Ide memberikan hukuman untuk menjerakan koruptor banyak ditemui oleh
para pihak di negeri ini. Mulai dari ide pengenaan seragam khusus, pembangunan
penjara khusus, pemiskinan koruptor, hingga hukuman mati.
Upayah pemiskinan koruptor mendapat dukungan luas masyarakat. Koruptor
dipercaya sebagai individu serakah dan selalu berusaha menumpuk harta. Jika
harta menjadi tujuan utama, logis untuk memiskinkan koruptor karena kemiskinan
adalah hal yang dipercaya paling menakutkan koruptor. Strategi ini dianggap
memberikan efek jera kepada koruptor dan mampu mencegah orang untuk korupsi.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah Undang – Undang Tindak Pidana
Korupsi (UU No 31/1999 jo UU No
20/2001) yang ada sekarang memungkinkan upaya untuk memiskinkan koruptor.
Evaluasi atas putusan pengadilan terhadap koruptor bisa dilakukan dengan
menggunakan data putusan Mahkama Agung dari Tahun 2001 hingga 2009, terdiri
atas 549 kasus dengan 831 orang terdakwa. Berdasarkan data ini, terbukti bahwa
koruptor skala gurem (merugikan negara / perekonomian negara kurang dari Rp. 10
juta) dan skala kecil (antara Rp. 10 dan kurang dari Rp. 100 juta) mendapat
hukuman lebih berat dariupada koruptor skala menengah, besar, dan kakap.
Perlu dicatat,koruptor skala menengah merugikan keuangan/perekonomian
negara senilai Rp. 100 juta sampai kurang dari Rp. 1 miliar, koruptor besar
senilai Rp. 1 miliar samapai kurang dari Rp. 25 miliar, dan koruptor kakap
dengan nilai Rp. 25 miliar ke atas.
Jenis Hukuman
Jenis hukuman yang dijatuhkan kepada koruptor, antara lain, adalah
penjara/ kurungan badan, denda, denda subsider, uang pengganti, subsider uang
pengganti, perampasan barang bukti, dan biaya peradilan.
Ditinjau dari lama hukuman penjara, rata-rata lama penjara yang
dijatuhkan MA kepada koruptor dari berbagai skala adalah 58,8 persen dari lima
penjara yang di tuntut. Koruptor gurem, kecil, dan sedang, rata-rata dituntut
penjara berturut-turut 1 tahun 10 bulan, 1 tahun 9 bulan, dan 4 tahun 5 bulan.
Ketika kasus mencapai MA, hukuman penjara yang dijatuhkan kepada
koruptor adalah 1 tahun 2 bulan untuk koruptor gurem, 1 tahun 3 bulan untuk
koruptor kecil, dan 2 tahun 9 bulan untuk koruptor sedang.
Selanjutnya, koruptor besar dan kakap rata-rata dituntut penjara
masing-masing 6 tahun 7 bulan dan 9 tahun 8 bulan. Meski demikian, rata-rata
lama penjara yang dijatuhkan MA adalah 3 tahun 8 bulan untuk koruptor besar dan
4 tahun 10 bulan untuk koruptor kakap.
Perlu dicatat, lama penjara ini adalah lama penjara rata-rata yang
diputuskan ditingkat MA. Kenyataannya, sebagian besar koruptor tidak perlu
tinggal di penjara sepanjang masa hukuman karena selalu ada keringanan hukuman
yang diberikan pemerintah setiap tahun. Biasanya hukuman penjara yang dijalani
koruptor 50-65 persen dari lama penjara yang dijatuhkan MA.
Mari kita devinisikan hukuman finansial sebagai penjumlahan dari nilai
denda, uang pengganti, dan nilai uang hasil korupsi yang disita pengadilan.
Biaya pengadilan tidak dimasukan dalam devenisi ini mengingat hanya berkisar
Rp. 2.500 sampai Rp. 10.000 sehingga nilai bisa diabaikan. Perlu dicatat bahwa
nilai biaya pengadilan tersebut tidak memperhitungkan berapa kali dan berapa
lama sidang digelar untuk satu kasus.
Tercatat 22 pelaku korupsi skala gurem dan 128 pelaku korupsi skala
kecil dinyatakan bersalah oleh MA. Total nilai kerugian yang diakibatkan oleh
koruptor gurem dan kecil berturut-turut Rp.108,4 juta dan Rp.6,3 miliar. Angka
ini didasarkan pada harga konstan tahun 2009.
Meski demikian, koruptor gurem dan kecil dituntut hukuman finansial
hampir 17 kali dan hampir 2 kali lipat dari kerugian eksplisit yang mereka
akibatkan. MA mengganjar koruptor gurem dan kecil dengan hukuman finansial
senilai hampir 11,5 kali dan 4 kali lipat dari kerugian yang mereka akibatkan.
Yang Besar Diuntungkan
Hal sebaliknya justru terjadi pada koruptor skala besar dan kakap.
Tercatat 122 koruptor besar dan 30 koruptor kakap yang dinyatakan bersalah oleh
MA. Total kerugian negara / perekonomian negara yang diakibatkan koruptor besar
dan kakap berturut-turut adalah Rp. 735,5 miliar dan Rp. 72,2 triliun (harga
konstan tahun 2009). Dari nilai kerugian tersebut , kedua kelompok hanya
dituntut membayar hukuman finansial sebesar 65,6 persen untuk koruptor besar
dan 44 persen untuk koruptor kakap. Putusan MA mengganjar mereka dengan Hukuman
finansial masing-masing 49,4 persen (koruptor besar) dan 6,7 persen (koruptor
kakap) dari kerugian yang mereka akibatkan.
Biaya eksplisit korupsi dari tahun 2001 hingga tahun 2009 senilai Rp.
73,01 triliun. Namun, total nilai hukuman finansial yang dijatuhkan hanya Rp.
5,32 triliun (harga konstan 2009). Selisih nilai keduanya adalah Rp. 67,75
triliun, dan celakanya bukan dibayar oleh koruptor, melainkan justru menjadi
beban bagi para pembayar pajak yang budiman. Dalam hal ini pembayar pajak bukan
hanya terbatas pada mereka yang memiiki NPWP saja.
Para mahasiswa yang mengisi pulsa, anak-anak yang membeli permen, dan
ibu-ibu rumah tangga yang membeli sabun colek adalah juga pembayar pajak.
Disinilah terjadi ironi, dimana di indonesia justru koruptor yang kaya
disubsidi oleh rakyat yang sebagian besar miskin.
Temuan di atas membuktikan bahwa pemberian hukuman terhadap koruptor ternyata
dipengaruhi skala korupsi yang dilakukan. Semakin besar korupsi yang dilakukan,
semakin (relatif) ringan hukumannya jika dibandingkan dengan hukuman yang
dijatuhkan kepada koruptor skala rendah. Pelaksanaan UU Tipikor memiskinkan
koruptor gurem dan kecil, tetapi justru menguntungkan koruptor besar dan kakap.
Setelah memahami fenomena ini, sebagian besar orang mungkin akan
menyalahkan para hakim karena telah memberikan hukuman yang ringan kepada
koruptor besar dan kakap. Kesimpulan ini belum tentu seluruhnya benar mengingat
hakim dilarang menjatuhkan hukuman lebih berat dari pada yang telah diatur
dalam UU Tipikor.
Aturan Undang-undang
UU tipikor secara jelas mengatur bahwa maksimum denda adalah Rp. 1
miliar dan maksimum penjara / kurungan adalah 20 tahun. Ironisnya, disisi lain,
UU Tipikor mengatur bahwa korupsi dengan nilai minimum Rp. 5 juta atau lebih
saja yang akan ditangani. Ini berarti, nilai korupsi bisa bernilai tak
berhingga rupiah atau bahkan senilai APBN, dengan kepastian hukum bahwa
koruptor tidak akan didenda lebih dari Rp. 1 miliar.
Lalu
siapa yang bertanggungjawab dalam pembuatan Undang-undang seperti ini. Tentu
saja para legislator (pembuat Undang-undang), yang tak lain dan tak bukan
adalah para wakil rakyat di senayan. Inilah fakta yang menyesakkan dada, tetapi
terjadi di indonesia.
No comments:
Post a Comment