Wednesday, February 20, 2013

PERTENTANGAN POLITIK SOEKARNO-HATTA



PERTENTANGAN POLITIK SOEKARNO-HATTA
Sebuah Kajian Budaya*
Oleh: Wandy Sangadji**


Pendahuluan

Dalam sejarah pergerakan nasional dan kontemporer Indonesia, peranan para tokoh sejarah memegang kunci bagi kemerdekaan Indonesia. Sejarah para tokoh dan organisasi serta tujuannya banyak menghiasi perjalanan bangsa Indonesia. Pada masa lalu mereka menjadi penganjur terwujudnya cita-cita kemerdekaan dan kedaulatan rakyat.
Mereka banyak terlibat dalam perbedaan, pertentangan, dan konflik politik yang terus menerus sesuai dengan perkembangan jaman. Setelah Indonesia merdeka, mereka dihadapkan pada persoalan bagaimana mempraktekkan apa yang dicita-citakan dalam mewujudkan kedaulatan rakyat. Di antara mereka yang menarik untuk dibahas adalah Soekarno-Hatta, karena keduanya berhasil menjadi pimpinan puncak ketika Indonesia merdeka hingga mereka kemudian “berpisah” secara baik-baik karena keyakinan politik yang berbeda.
Akhirnya, tingkah laku politik kedua tokoh ini kemudian banyak menjadi kajian berbagai ilmu. Namun demikian, seruncing apapun konflik tersebut, ternyata tidak memunculkan bentuk-bentuk perilaku politik yang cenderung anarki di antara keduanya. Mereka selalu menunjukkan persatuan dan kekompakan dalam hubungan sosial maupun kekeluargaan. Hal ini ditunjukkan oleh Bung Karno dan Bung Hatta hingga akhir hayat mereka. Satu hal yang patut kita renungkan adalah bagaimana kita menyikapi tingkah laku sebuah pertentangan politik tanpa harus meninggalkan demokrasi dan hukum. Adakah konflik politik antara Soekarno dan Hatta yang bisa diambil sebagai pelajaran?
Sebenarnya banyak teori dan pendekatan yang mencoba menganalisis tentang tingkah laku politik dalam kaitannya dengan moral, etika, budaya, maupun norma politik. Namun yang lebih penting dalam praktek politik, adalah aplikasi norma politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Siapa yang dituju oleh norma politik adalah masyarakat, baik sebagai penguasa atau pemerintah dan warga masyarakat itu sendiri. Sementara tingkah laku politik menyangkut dua sisi, yaitu sisi ideal yang berasal dari pikiran dan perasaan manusia, dan sisi lingkungan tempat manusia hidup.
Perjalanan politik kedua tokoh sejarah ini tidak bisa dilepaskan dengan pikiran, perasaan dan lingkungan hidup yang mempengaruhinya. Pengaruh inilah yang kemudian memperlihatkan perbedaan pandangan dan tindakan mereka dalam praktek politik. Sementara itu, dalam proses berpolitik, orientasi berpikir, prioritas kepentingan dan citacita, serta kebijaksanan dari para pelaku politik semakin mengental menjadi kultur politik. (Apter, 1977) Sudah tentu, bahwa kultur politik yang menjadi background dari tingkah laku politik seseorang dalam aplikasinya berupaya untuk mencapai suatu cita-cita negara. Tingkah laku politik seseorang harus didasari oleh norma dan etika yang berfungsi sebagai moral politik dari para politisi. Oleh karena itu untuk mencapai suatu cita-cita negara, belumlah cukup bila para politisi hanya didukung oleh kesadaran etis saja, tetapi juga produk-produk peraturannnya harus dilandasi oleh moral. Dengan demikian, segala tindakan harus didukung oleh perasaan kesusilaan bahwa hak negara dan politisi ada batasnya, ada hukum yang mengatur di dalamnya.

Soekarno-Hatta dalam Kancah Perjuangan

Kolonialisme Belanda di Indonesia, telah berurat dan berakar menguasai kehidupan bangsa Indonesia. Dominasi politik, eksploitasi ekonomi, diskriminasi sosial, dan penetrasi budaya, adalah wujud nyata dari kolonialisme. Perjuangan pergerakan Indonesia yang dimulai sejak awal abad XX, semakin lama semakin menunjukkan kegigihannya. Organisasi, taktik, dan strategi berjuang yang lebih modern menjadi ciri pergerakan bangsa Indonesia pada saat itu.
Setelah Perang Dunia I, semakin banyak mahasiswa Indonesia yang belajar di Belanda dan mereka terlibat dalam pergerakan Indonesia, yaitu Indisch Vereeniging tahun 1908 yang kemudian setelah tahun 1925 menggunakan nama Perhimpunan Indonesia (PI) serta menerbitkan majalah “Indonesia Merdeka” yang dipelopori oleh Hatta. PI mencoba menyadarkan teman-teman seperjuangan tentang komitmen sebagai bangsa yang bersatu dan merdeka, menghapus gambaran orang Belanda tentang Indonesia, dan mengembangkan ideologi yang bebas dari pembatasanpembatasan khususnya komunisme. (Ingleson, 1988) Itulah ideologi nasionalis PI yang didalamnya mempunyai unsur kesatuan nasional yang bertujuan untuk mencapai kemerdekaan Indonesia; unsur solidaritas untuk mempertajam konflik dengan penjajah; unsur nonkooperasi yang jadi dasar bahwa kemerdekaan harus direbut; dan unsur swadaya yang mendasari kepercayaan atas kekuatan sendiri. Skema perjuangan Hatta dan kawan-kawan dapat digambarkan sebagai berikut:
Pada tahun 1932, Hatta menjadi ketua PNI-baru. Organisasi ini pada tahun 1933 sudah mempunyai 65 cabang, dan kegiatan untuk mewujudkan Indonesia merdeka terus dilakukan. Ketika PPPKI dibentuk, Hatta tidak setuju dan PNI-Baru nya juga tidak jadi anggota “persatuan” itu. Ia bersikap kritis atas “persatuan” itu dan menyebutnya sebagai “persatean”. Atas kegiatan politik Hatta dan kawan-kawan tersebut, menyebabkan pemerintah kolonial menangkapnya tahun 1934. (Pringgodigdo, 1984)
Sementara itu, Soekarno yang lulus ELS tahun 1921, sejak masa mudanya dekat dengan tokoh HOS Cokroaminoto. Soekarno mulai berjuang sejak 1918 dan memulai karier politik yang sesungguhnya pada tahun 1927 dengan mendirikan PNI, dan setahun kemudian berhasil mendirikan PPPKI tahun 1928. Sikapnya yang populis, menyebabkan dia selalu memikirkan rakyat dalam objek perjuangan polilitiknya. Soekarno mempunyai pemikiran yang anti elitisme, anti imperialisme dan anti kolonialisme. Dia enggan dengan soal-soal ekonomi dan lebih suka berpikir sosial demokrat. Tahun 1930, Soekarno ditangkap karena ucapan-ucapannya yang keras terhadap pemerintah kolonial. (Onghokham dalam Abdullah, 1978: 20) Dalam usaha untuk mencapai Indonesia merdeka, Soekarno selalu mengingatkan kepada para pemimpin organisasi pergerakan, hendaknya bangsa Indonesia sudah bersatu lebih dulu dalam suatu organisasi rakyat umum yang tidak dapat dipatahkan, sebelum peperangan Lautan Teduh pecah. Menurut Soekarno, peperangan itu ialah perjuangan untuk merebut dan menguasai Indonesia. Jika bangsa Indonesia tidak mempunyai persatuan maka bangsa Indonesia hanya akan menjadi bola permainan negeri-negeri yang berperang saja.
Buah pemikiran Soekarno yang sangat dikenal adalah faham Marhaenisme. Soekarno mengartikan Marhaenisme sebagai suatu ideologi kerakyatan yang mencitacitakan terbentuknya masyarakat yang sejahtera secara merata. Asas Marhaenisme adalah sosio-nasionalisme dan sosiodemokrasi.
Sosio-nasionalisme adalah nasionalisme masyarakat, yaitu nasionalisme dengan kedua kakinya berdiri di atas masyarakat. Sosio-nasionalisme menolak setiap tindakan borjuisme yang menjadi sebab kepincangan masyarakat. Dengan kata lain, sosionasionalisme adalah nasionalisme politik dan ekonomi – suatu nasionalisme yang mencari keberesan politik dan ekonomi, keberesan negeri dan rezeki. Sosio-demokrasi timbul karena sosionasionalisme. Sosiodemokrasi adalah demokrasi politik dan demokrasi ekonomi. Sosionasionalisme adalah nasionalisme yang berperikemanusiaan atau perasaan cinta kepada bangsa yang dijiwai oleh perasaan cinta kepada sesama. Sementara sosiodemokrasi adalah demokrasi yang menuju kepada kesejahteraan sosial, kesejahteraan masyarakat, atau kesejahteraan seluruh bangsa. (Hananto.2005: 38-41; Pataniari, 2002, 116)
Soekarno juga yakin, bahwa untuk menentang kolonialisme dan imperialisme serta.mewujudkan persatuan bangsa Indonesia menuju kemerdekaan adalah dengan menyatukan tiga.aliran paham besar yang ada di masyarakat Indonesia, yaitu nasionalistis, Islamistis, dan Marxistis. Ketiga gelombang besar ini bisa bersatu untuk melawan kolonialisme (Soekarno, 1964). Nasionalisme menekankan pentingnya batasbatas dan kepentingan nasional, agama (Islam) pada dasarnya bersifal universal, menolak batas-batas nasionalisme dan materialisme ala Marx. Namun demikian ketiganya memiliki tujuan yang sama. Melihat situasi demikian, Soekarno merasa tertantang dan yakin bahwa persatuan diantara ketiganya akan menghasilkan kemerdekaan Indonesia. Inti dari persatuan adalah saling memberi dan menerima. Persatuan tidak akan terjalin jika masing-masing pihak tidak memahami kedua unsur tersebut. Selain itu, BK juga menyarankan untuk menempuh jalan non-kooperasi, yakni menolak bekerja sama dengan pemerintah kolonial (Wardaya, 2006:38-42).

Pertentangan Soekarno-Hatta

Benih-benih perbedaan pemikiran antara Soekarno-Hatta mulai tampak antara tahun 1930an, ketika mereka berpolemik tentang cara mencapai cita-cita bangsa, sosialisme, nasionalisme, kiprah dalam organisasi politik, dan lain-lain. Meskipun demikian, perbedaan dan pertentangan politik antara Soekarno-Hatta tidak sampai menjadikan mereka saling berbuat anarki. Justru pada masa Jepang dan menjelang kemerdekaan mereka lebih bahu-membahu dalam mempersiapkan kemerdekaan
Indonesia.
Bagi Hatta, sikap nonkooperasi harus bersifat kompromis, artinya harus melihat realitas politik yang ada. Namun bagi Soekarno, nonkooperasi harus lebih radikal dan berseberangan dengan pihak penjajah. Soekarno mengistilahkan dengan kaum “sana” dan kaun “sini” untuk membedakan antara penjajah dengan rakyat terjajah. Pertentangan ini terus berlanjut ketika Soekarno berusaha menyatukan Partindo dan PNI Baru. Mereka berbeda tentang asas perjuangan. Hatta berpendapat bahwa perjuangan kemerdekaan membutuhkan waktu bertahun-tahun karena rakyat harus dididik dulu ke arah itu. Akan tetapi bagi Soekarno, kemerdekaan akan tercapai bila tercipta pembentukan kekuatan dan pemakaian kekuatan rakyat. Politik adalah machtsvorming dan machtsaanwending. Mencerdaskan rakyat saat itu memang akan terhindar dari penjara, tetapi juga terhindar dari kemerdekaan. Sementara perbedaan tentang cara melawan kapitalisme, juga terlihat di antara keduanya. Soekarno memandang perjuangan melawan melawan kapitalisme merupakan perjuangan nasional dan perjuangan kebangsaan dengan kekuatan utama kaum marhaen, sedangkan Hatta berpendapat bahwa yang dilakukan Soekarno adalah perjuangan ras, padahal yang dibutuhkan adalah perjuangan klas. (Alam, 2003: 44-75)
Soekarno lebih tertarik untuk menggerakkan massa daripada membentuk kader partai sebagaimana yang diinginkan Hatta. Kalaupun suatu pergerakan akan menjadi kekuatan sejati untuk melawan kolonial, maka hal itu bisa terjadi melalui pendidikan massa rakyat dan latihan suatu elit yang tidak hanya membakar semangat rakyat, melainkan memberikan pencerahan kepada mereka. Pada hakikatnya tidak ada perbedaan antara Partindo dan PNI lama. Dengan alasan lama, mereka pun tetap menganut paham non-kooperasi karena hanya suatu pergerakan yang mengandalkan kekuatan dan kemampuan sendiri sajalah yang dapat mencapai kemerdekaan.
Di kalangan mereka, kritik Hatta itu dianggap sebagai campur tangan yang kasar dalam pergerakan. Pandangan yang sama dianut oleh kelompok Hatta. Perbedaan antara kedua golongan itu hanyalah menyangkut cara perjuangan yang harus dilakukan, apakah dengan agitasi atau pendidikan terhadap rakyat. (Dahm, 1987: 158-161)
Pertentangan Soekarno-Hatta ini terus berlanjut sampai kedatangan Jepang. Pada jaman Pendudukan Jepang mereka bisa menyatu sebagai dwi-tunggal sampai tahun 1950an. Pertentangan mulai terjadi lagi ketika Soekarno berusaha comeback sebagai pimpinan eksekutif dalam sistem Demokrasi Terpimpin. Pada akhir tahun 1957, terjadi pengambilalihan (nasionalisasi) perusahaan-perusahaan Belanda oleh kalangan komunis. Pengambilalihan ini menimbulkan banyak kecaman, terutama dari Hatta yang menyebutnya sebagai tidakan bodoh dan tidak bijaksana. Pengambilalihan ini hampir mengakibatkan ambruknya perekonomian di Indonesia, terutama di bidang perdagangan. Sementara itu, muncul rasa ketidakpuasan masyarakat luar Jawa terhadap pemerintah hingga akhirnya muncul ketegangan antara pusat dengan daerah luar Jawa. Kabinet yang dibentuk pemerintah tidak menyertakan Masyumi, padahal Masyumi merupakan prtai yang memiliki banyak pendukung di luar Jawa. Selain itu, tuntutan akan otonomi daerah yang digulirkan oleh daerah ternyata tidak mendapat perhatian yang serius dari pemerintah pusat. Ketika terjadi krisis daerah tersebut, peranan Dwi Tunggal sangat diharapkan untuk menyelesaikannya, tetapi yang terjadi justru sebaliknya yaitu pecahnya BK dan Hatta. Pada akhir 1957 Hatta secara resmi mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden RI. Hal itu menunjukkan bahwa ia tidak bersedia mengikuti jalan yang sudah digariskan oleh BK.

Tinjauan Budaya terhadap Pertentangan Soekarno-Hatta

Sebenarnya, sejak proklamasi kemerdekaan Indonesia hingga tahun 1950-an, kemajemukan masyarakat Indonesia dapat dikelola dengan berhasil. Prestasi ini disimbolisasikan oleh keberadaan Dwitunggal Soekarna-Hatta, yang bukan sekedar merupakan jaminan simbolis, akan tetapi dalam batas tertentu bahkan riil, bahwa penduduk luar Jawa telah menjadi mitra dengan posisi yang sejajar bagi orang-orang Jawa yang mendominasi penyelenggaraan kekuasaan politik di Indonesia. Seorang Indonesianis melukiskan keadaan ini dengan mengatakan bahwa Soekarno sebagai mistikus Jawa dan eklektikus kawakan dan Hatta sebagai puritan Sumatera telah saling melengkapi tidak hanya secara politis melainkan juga secara primordial. Dwitunggal juga merepresentasikan persekutuan antara Soekarno yang mewakili sinkretisme Jawa dan Hatta yang mewakili merkantilisme Islam dari luar Jawa (Geertz, 1992: 104).
Sayangnya, menjelang pertengahan kedua tahun 1950-an hubungan antara Soekarno dan Hatta yang semula harmonis mulai diwarnai ketegangan yang terus meningkat dan sulit diperdamaikan, sehingga Hatta kemudian memutuskan untuk meletakkan jabatan sebagai Wakil Presiden pada akhir 1957. Pertentangan antara Soekarno dan Hatta menarik untuk dijelaskan, sebab dengan melihat posisi simbolis Hatta maka pengunduran dirinya dari jabatan Wakil Presiden mempunyai implikasi yang tidak sederhana dalam kehidupan Indonesia pada waktu selanjutnya. Tindakan Hatta dapat ditafsirkan sebagai bentuk penarikan dukungan penduduk luar Jawa terhadap legitimasi pemerintah pusat. Selain itu, sejak Hatta meletakkan jabatan, Soekarno mulai menjadi satu-satunya figur sentral dan poros kehidupan nasional Indonesia, keseimbangan politis terganggu, dan munculnya ketidakpuasan terhadap pemerintah pusat.[1]
Setiap pemegang kekuasaan tentu akan menggunakan kekuasaan untuk mengatur Negara dan dan rakyat baik secara politis maupun sosial. Seperti dikatakan Flechteim, “social power is the sum total of those capacity, relationships, and processes by which compliance of others is secured...for ends determined by the power holder” ( Iver, 1961: 87). Kekuasaan politik pada dasarnya merupakan bagian dari kekuasaan sosial yang fokusnya ditujukan kepada negara sebagai satu-satunya pihak yang mempunyai hak untuk mengendalikan tingkah laku sosial, termasuk dengan menggunakan kekerasan.
Meskipun demikian, kekuasaan perlu dibatasi dengan etika politik. Etika Politik menjadi dasar moral bagi politik karena harus memperhatikan pada peran demokrasi dalam memberi legitimasi pada penguasa politik. (Shapiro, 2003: 203) Etika politik adalah gerabang penjaga bagi bangunan cita-cita perjuangan kebangsaan dan kenegaraan. (Baasir, 2003: xxxvii) Etika mempunyai peran yang signifikan dalam mengeliminasi konflik dalam berbagai kehidupan.
Kendati demikian, hubungan antara Soekarno dan Hatta dapat dimasukkan ke dalam wilayah politik yang batasannya tidak hanya didasarkan pada tata aturan, tetapi juga hubungan kultural baik sebagai keseluruhan atau pada bagian-bagian tertentu.[2] Dua alasan dapat dikemukakan untuk menjelaskan hal ini. Pertama, seperti telah disampaikan di muka, Soekarno-Hatta tidak sekedar simbolisasi hubungan politis, tetapi juga hubungan kultural yang secara kasar masing-masing mewakili Jawa dan luar Jawa, sinkretisme Jawa dan Islam puritan, dan mistisisme dan merkantilisme. Unsur-unsur kebudayaan dalam konteks politik mencakup nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, dan sikapsikap emosional mengenai cara-cara menjalankan pemerintahan. Oleh karenanya, kebudayaan dalam konteks politik boleh dianggap sebagai ekspresi untuk menunjukkan lingkungan emosi dan pendirian sebagai tempat sistem politik itu berjalan. Tindakan politik ditentukan oleh berbagai macam faktor seperti tradisi, ingatan sejarah, motif, norma, emosi, dan simbol (Kavanangh, 1983: 4-5)
Kedua, dwitunggal Soekarno-Hatta adalah simbol Indonesia itu sendiri, yang terbentuk sebagai sebuah masyarakat majemuk (plural society). Istilah masyarakat majemuk telah digunakan oleh Furnivall untuk menggambarkan situasi sosial di Burma dan Jawa pada masa kolonial. Di kedua tempat itu orang-orang bumiputera, imigran Cina dan India, dan orang-orang Eropa hidup bersama, tetapi kehidupan mereka tidak menyatu.
Di Burma, seperti juga di Jawa, suatu pemandangan yang paling menarik bagi seorang pengunjung adalah adanya berbagai jenis manusia.... Mereka bercampur, tetapi tidak bersatu. Setiap golongan mengikuti agama, budaya, bahasa, pandangan hidup, dan norma masing-masing. Sebagai individu mereka berjumpa, tetapi ini hanya terjadi di pasar ketika mereka berjual beli. Ini merupakan masyarakat majemuk dengan berbagai golongan masyarakat yang hidup berdampingan namun terpisah, di bawah satu kesatuan politik yang sama. Di dalam sektor ekonomi pun terjadi pembagian tenaga kerja menurut garis-garis etnik... (Furnivall, 1984: 304).
Pada satu sisi kemajemukan dapat menghasilkan daya dorong ke arah kemajuan. Namun pada sisi yang lain kemajemukan dapat menimbulkan gesekan-gesekan yang mengarah pada terjadinya konflik. Pergeseran-pergeseran dalam hubungan antara Soekarno dan Hatta dapat digunakan untuk menunjukkan potensi ganda pluralisme, baik sebagai kekuatan pembentuk integrasi nasional maupun pemicu perpecahan. Masyarakat majemuk ditandai oleh adanya pembelahan sosial yang berakar pada perbedaan etnisitas, ras, agama, dan geografis (Liddle, 1970: 4-5), atau yang oleh Geertz (1992: 82) disebut sebagai sentimen primordial (primordial sentiment).[3] Pada masa Orde Lama sentimen primordial terekspresikan di dalam ‘aliran’ (ideological stream) yang bersumber dari keyakinan agama dan nilai-nilai kultural. Aliran menciptakan ketergantungan dan loyalitas massa terhadap pemimpin-pemimpin mereka dalam suatu pola hubungan patron-klien (Antlöv and Cederroth, 1994: 5).[4]
Berdasarkan hal ini, maka bagi para pendukungnya, baik Soekarno maupun Hatta dapat dilihat sebagai patron. ‘Persekutuan’ yang berhasil antara Soekarno dan Hatta dalam dwitunggal ditentukan oleh kemampuan mereka untuk mengakomodasikan motivasi para pengikutnya untuk membangun negara baru. Masyarakat di negara baru selalu diliputi oleh motivasi yang sangat kuat untuk membangun identitas yang mengantarkan mereka untuk mendapatkan pengakuan umum sebagai pihak yang turut bertanggung jawab dan mempunyai kontribusi yang berharga terhadap negara. Mereka juga dilekati oleh semangat untuk membangun negara modern yang efisien dan dinamis. Semangat ini mempunyai tujuan lebih luas yang bersifat praktis, antara lain adalah pencapaian kemajuan, peningkatan taraf hidup, penciptaan tatanan politis yang efektif, pembentukan keadilan sosial, dan perebutan tempat untuk memainkan peran yang dianggap penting dalam panggung politik. Hubungan harmonis yang diperlihatkan oleh dwitunggal sebelum Hatta menyatakan pengunduran diri dari jabatan Wakil Presiden menunjukkan bahwa Soekarno yang merepresentasikan Jawa masih dapat berjalan seiring dengan Hatta yang merepresentasikan luar Jawa.
Menurut Fachry Ali (1987) praktik politik kekuasaan dalam Indonesia modern pada dasarnya merefleksikan pemikiran tentang kekuasaan dalam tradisi Jawa. Dalam pandangan orang Jawa tradisional, kekuasaan dilihat sebagai sebagai “something concrete, homogeneous, constant in total quantity, and without inherent moral implication as such” (Anderson, 1981: 8). Meskipun kelas atas dalam masyarakat Jawa tradisional didefinisikan secara struktural, mereka juga dilekati oleh nilai-nilai etis dan mode perilaku yang berkaitan erat dengan fungsi tradisional kelas atas. Merujuk Geertz (1981), perbedaan antara kelas atas dan orang kebanyakan adalah pada karakter halus (Jawa: alus) yang menjadi inti etis priyayi.
Kehalusan dapat diartikan sebagai kemampuan untuk menguasai diri, berpenampilan ‘cantik’ dan elegan, berperilaku bijaksana, dan sensitif. ‘Alus’ diperoleh melalui usaha yang terus menerus untuk mengolah ‘rasa’ dan menguasai pemusatan ‘energi putih’. Dalam pemikiran Jawa tradisional, alus merupakan salah satu tanda kekuasaan, sebab kehalusan hanya dapat dicapai dengan pemusatan energi dan seseorang yang ‘halus’ akan ditempatkan pada status dan kekuasaan yang lebih tinggi dan lebih dekat dengat pusat kekuasaan (Anderson, 981: 39 dan 42). Ini berarti bahwa sebelum pertentangan dengan Hatta mencuat ke permukaan, Soekarno berhasil menampilkan dirinya sebagai priyayi.
Kendati demikian, negara baru selalu rentan terhadap rasa tidak suka yang serius yang bersumber dari sentimen primordial. Masalah primordialisme adalah masalah utama republik ini. (Onghokham, 1985:5) Ikatan-ikatan primordial sesungguhnya merupakan patologi dalam praktik kehidupan berpolitik di negara-negara modern. Sebabnya adalah sentimen primordial hanya menghasilkan integrasi yang semu dengan mengandalkan rasa setia kawan (fellow feeling) yang tidak stabil. Ambedkar (dikutip Geertz, 1992: 181) berpendapat bahwa rasa setia kawan ini memang mampu melembaga dan membuat mereka yang diliputinya merasa sebagai kawan dan atau kerabat, dan ini merupakan modal yang berharga bagi sebuah negara yang stabil dan demokratis. Namun sentimen ini selalu bersegi ganda. Di satu sisi ia dapat menjadi kekuatan yang menyatupadukan dan sekaligus melampaui segala perbedaan, namun pada pihak lain juga menciptakan sekat antara seseorang atau sekelompok orang dari dari mereka yang dianggap berbeda, ‘bukan kawan dan bukan kerabat’. Hal itu cukup jelas tercermin dari perbedaan-perbedaan pandangan antara Soekarno dan Hatta.
Sebenarnya primordial bisa diubah menjadi demokrasi pluralistis, dengan segala aspeknya seperti adanya otoritas primordial, keharusan berkompromi, adanya koalisi yang bertanggungjawab dan ideologi yang inklusif, bukan eksklusif. Hal ini akan mendasari kultur politik, yang terbentuk tawar menawar. (Apter, 1977: 492) Akan tetapi, meskipun pertentangan itu telah mendapatkan bentuknya yang paling akhir berupa terpecahnya dwitunggal, Soekarno masih tetap berlaku sebagai seorang yang memegang etis priyayi yang menjunjung tinggi keselarasan atau harmoni sosial. Kehidupan bersama diidealkan berlangsung secara tenang dan penuh kerukunan.
Usaha untuk mencapai tujuan itu melibatkan dua prinsip, yaitu rukun dan hormat. Prinsip rukun mendorong orang Jawa dalam setiap situasi berusaha menyatakan sikap dengan cara sedemikian rupa, sehingga tidak sampai menimbulkan konflik. Prinsip ini bersumber dari pandangan kejawen tentang keseimbangan emosional sebagai nilai tertinggi dan didasarkan pada kewajiban moral untk mengendalikan hasrat hati dan menjaganya agar tak terlepas dari kesadaran, sehingga tidak menimbulkan tanggapan emosional yang berlawanan dari orang lain. Sementara prinsip hormat membuat orang Jawa dalam berbicara dan menampilkan diri selalu menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain sesuai dengan derajat dan kedudukannya (Geertz, 1961: 146). Kedua prinsip tersebut merupakan kerangka normatif yang menentukan bentuk-bentuk konkret hubungan social yang diusahakan terjadi dalam keselarasan, ketenangan, dan ketenteraman, tanpa perselisihan, bersatu dalam maksud saling membantu, sekaligus berlangsung teratur secara hirarkis sehingga para pelakunya dipaksa untuk mempertahankan dan membawa diri sesuai dengan posisi sosialnya (Magnis-Suseno, 1991: 38-39). Dengan kata lain, masyarakat Jawa adalah “masyarakat krama” yang menampilkan diri sebagai orang-orang yang sadar unggah-ungguh. Itulah sebabnya, Soekarno tetap memperlihatkan sikap respek pada Hatta biarpun mereka saling berbeda pendapat.

Daftar Pustaka

Ali, Fachry. 1987. Refleksi Kekuasaan Jawa dalam Indonesia Modern. Jakarta: Gramedia.
Anderson, Benedict R. O’G.. 1981. “The Idea of Power in Javanese Culture”, dalam Claire Holt, ed.. Culture and Politic in Indonesia. Ithaca and London. Cornell Univerity Press.
Antlöv, Hans and Sven Cederroth. 1994. “Introduciton”, dalam Hans Antlöv and Sven Cederroth (ed.). Leadership on Java: Gentle Hints, Authoritarian Rule. Richmond. Curzon Press Ltd.
Antlöv, Hans. 2003. Negara Dalam Desa: Patronase Kepemimpinan Lokal. Terjemahan Pujo Semedi. Yogyakarta. Lappera Pustaka Utama.
Baasir, Faisal. 2003. Etika Politik Pandangan Seorang Politisi Muslim. Jakarta. Sinar Harapan
Dahm, Bernhard. 1987. Soekarno dan Perjuangan Kemerdekaan. Jakarta: LP3ES.
Furnivall. 1984. Colonial Policy and Practise. London. Cambridge University Press.
Geertz, Clifford. 1981. Abangan, Santri,dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa, terjemahan Aswab Mahasin. Jakarta. Pustaka Jaya.
Geertz, Clifford. 1992. Politik Kebudayaan, terjemahan Francisco Budi Hardiman. Yogyakarta. Penerbit Kanisius.
Geertz, Hildred. 1961. The Javanesse Family: A Studi of Kinship and Socialization. The Free Press of Glencoe.
Hananto, Yuli. 2005. Bermuka Dua; Kebijakan Soeharto terhadap Soekarno beserta Keluarganya. Yogyakarta. Ombak.
Kavanagh, Dennis. 1983. Pergeseran-pergeseran Politik dalam Masyarakat. Bandung.
Keesing, Roger M. 1989. Antropologi Budaya Suatu Perspektif Kontemporer. Terjemahan Samuel Gunawan. Jakarta. Penerbit Erlangga.
Liddle, William R.. 1970. Ethnicity, Party, and National Integration: An Indonesian Case Study. New Heaven. Yale Universiy Press.
Magnis-Suseno, Franz. 1991. Etika Jawa: Sebuah Analisis Falsafi tentang Kebijakan Hidup Jawa. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama.
Mc Iver, Robert. 1961. The Web of Government. New York. The MacMillan Company.
Mulder, Niels. 1992. “The Ideology of Javanese-Indonesian Leadership”, dalam Hans Antlöv and Sven Cederroth (ed.). Leadership on Java: Gentle Hints, Authoritarian Rule. Richmond. Curzon Press Ltd.
Onghokham, “Revolusi Indonesia: Mitos dan Realitas”, dalam Prisma No. 8, Tahun XIV, 1985.
Pataniari S. 2002. Api Perjuangan Rakyat. Jakarta: LKEP Lembaga Kajian Ekonomi
Politik.
Shapiro, Ian. 2006. Asas Moral dalam Politik. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.
Wardaya, Baskara T. 2006. Bung Karno Menggugat! Dari Marhaen, CIA, Pembantaian Massal 65 hingga G 30 S. Yogyakarta. Galangpress.
------------------------------------
* Makalah disampaikan pada Seminar Nasional dan Diskusi “Pertentangan SukarnoHatta: Etika Politik dalam Perspektif Sejarah dan Hukum” Himpunan Mahasiswa Jurusan Sejarah Fakultas Sastra UNDIP, Semarang 15 Maret 2007.
** Drs. Indriyanto, S.H.,M.Hum.,dosen Jurusan Sejarah Fak.Sastra UNDIP

[1]Gejala serupa ini juga dapat ditelusuri melalui Pemilihan Umum (Pemilu) 1955. Pada umumnya orang meyakini bahwa Pemilu 1955 merupakan contoh Pemilu paling demokratis sepanjang sejarah Indonesia sampai dengan akhir kekuasaan rezim Orde Baru. Namun pada sisi yang lain Pemilu pada tahun itu sesungguhnya juga telah memperlihatkan adanya kenyataan bahwa sejumlah unit kekuasaan yang penting dalam masyarakat Indonesia seperti antara lain angkatan bersenjata, komunitas keturunan Tionghoa, dan pengusaha ekspor-impor dari luar Jawa tidak cukup terwakili secara memadai dalam sistem politik yang berlaku ketika itu. Di samping itu, dalam Pemilu 1955 juga mulai muncul gejala terjadinya pergeseran pusat kekuasaan politik dari Dwitunggal Soekarno-Hatta ke partaipartai. 
[2]Kultur dapat dipahami sebagai jaringan makna yang digunakan oleh manusia untuk menafsirkan pengalaman dan menuntun tindakan mereka sebagai mode of human being in the world. Hasil atau wujud dari tindakan manusia tersebut adalah jaringan hubungan sosial yang secara umum disebut sebagai masyarakat atau struktur sosial. Kultur dan struktur sosial, dengan demikian merupakan abstraksi yang berbeda dari realitas yang sama (Geertz, 1957: 33-34). Dengan cara yang berbeda, Victor Turner menggambarkan hubungan antara kultur dan struktur seperti hubungan antara partitur musik dengan orkestra. Partitur adalah kultur yang berisi sistem kode yang penuh makna dan berfungsi memandu penampilan pemain-pemain orkestra. Sementara orkestra yang terdiri atas pemainpemain dengan peranan yang berbeda-beda, tetapi tersusun sebagai suatu sistem yang harmonis, adalah struktur social (dikutip Keesing, 1989: 75-76). Dalam definisi ini kebudayaan berfungsi untuk mengatur atau mengendalikan kehidupan masyarakat agar berjalan secara harmonis.
[3]Geertz menyebut integrasi nasional dengan istilah revolusi integratif, yaitu berhimpunnya berbagai kelompok primordial-tradisional ke dalam unit kemasyarakatan yang lebih besar dan bersifat menyebar. Berbagai kelompok itu sebelumnya berdiri sendiri dan kemudian harus memiliki suatu kerangka acuan dalam lingkup ‘bangsa’ di bawah perlindungan suatu pemerintahan baru. Dalam hal ini, Indonesia adalah sebuah identitas baru yang menyatukan berbagai kelompok primordial-tradisional yang terbentuk berdasarkan ikatan kekerabatan, bahasa, daerah, agama, dan adat-istiadat. Selain primordial sentiment, penghalang revolusi integratif yang tak kalah penting adalah civil politics yang menunjuk pada usaha untuk menempatkan peranan militer di bawah kendali penguasa sipil (Geertz, 1992: 82-84, dan 105).
[4]Pasca 1965, atau sejak lahirnya Orde Baru, terjadi perubahan yang mendasar. Era aliran berakhir dan berganti dengan era baru melalui pemberlakuan ideologi tunggal Pancasila. Hubungan antara negara dan rakyat tidak lagi dibangun berdasarkan loyalitas menurut aliran-aliran, tetapi terjadi secara langsung, karena negara menghadirkan dirinya dalam kehidupan masyarakat lokal sampai ke tingkat desa melalui wakil-wakilnya dan melalui berbagai kebijakan pembangunan (Antlöv, 2003). Hubungan antara rakyat dan negara diorientasikan pada penyatuan politik dan moral, yang dikonsepsikan sebagai ‘kepentingan bersama’ yang dapat dicapai melalui cara ‘kekeluargaan’ (Mulder, 1992: 58).

No comments:

Post a Comment