverage
factors) oleh Jokowi untuk sepenuhnya menggunakan hak preogratif Presiden
setelah ia dilantik menjadi Presiden. Namun realitas politik tidak demikian
nyatanya. Mengapa demikian, karena pada momen-momen yang sangat penting dimana
Jokowi harus menunjukkan kepercayaan dirinya dalam menggunakan kekuasaan
politik dan hak preogratif Presiden, justru Jokowi tampak menjadi sosok yang tidak
konsisten dan tidak konsekuen dengan retorika politiknya. Dari indikator penggunaan KPK dan PPATK sebagai instrumen
pendukung kebijakan pembentukan kebinet dan indikator waktu pengumuman
nama-nama menteri yang beberapa kali diundur terindikasi bahwa sesungguhnya Jokowi
bukanlah sosok yang pandai mengaktualisasikan ethos, pathos dan logos dalam
retorika pilitiknya. Mengapa demikian, karena dari maksud ingin menggunakan KPK
dan PPATKA sebagai faktor logos dalam
pembentukan kabinet; justru berbalik menjadi faktor yang memperlemah kekuasaan
politik dan hak preogratif Presiden yang telah diraih oleh Jokowi. Oleh sebab
itu, dengan sendirinya ethos dan pathos Jokowi pun turut melemah. Hal ini
terindentifikasi dari nama-nama menteri yang diumumkannya. Artinya, ”koalisi
tanpa syarat” dan ”tidak ada bagi-bagi kekuasaan” terbukti hanya lifeservice. Bahkan sebaliknya, bagi-bagi
kekuasan di antara anggota KIH menjadi kental sekali dalam penyusunan Kabinet
Kerja Jokowi. Dengan demikian, ucapan ”koalisi tanpa syarat” cuma terbatas
hanya pada retorika politik Jokowi saja. Hal ini teridentifikasi dari tiga
figur dari Partai Nasdem; tiga figur dari PDIP dan sejumlah nama yang menjadi
orang dekat Megawati; satu figur dari PPP; tiga figur dari PKB; dan satu figur
dari Partai Hanura yang menjadi menteri dalam Kabinet Kerja-nya Jokowi-JK.
Sementara itu, dari berbagai retorika politik yang disampaikan oleh Jokowi
dalam berbagai kesempatan, tampaknya Jokowi belum bisa menjadi orator yang
ulung. Jokowi belum mampu membangun Invention
yang optimal untuk meyakinkan khalayak. Hal inilah yang memperlemah logos
Jokowi dalam berpidato. Kelemahan ini semakin menjadi karena Jokowi tidak menguasai
arrangements dalam berpidato. Arrangements
memudahkan audience untuk memahami sebuah pembicaraan. Ditambah dengan gayanya
yang sederhana atau kurang sesuai dengan lingkungan protokoler, Jokowi tampak
menjadi sosok yang tidak pandai mengembangkan Style. Style adalah pilihan kata dan termasuk
ketepatan penggunaan istilah yang sesuai dengan audince dan urgensinya.
3.
Kesimpulan
Tidak semua pejabat negara memiliki traits
(karakteristik) yang ideal untuk tampil sebagai orator ulung; tidak semua pejabat
negara memiliki self-concept (citra diri) yang menarik; tidak semua pejabat
negara mempunyai knowledge
(pengetahuan) yang mendukung orasinya; dan tidak semua pejabat negara mempunyai
skills (ketrampilan) retorik yang
diperlukan untuk berbicara secara efektif dan meyakinkan khlayak. Karena itu,
pemahaman ethos, pathos dan logos dalam
melakukan retorika politik untuk menjalin komunikasi pemerintahan yang efektif
menjadi penting sekali. Dalam konteks ini, meskipun pada awalnya Jokowi menjadi
populer dengan penampilan yang terkesan
rendah hati, sederhana, dan merakyat; dan kemudian terpilih menjadi Presiden
ke 7; namun bila Jokowi tidak mampu mengembangkan kemampuannya dalam
mengaktualisasikan ethos, pathos dan logos dalam setiap retorika politiknya; maka
konsekuensinya adalah berkurangnya kepercayaan publik terhadap dirinya. Sebutan
“Kabinet Kerja” adalah ungkapan dari seseorang yang tak pandai berbicara dan
atau lemah dalam menyampaikan reoritka politik. Tak pandai berbicara dan atau
lemah dalam menyampaikan retorikan politik bukan keburukan tetapi kelemahan
yang perlu diperkuat. Teori komunikasi pemerintahan perlu menyusun antithese
terhadap kelemahan ini.
No comments:
Post a Comment