MEMBANGUN MANUSIA UNGGUL MALUKU UTARA
Oleh :
Suwandi S Sangadji
Pertimbangan-pertimbangan yang
melatarbelakangi terbitnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur
Sipil Negara adalah bahwa dalam rangka pelaksanaan cita-cita bangsa dan
mewujudkan tujuan negara sebagaimana tercantum dalam pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, perlu dibangun aparatur sipil
negara yang memiliki integritas, profesional, netral dan bebas dari intervensi
politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta mampu
menyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakat dan mampu menjalankan peran
sebagai unsur perekat persatuan dan kesatuan bangsa berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pembangunan aparatur
sipil negara yang demikian itu diperlukan, karena pelaksanaan manajemen
aparatur sipil negara belum berdasarkan pada perbandingan antara kompetensi dan
kualifikasi yang diperlukan oleh jabatan dengan kompetensi dan kualifikasi yang
dimiliki calon dalam rekrutmen, pengangkatan, penempatan, dan promosi pada
jabatan sejalan dengan tata kelola pemerintahan yang baik. Dengan demikian
fungsi manajemen sumber daya manusia dalam penyelenggaraan birokrasi
pemerintahan menjadi penting dan strategis bagi terbangunnya aparatur sipil negara
yang memiliki integritas, profesional, netral dan bebas dari intervensi
politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta mampu
menyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakat. (UU No.5/2014)
Pertimbangan-pertimbangan yang
dikemukakan di atas merupakan ungkapan arah kebijakan negara dalam memandang
kedudukan, peran strategis dan tanggungjawab aparatur sipil negara, sebagai
salah satu unsur administrasi negara yang sangat dominan dalam penyelenggaraan
birokrasi pemerintahan. Karena itu, dalam perspektif pelaksanaan kebijakan dan
program reformasi birokrasi di Provinsi Maluku Utara, upaya membangun aparatur sipil negara yang memiliki integritas,
profesional, netral dan bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik
korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta mampu melaksanakan berbagai kebijakan,
program dan kegiatan pembangunan, pelayanan publik dan pemberdayaan masyarakat secara
efektif, layak dijadikan kebijakan dan sekaligus pilihan strategis untuk ”Membangun
Manusia Unggul Maluku Utara di Sektor Publik”. Keberhasilan membangun
manusia unggul Maluku Utara di sektor merupakan salah satu prasyarat mutlak
untuk mengantarkan ”Maluku Utara Menuju
Kota Megapolitan”. Dengan membangun manusia unggul Maluku Utara di sektor
publik maka penyelenggaraan Pemerintahan Provinsi Maluku Utara akan semakin demokratis, transparan, efektif,
efisien dan akuntabel dalam mewujudkan Maluku Utara sebagai Kota Megapolitan. Maluku
Utara layak disebut sebagai Kota Megapolitan apabila kondisi dinamis sumber
daya manusia di Maluku Utara semakin berkualitas, modern dan berbudaya plural;
apabila Maluku Utara bebas lingkungan kumuh; apabila Maluku Utara memiliki
jaringan infrastruktur perkotaan yang modern serta tata ruang yang harmonis dan
ramah lingkungan; apabila Maluku Utara dipandang sebagai kota yang paling aman
untuk berinvestasi dan melaksanakan berbagai event internasional. Maluku Utara
sebagai Kota Megapolitan adalah konsep modernisasi dan pengembangan jaringan
perkotaan yang meliputi kawasan Tidore, Ternate, Halteng, Halbar, Halut,
Haltim, dan Morotai.
Konsep Membangun Manusia Unggul di Sektor
Publik mencakup konsep normatif dan konsep teoritik. Konsep normatif adalah
konsep yang dikembangkan dari kebijakan negara di bidang Aparatur Sipil Negara.
Konsep teoritik adalah konsep yang dikembangkan dari teori kompetensi.
Dari aspek normatif, konsep Membangun Manusia Unggul di Sektor Publik
dimaksudkan sebagai kebijakan membangun Aparatur Sipil Negara (ASN) yang
dipandang sebagai suatu profesi. ASN
sebagai profesi berlandaskan pada prinsip sebagai berikut: a) nilai dasar; b) kode etik dan kode perilaku; c) komitmen,
integritas moral, dan tanggung jawab pada pelayanan publik; d) kompetensi yang diperlukan sesuai dengan
bidang tugas; e) kualifikasi akademik; f) jaminan perlindungan hukum dalam
melaksanakan tugas; dan g)profesionalitas jabatan. (Pasal 3 UU No.5/2014)
Nilai dasar sebagaimana dimaksud meliputi:
a) memegang teguh ideologi Pancasila; b) setia dan mempertahankan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta pemerintahan yang sah; c)
mengabdi kepada negara dan rakyat Indonesia; d) menjalankan tugas secara
profesional dan tidak berpihak; e) membuat keputusan berdasarkan prinsip
keahlian; f) menciptakan lingkungan kerja yang nondiskriminatif; g) memelihara
dan menjunjung tinggi standar etika yang luhur; h) mempertanggungjawabkan
tindakan dan kinerjanya kepada publik; i) memiliki kemampuan dalam melaksanakan
kebijakan dan program pemerintah; j) memberikan layanan kepada publik secara
jujur, tanggap, cepat, tepat, akurat, berdaya guna, berhasil guna, dan santun; k)
mengutamakan kepemimpinan berkualitas tinggi; l) menghargai komunikasi,
konsultasi, dan kerja sama; m) mengutamakan pencapaian hasil dan mendorong
kinerja pegawai; n) mendorong kesetaraan
dalam pekerjaan; dan o) meningkatkan efektivitas sistem pemerintahan yang
demokratis sebagai perangkat sistem karier. (Pasal 4 UU
No.5/2014)
Kode etik dan kode perilaku sebagaimana
dimaksud bertujuan untuk menjaga martabat dan kehormatan ASN. Kode etik dan kode perilaku sebagaimana
dimaksud berisi pengaturan perilaku agar Pegawai ASN: a) melaksanakan tugasnya dengan jujur,
bertanggung jawab, dan berintegritas tinggi; b) melaksanakan tugasnya dengan
cermat dan disiplin; c) melayani dengan
sikap hormat, sopan, dan tanpa tekanan; d) melaksanakan tugasnya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan; e) melaksanakan tugasnya sesuai dengan
perintah atasan atau Pejabat yang Berwenang sejauh tidak bertentangan dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan dan etika pemerintahan; f) menjaga kerahasiaan yang menyangkut kebijakan
negara; g) menggunakan kekayaan dan barang milik negara secara bertanggung
jawab, efektif, dan efisien; h) menjaga
agar tidak terjadi konflik kepentingan dalam melaksanakan tugasnya; i) memberikan
informasi secara benar dan tidak menyesatkan kepada pihak lain yang memerlukan
informasi terkait kepentingan kedinasan; j) tidak menyalahgunakan informasi
intern negara, tugas, status, kekuasaan, dan jabatannya untuk mendapat atau
mencari keuntungan atau manfaat bagi diri sendiri atau untuk orang lain; k) memegang
teguh nilai dasar ASN dan selalu menjaga reputasi dan integritas ASN; dan l) melaksanakan
ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai disiplin Pegawai ASN. Kode etik
dan kode perilaku dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. (Pasal 5 UU No.5/2014)
Adapun secara teoritik, Konsep Manusia
Unggul dapat merujuk pada teori kompetensi David McClelland (dalam Martin, 2002:151)
mengatakan bahwa ada sesuatu karakteristik dasar yang lebih penting dalam
memprediksikan kesuksesan kerja. Sesuatu itu, lebih berharga daripada
kecerdasan akademik. Dan sesuatu itu dapat ditentukan dengan akurat, dapat
menjadi titik penentu (critical factor)
pembeda antara seorang star performer dan
seorang dead wood. Menurut
McClelland, sesuatu itulah yang disebut : Kompetensi.
Kompetensi adalah suatu kemampuan atau keunggulan individu yang relevan dengan
tuntutan pekerjaan atau mencapai suatu standar kinerja. Spencer & Spencer (1993:9)
memberikan konsep pemahaman kompetensi berikut :
A competency is an underlying characteristic’s of an
individual which is causally related to criterion-referenced effective and/or
superior performance in a job or situation.
Underlying charaxteristic
means the competency is a fairly deep enduring party of a person’s personality
and can predict behavior in a wide variety of situaton and job taks
Causally related means
that a competency causes or predict behavior and performance.
Criterion- referenced means
that the competency actually predict who does something well or poorly, as
measured on a specific criterion or standard.
Dari penjelasan Spencer &
Spencer di atas diperoleh suatu konsep pemahaman bahwa “underlying
characteristics” mengandung makna kompetensi adalah bagian terdalam
kepribadian yang dimiliki seseorang yang dapat memprediksi berbagai
keadaan, tugas dan pekerjaan. Kata “causally
related” dapat diartikan bahwa kompetensi adalah sesuatu yang berhubungan
dengan perilaku dan kinerja. Kata “Criterion-referenced” mengandung arti
bahwa kompetensi merujuk pada siapa yang
mempunyai kriteri kinerja baik dan kriteria kinerja yang kurang baik, bila diukur
dari kriteria atau standar kinerja tertentu. Misalnya, pencapaian standard
pelayanan yang dinilai dari kriteria kepuasan penerima layanan seperti kepuasan
warga masyarakat yang mengurus keperluan administrasi kependudukan. Dalam
konteks ini, Spencer and
Spencer (1993:9-11) menunjukkan lima
karakteristik kompetensi berikut :
1. Motives. The thing a person consistenly thinks about or wants that cause
action. Motives “drive, direct, and select” behavior toward certain action or
goals and away from others.
2. Traits. Physical caracteristics
and consistent responses to situation of information.
3. Self-concept. A person’s atitude,
values, or self-image.
4. Knowledge. Information a person has
in specific content areas.
5. Skill. The ability to perform a
contain physical or mental task.
Pemahaman tentang hubungan kelima tipe karakteristik
kompetensi tersebut dapat memandu memprediksi
perilaku seseorang dan kinerjanya. Hal ini ditunjukkan oleh Spencer
& Spencer (1993:11) dengan gambar di
bawah ini :
Gambar 1 : Competency Causal Flow
Model
Spencer and Spencer (1993:10) mengatakan
bahwa kompetensi selalu mengandung maksud atau tujuan seperti motives, self-concept atau traits
yang menyebabkan suatu tindakan dilakukan untuk memperoleh suatu hasil atau
mencapai tujuan tertentu. Tindakan dilakukan dengan kompetensi knowledge dan skill.
Bagi organisasi yang tidak mengembangkan kompetensi motive, trait dan self-concept untuk karyawannya, jangan
harap terjadi peningkatan produktivitas, profitabilitas
dan kualitas yang signifikan terhadap suatu produk dan jasa yang dikelolanya.
Mengapa demikian, karena setiap orang mempunyai motive, trait dan self-concept tersendiri dalam
menghadirkan dirinya di lingkungan kerja,
motive, trait dan self-concept
itulah yang mempengaruhi perilaku kerjanya dalam melaksanakan tugas atau
pekerjaan. Karena itu, Spencer and
Spencer (1993:13) mengemukakan bagaimana pentingnya motivasi berprestasi pada seseorang dengan gambar berikut:
Gambar 2 : Axample : Achievement Motivation Sample
Gambar di atas menunjukkan bahwa motives atau dorongan perilaku merupakan
salah satu faktor internal seseorang yang sering mendominasi sikap dan perilaku
seseorang dalam bekerja. Motives
merupakan salah satu elemen yang dominan mempengaruhi kinerja seseorang. Dengan
demikian kompetensi dapat juga didefinsikan sebagai karakteristik dan kapasitas
kepribadian seseorang yang mencakup kapasitas intelektual, kualitas sikap
mental, fleksibelitas fisikal dan kapabilitas sosial seseorang dalam
menunjukkan kinerja yang profesional sesuai dengan bidang pekerjannya. Bagaimana memahami
kompetensi menurut kriteria kinerja, Spencer and Spencer (1993:14) mengatakan :
Competencies can be divided into two categoris, “threshold” and
“differentiating”, according to the job performance citerion they predict.
· Threshold Competencies. These are the essential characteristics
(usually knowledge or basic skills, such as the ability to read) that everyone
in a job needs to be minimallly effective but that do not distinguish superior
from average performer. A threshold competency for a salesperson inknowledeg of
the product or ability to fill out invoices.
· Differentiatiing Competencies. These factors distinguish superior from
average performer. For example, achiement orientation expressed in a person’s
setting goals higher than those required by the organization, is a competency
that differentiates superior from average salespeople.
Penjelasan
Spencer & Spencer di atas
menunjukkan bahwa bahwa kompetensi dapat dibagi atas dua kategori yaitu “threshold” dan “differentiating” menurut kriteria yang digunakan untuk memprediksi kinerja suatu pekerjaan. Threshold competencies
adalah karakteristik utama, biasanya pengetahuan atau keahlian dasar seperti
kemampuan untuk membaca, yang harus dimiliki oleh seseorang agar dapat
melaksanakan pekerjaannya. Tetapi tidak untuk membedakan seseorang yang
berkinerja tinggi dan rata-rata kompetensi “threshold” untuk seorang
sales adalah pengetahuan tentang produk atau kemampuannya untuk mengisi
formulir. Sedangkan “differentiating
competencies” adalah faktor-faktor
yang membedakan individu yang berkinerja tinggi dan rendah. Secara individual
setiap individu memang memiliki kompetensi dan kinerja yang berbeda antara satu
dan yang lainnya. Perbedaan kompetensi dan kinerja ini sebaiknya dioreintasikan
pada fungsi jabatan atau kebutuhan kerja, agar setiap perbedaan tetap mengacu
pada pelaksanaan fungsi jabatan atau pekerjaan. Akan lebih baik jika perbedaan
tersebut disinergikan menjadi satu kesatuan potensi kerja yang saling mendukung
untuk terwujudkan pelaksanaan fungsi jabatan atau pekerjaan yang terkoordinasi,
efektif dan efisien. Untuk itu diperlukan suatu pendekatan manajemen sumber
daya manusia. Selanjutnya, Spencer and Spencer (1993:12) menunjukan
bagaimana model kompetensi dihubungkan dengan strategi MSDM dengan gambar
berikut :
Gambar 3 : Integrated HRM
Around a Clear Understanding of Core Competencies
Dengan gambar yang ditujukkannya, Spencer
and Spencer itu mengemukakan bahwa manajemen sumber daya
manusia merupakan suatu proses penyeleksian dan penarikan personil yang
didasarkan pada suatu model kompetensi yang dibutuhkan untuk jabatan atau
pekerjaan tertentu; penempatan personil untuk keberhasilan perencanaan; pola
pengembangan karir yang sesuai dengan kompetensi personil; dan imbalan untuk
personil yang kompeten dalam manajemen
kinerja. Dengan demikian model kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan jabatan
atau pekerjan merupakan suatu pola pemahaman tentang hubungan kompetensi dengan
fungsi jabatan atau tuntutan pekerjaan. Konsep
ini tentu relevan untuk membangun Manusia Unggul Maluku Utara di sektor publik
atau membangun aparatur unggul dalam penyelenggaraan Pemerintaha Provinsi
Maluku Utara Karena itu, secara teoritik, karakteristik kompetensi yang
mencakup lima dimensi, yaitu (1) Dimensi Motives,
(2) Dimensi Traits, (3) Dimensi Self-concept, (4) Dimensi Knowledge, dan (5) Dimensi Skill dapat dijadikan rujukan untuk
membangun manusia unggul Maluku Utara di sektor publik.
Aplikasi atau penerapan konsep membangun
manusia unggul Maluku Utara di sektor publik mencakup empat pendekatan aplikasi,
yakni : (1) Pengembangan Manajemen ASN; (2) Pengembangan Budaya Organisasi; (3)
Pengembangan Kepemimpinan Birokrasi, dan (4) Pengembangan Mental Aparatur.
Manajemen ASN adalah pengelolaan ASN untuk
menghasilkan Pegawai ASN yang profesional, memiliki nilai dasar, etika profesi,
bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan
nepotisme. Dengan demikian terbentuk indikator-indikator pembangunan sumber
daya aparatur sipil negara, yaitu profesional, memiliki nilai dasar, etika
profesi, bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi,
dan nepotisme. (Pasal 1UU No.5/2014) Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 2014 menyatakan bahwa penyelenggaraan kebijakan dan Manajemen ASN
berdasarkan pada asas: a) kepastian
hukum; b) profesionalitas; c) proporsionalitas; d) keterpaduan; e) delegasi; f) netralitas; g) akuntabilitas; h)
efektif dan efisien; i) keterbukaan; j)
nondiskriminatif; k) persatuan dan kesatuan; l) keadilan dan kesetaraan;
dan m) kesejahteraan. Arah kebijakan dan
praktek Manajemen ASN ini pada dasarnya ditujukan untuk mencapai salah satu
sasaran penyelenggaraan reformasi birokrasi yaitu terwujudkan kinerja ASN dan
kinerja birokrasi yang antara lain menunjukkan kondisi dinamis berkembangnya
profesionalitas; keterpaduan; netralitas; akuntabilitas; efektivitas dan
efisiensi; keterbukaan; nondiskriminatif; persatuan dan kesatuan; keadilan dan
kesetaraan; dan kesejahteraan ASN dalam penyelenggaraan
pemerintahan.
Pengelolaan ASN untuk menghasilkan Pegawai ASN
tersebut dapat dilakukan melalui Diklatpim, Diklat Fungsional dan Diklat Teknis
serta sistem pengembangan karir yang terbuka sesuai dengan ketentuan hukum yang
tercantum dalam Undang-Undang No.5/2014 Tentang Aparatur Sipil Negara.
Pengembangan Budaya organisasi
Pengembangan budaya organisasi
di sector public adalah upaya untuk memperkuat sistem nilai birokrasi agar lebih sesuai dengan perkembangan masyarakat,
perubahan social dan dinamika global.
Pengembangan budaya organisasi
tersebut merujuk pada penguatan budaya sebagaimana dikemukakan oleh Shane dan
Glinow sebagai berikut :
Gambar 2.4
Potential Benefits and
Contingencies of Culture Strength
Sumber : Shane dan Glinow, 2010:424
Pengembangan budaya organisasi di lingkungan
birokrasi dilakukan untuk mewujudkan tujuh karakteritik utama budaya organisasi
sebagaimana yang dikemukakan oleh Robbins (2005:485), yaitu: innovation and
risk taking; attention to detail; outcome orientation; people orientation; team
orientation; aggressiveness; dan stability.
Pengembangan Kepemimpinan Birokrasi
Pengembangan kepemimpinan birokrasi adalah
pengembangan pola kepemimpinan di seluruh unit kerja birokrasi. Pola
kepemimpinan yang selaras dengan pengembangan budaya
organisasi adalah gaya kepemimpinan visioner. Nanus (1992: 12) mengemukakan empat peran penting pemimpin untuk
mengembangkan kepemimpinan visoner yang efektif. Keempat peran tersebut adalah
pemimpin sebagai juru bicara (Spokesperson),
pemimpin sebagai penata arahan (Direction
Setter), pemimpin sebagai pelatih (Coach)
dan pemimpin sebagai agen perubahan (Change
Agent). Pemimipin visioner setidaknya harus memiliki tiga kompetensi kunci sebagaimana
dikemukakan oleh Nanus (1992:136-141),
yaitu:
1. Communication, Seorang
pemimpin visioner harus memiliki kemampuan untuk berkomunikasi secara efektif
dengan manajer dan karyawan lainnya dalam organisasi. Hal ini membutuhkan
pemimpin untuk menghasilkan “guidance, encouragement, and motivation.”
2. Networking, Seorang
pemimpin visioner harus menginvestasikan banyak waktu dalam membangun jaringan
dengan orang di dalam dan di luar organisasi untuk membina kepercayaan (trust) dan konsensus terhadap visi.
3. Personifying the Vision,
Seorang pemimpin visioner harus mampu mempersonifikasi visinya dalam arti
segala tindakan dan perilakunya harus konsisten dengan visi.
Pengembangan Mental Aparatur
Pengembangan mental aparatur adalah suatu
upaya yang terpola, terpadu dan berkelanjutan dalam rangka meningkatkan
kapasitas dan kualitas mental aparatur. Pengembangan mentalitas aparatur ini
merujuk pada Pasal 23 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
2014 menyatakan bahwa Pegawai ASN wajib: a) setia dan taat pada Pancasila,
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan
Republik Indonesia, dan pemerintah yang sah; b) menjaga persatuan dan kesatuan bangsa; c) melaksanakan
kebijakan yang dirumuskan pejabat pemerintah yang berwenang; d) menaati
ketentuan peraturan perundang-undangan; e) melaksanakan
tugas kedinasan dengan penuh pengabdian, kejujuran, kesadaran, dan tanggung
jawab; f) menunjukkan integritas dan
keteladanan dalam sikap, perilaku, ucapan dan tindakan kepada setiap orang, baik
di dalam maupun di luar kedinasan; g) menyimpan rahasia jabatan dan hanya
dapat mengemukakan rahasia jabatan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan
Kesimpulan
1. Konsep Membangun Manusia Unggul di Sektor
Publik adalah upaya membangun aparatur unggul Pemda DKI Maluku Utara. Upaya ini
mencakup pendekatan normatif dan pendekatan teoritik. Pendekatan normatif
adalah upaya yang dikembangkan dari kebijakan negara di bidang Aparatur Sipil
Negara. Pendekatan teoritik adalah upaya yang dikembangkan dari teori
kompetensi.
2. Aplikasi atau penerapan konsep membangun
manusia unggul Maluku Utara di sektor publik mencakup empat pendekatan
aplikasi, yakni : (1) Pengembangan Manajemen ASN; (2) Pengembangan Budaya
Organisasi; (3) Pengembangan Kepemimpinan Birokrasi, dan (4) Pengembangan
Mental Aparatur.
3. Manajemen ASN adalah pengelolaan ASN untuk
menghasilkan Pegawai ASN yang profesional, memiliki nilai dasar, etika profesi,
bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan
nepotisme. Pengelolaan ASN untuk menghasilkan
Pegawai ASN tersebut dapat dilakukan melalui Diklatpim, Diklat Fungsional dan
Diklat Teknis serta sistem pengembangan karir yang terbuka sesuai dengan
ketentuan hukum yang tercantum dalam Undang-Undang No.5/2014 Tentang Aparatur
Sipil Negara.
4. Pengembangan budaya organisasi
di sector public adalah upaya untuk memperkuat sistem nilai birokrasi Pemerintahan
Provinsi Maluku Utara agar lebih sesuai dengan perkembangan masyarakat,
perubahan social dan dinamika global.
Pengembangan budaya organisasi
tersebut dilakukan untuk membangun tujuh karakteritik utama budaya organisasi yaitu:
innovation and risk taking; attention to detail; outcome orientation; people
orientation; team orientation; aggressiveness; dan stability.
5.
Pengembangan
kepemimpinan birokrasi adalah pengembangan pola kepemimpinan di seluruh unit
kerja birokrasi. Pola kepemimpinan yang selaras dengan pengembangan budaya
organisasi adalah gaya kepemimpinan visioner. Empat
peran penting pemimpin untuk mengembangkan kepemimpinan visoner yang efektif. Keempat
peran tersebut adalah pemimpin sebagai juru bicara (Spokesperson), pemimpin sebagai penata arahan (Direction Setter), pemimpin sebagai pelatih (Coach) dan pemimpin sebagai agen perubahan (Change Agent).
6.
Pengembangan
mental aparatur adalah suatu upaya yang terpola, terpadu dan berkelanjutan
dalam rangka meningkatkan kapasitas dan kualitas mental aparatur. Pengembangan
mentalitas aparatur ini diarahkan untuk membangun mentalitas aparatur yang melaksanakan tugas kedinasan dengan penuh pengabdian,
kejujuran, kesadaran, dan tanggung jawab; dan menunjukkan integritas dan keteladanan dalam
sikap, perilaku, ucapan dan tindakan kepada setiap orang, baik di dalam maupun
di luar kedinasan.
Rekomendasi
Berdasarkan kesimpulan tersebut
disarankan kepada Pemda Provinsi Maluku Utara agar menerapkan konsep membangun manusia unggul Maluku
Utara di sektor publik yang mencakup empat pendekatan aplikasi, yakni : (1)
Pengembangan Manajemen ASN; (2) Pengembangan Budaya Organisasi; (3) Pengembangan
Kepemimpinan Birokrasi, dan (4) Pengembangan Mental Aparatur.
Referensi:
Shermon, Ganesh, 2004, Competency based HRM, India : Tata McGraw-Hill Publishing Company
Limited.
Spencer, Lyle, M. Jr. And Spencer, M.Signe. 1993. Competence At Work Models For Superior Performance, United State
of America: John Wiley & Sons, Inc.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara