PENGATAR
Istilah konseling
sepertinya telah menjadi domain publik. Tidak hanya dilakukan oleh
orang-orang yang berprofesi sebagai psikolog, psikiater, guru, atau pekerja
sosial. Namun juga dilakukan oleh masyarakat luas, baik posisinya sebagai
teman, saudara, pegawai, tokoh masyarakat, kyai, pendeta, dan sebagainya.
Memang, pada
dasarnya setiap orang mempunyai potensi untuk memberikan pertolongan kepada
orang lain melalui proses mendengar dan berbicara mengenai masalah-masalah yang
dihadapinya, akan tetapi tidak semua orang dapat melakukannya begitu saja, dan
dapat berhasil melakukan konseling. Hanya orang-orang yang profesional yang
memiliki memungkinkan berhasil dalam melakukan konseling, karena mereka
memiliki keahlian khusus dan berpijak pada kode etik profesional dalam setiap
langkahnya.
Dalam pekerjaan
sosial, konseling bisa dikatakan sebagai tugas, teknik, pendekatan, atau
keterampilan yang terutama digunakan dalam metode casework dan groupwork. Konseling sebagai terapi
perseorangan melibatkan serangkaian strategi dan teknik pekerjaan sosial yang
ditujukan untuk membantu individu-individu yang mengalami masalah perseorangan
atau berdasarkan relasi satu per satu (one-to-one relation). Dalam tulisan ini,
saya mencoba membahas beberapa konsep dari konseling, yaitu mengenai
pengertian, tujuan, proses, prinsip, dan pendekatan dalam konseling.
A.
PENGERTIAN
KONSELING
Hal utama dan pertama yang perlu dipahami oleh seorang Peksos adalah apakah
makna konseling yang sebenarnya, karena sering kali masih banyak orang yang
mengartikan konseling secara sempit sebagai kegiatan pemberian nasehat atau
upaya memberikan saran-saran kepada seseorang yang mempunyai masalah. Tentu
saja pemahaman ini sangat keliru, karena sesungguhnya makna konseling tidaklah
sesederhana itu. Berdasarkan pendapat beberapa pakar, Konseling adalah :
“Suatu hubungan yang
bebas dan berstrutur yang membiarkan klien memperoleh pengertian sendiri yang
membimbingnya untuk menentukan langkah-langkah positif kearah orientasi baru
“(Roger, dalam Gunarsa, 1996).
“Usaha untuk
mengubah pandangan seorang terhadap diri sendiri, orang lain atau lingkungan
fisik. Sebagai akibatnya, seseorang dibantu untuk mencapai identitas sebagai
pribadi dan langkah-langkah untuk memupuk rasa berharga, perasaan berarti dan
bertanggungjawab” (Bernard & Fullmer, dalam Gunarsa, 1996).
“Memberikan
alternatif-alternatif, membantu klien dalam melepaskan dan merombak pola-pola
lama, memungkinkan melakukan proses pengambilan keputusan dan menemukan
pemecahan-pemecahan yang tepat terhadap masalah” (Ivey & Simek-Downing,
dalam Gunarsa, 1996).
Kesimpulan dari ketiga definisi tersebut adalah, bahwa konseling merupakan
suatu proses interaksi antara orang yang mempunyai masalah dengan orang yang
memberikan bantuan untuk menyelesaikan masalah secara bersama-sama. Usaha
tersebut dilakukan dengan cara mencari alternatif dan langkah-langkah yang
memungkinkan seseorang yang memiliki masalah mengatasi masalahnya secara
bertanggungjawab dan memperoleh orientasi baru untuk mencapai integritas
kepribadian yang lebih positif. Dengan demikian makna konseling mencakup beberapa unsur,
antara lain :
·
Konseling adalah
suatu proses.
·
Dalam proses tersebut terjadi
interaksi dan komunikasi antara klien
dengan konselor.
·
Interaksi atau hubungan yang terjadi
antara klien dan konselor adalah hubungan yang sejajar. Dalam hal ini sifat
hubungan yang terjadi adalah hubungan perkawanan namun dengan tidak melupakan
unsur profesionalitas.
·
Konseling adalah suatu kegiatan yang
mempunyai tujuan dalam hal ini tujuan kearah yang positif untuk menyelesaikan
problem.
·
Konseling adalah usaha pemberian
bantuan dan dukungan pribadi dari seorang konselor kepada klien. Dengan
demikian aspek afektif sangat penting di dalam proses ini, bukan hanya aspek
kognitif.
·
Didalam konseling, klien dibantu,
didorong dan dibimbing untuk mengambil keputusan terhadap alternatif yang dia
(klien) inginkan dalam mengatasi masalahnya dan bertanggungjawab terhadap
keputusan itu.
·
Konseling adalah suatu proses belajar
menuju perubahan dan perkembangan kepribadian, dengan demikian konseling
memberikan kemampuan (empowerment) kepada klien untuk mencapai
integritas kepribadian yang lebih positif.
B.
TUJUAN
KONSELING
Setelah kita telah dapat memahami makna
dan arti dari konseling, maka dapat dipahami bahwa apa sesungguhnya yang
menjadi tujuan dari konseling. Menurut pendapat George & Cristiani (1981)
tujuan konseling, yaitu :
·
Memfasilitasi
klien untuk mengembangkan dirinya atau dengan kata lain, membawa klien agar
mampu melakukan perubahan secara konstruktif terhadap dirinya.
·
Meningkatkan keterampilan klien
agar mampu menghadapi situasi dan tuntutan baru dalam hidupnya.
·
Meningkatkan kemampuan
klien untuk mengambil keputusan secara bertanggungjawab. Dengan demikian
berarti bahwa pada akhirnya keputusan yang diambil klien sebagai upaya untuk
mengatasi masalahnya adalah keputusan dari diri klien sendiri.
·
Meningkatkan kemampuan klien
dalam hubungan interpersonal secara lebih baik, atau dengan kata lain
meningkatkan kemampuan penyesuaian diri klien dengan lingkungan sosialnya.
Beberapa pendapat
dari ahli lain, umumnya hampir senada dengan tujuan konseling di atas, yaitu :
·
Membantu individu dalam proses
perubahan tingkah laku.
·
Mengembangkan kemampuan individu
dalammenyesuaikan diri.
·
Membimbing dan mengarahkan individu
dalam memahami kualitas dan potensi dirinya.
·
Membimbing dan menngkatkan
keterampilan dalam menghadapi masalah.
·
Mengembangkan kemampuan dalam proses
pengambilan keputusan. (Mamesah, 2005)
C.
PROSES
KONSELING
Zastrow (Suharto, 2007) menjelaskan bahwa
proses konseling dapat dilihat dari dua perspektif, yakni (1) proses konseling
berdasarkan perspektif pekerja sosial, dan (2) proses konseling berdasarkan
perspektif klien. Dalam praktiknya kedua perspektif dapat dilakukan secara
bersamaan dan saling mengisi. Keberhasilan konseling umumnya berlangsung
melalui tahapan konseling secara berjenjang, meskipun tidak menutup kemungkinan
terjadi persinggungan diantara masing-masing tahapan.
1.
Konseling Berdasarkan Perspektif Pekerja Sosial
Berdasarkan perspektif pekerja sosial,
konseling dapat dilakukan melalui tiga tahap, yaitu membangun relasi,menggali
masalah secara mendalam, dan menggali solusi alternatif.
· Membangun
Relasi
Tahap ini merupakan
pertemuan awal pekerja sosial dengan klien. Pekerja sosial dituntut untuk
membangun suasana yang kondusif dan menyenangkan, sehingga klien tidak memiliki
keraguan atau ketakutan dalam mengemukakan masalahnya. Pekerja sosial perlu
menunjukkan sikap penerimaan, respek, dan perhatian kepada klien. Tahap
pendahuluan ini pada dasarnya merupakan tahap ”menjual diri” pekerja sosial
kepada klien.
· Menggali
Masalah Secara Mendalam
Tahap ini pekerja
sosial dan klien terlibat dalam penggalian informasi secara lengkap dan
mendalam mengenai kesulitan-kesulitan yang dialami klien. Dimensi masalah yang
perlu digali berkisar pada : (a) Jenis masalah yang dialami klien, (b) Tingkat
masalah, (c) Lama masalah tersebut terjadi, (d) Penyebab masalah, (e) Perasaan
klien mengenai masalah tersebut, dan (f) Kekuatan serta kemampuan fisik dan mental
klien dalam menghadapi masalah. Pekerja sosial jangan tergesa-gesa untuk segera
memberikan solusi sesaat setelah masalah klien teridentifikasi.
· Menggali Solusi Alternatif
Setelah masalah
diyakini telah terungkap secara mendalam, tahap berikutnya yang perlu dilakukan
pekerja sosial dan klien adalah menggali berbagai kemungkinan yang dapat
dijadikan alternatif pemecahan masalah. Peran pekerja sosial pada tahap ini
umumnya mengidentifikasi beberapa alternatif untuk kemudian menggalinya bersama
klien guna mencari kecocokan, kelebihan dan keterbatasan dari setiap alternatif
tersebut.
Prinsip yang perlu
diperhatian dalam tahap ini adalah bahwa klien memiliki hak untuk menentukan
nasibnya sendiri (the right self determination), yaitu untuk memilih
sendiri beberapa alternatif yang paling sesuai dengan aspirasi dan keadaannya.
Karena itu istilah yang tepat adalah ”konseling dengan klien” (counseling
with client) dan bukan ”konseling untuk klien” (counseling for client).
Tugas pekerja sosial adalah membantu klien memahami dan menjelaskan
konsekuensi-konsekuensi dari masing-masing alternatif yang tersedia, dan
umumnya bukan memberikan saran atau pilihan secara sepihak kepada klien.
2. Konseling Berdasarkan Perspektif Klien
Berdasarkan
perspektif ini, proses konseling terdiri dari 8 tahapan kegiatan. Kedelapan
tahapan ini ditandai oleh kalimat-kalimat kunci yang harus diyakini oleh klien
manakala melakukan konseling bersama pekerja sosial. Keuntungan dari
perspektif ini adalah memberikan kerangka bagi perbaikan keberhasilan proses
konseling. Manakala konseling tidak membantu memperbaiki masalah klien,
kerangka ini mampu memberi indikasi dengan pengidentifikasian kalimat kunci yang dinyatakan
sendiri oleh klien. Melalui perspektif ini, alasan-alasan mengapa tidak ada
kemajuan dalam konseling dapat diketahui secara dini dan kemudian melakukan
perubahan-perubahan yang diperlukan.
·
Kesadaran Masalah (Probem Awareness)
Pada tahap awal
konseling ini, klien harus memiliki keyakinan dalam dirinya yang dinyatakan
dengan kalimat, ”Saya punya masalah. Saya perlu melakukan sesuatu untuk
mengatasi masalah tersebut”. Apabila klien tidak memiliki keyakinan ini atau
menolak untuk mengakui bahawa dirinya mempunyai masalah, klien tidak
termotivasi untuk melakukan upaya-upaya perubahan, dan tentunya konseling tidak
akan dapat berjalan baik. Pekerja sosial perlu mencari jalan bagaimana agar
klien memiliki kesadaran ini sehingga ia secara sadar mengakui bahwa ia
memiliki masalah yang perlu dipecahkan.
·
Relasi dengan Konselor (Relationship to Counselor)
Tahap berikutnya adalah terjalinnya
relasi yang baik antara klien dengan pekerja sosial. Pada tahap ini klien perlu
memiliki keyakinan yang tercermin dalam kalimat, ” Saya pikir konselor ini akan
mampu membantu saya”. Konseling akan berhasil jika setelah klien yakin dirinya
memiliki masalah, klien yakin pula bahwa pekerja sosial yang akan membantu
dirinya memiliki kemampuan dalam memecahkan masalah yang dialaminya.
Sebaliknya, apabila klien menyatakan bahwa,: Konselor ini tidak akan dapat
menolong saya,” maka konseling akan gagal, sekalipun konselor memiliki
pengetahuan dan pengalaman konseling yang luar biasa.
· Motivasi
(Movitation)
Pada tahap ini klien
harus berkata pada dirinya, ”saya pikir saya dapat memperbaiki situasi saya.
Saya ingin memperbaiki diri saya sendiri.” Konselor perlu membantu klien untuk
memiliki keyakinan ini, karena tanpa motivasi klien, konseling tidak akan
mencapai hasil yang diharapkan.
·
Konseptualisasi Masalah
(Conceptualizating the Problem)
Agar konseling berjalan efektif, klien
harus mengakui dan memahami bahwa, ”Masalah saya tidaklah menumpuk, tetapi
memiliki komponen-komponen khusus yang dapat dirubah.” Banyak klien merasa
bahwa masalahnya sangat kompleks sehingga ia menjadi tegang dan sangat
emosional, dan karenanya tidak dapat melihat bahwa sebenarnya masalah tersebut
memiliki bagian-bagian yang dapat dirubah setahap demi setahap. Pekerja sosial
harus dapat membantu klien dalam memilah masalah kedalam beberapa bagian
sehingga mudah untuk menentukan perioritas masalah yang perlu terlebih dahulu
dipecahkan. Menurut Max Siporin (1975), cara pemilahan masalah kedalam beberapa
segmen masalah disebut teknik partilisasi (partilization).
· Penggalian Strategi-strategi
Pemecahan Masalah (Exploring Resolution Strategies)
Tahap berikutnya
dari proses konseling adalah tahap di mana konselor dan klien secara
bersama-sama menggali beberapa strategi yang dapat diterapkan dalam memecahklan
masalah klien. Klien perlu menyatakan pada dirinya bahwa,” Saya melihat
beberapa pilihan tindakan yang dapat saya coba lakukan dalam memecahkan masalah
saya.”Pekerja sosial itu harus dapat membantu klien memperjelas beberapa
strategi pemecahan masalah yang mungkin tepat dilaksanakan oleh klien. Namun
demikian, prinsip yang harus dipegang adalah bahwa setiap klien itu unik dan
begitu pula dengan masalah yang dialaminya. Suatu strategi yang tepat bagi
klien A mungkin tidak cocok untuk klien B atau klien lainnya. Setiap klien
memiliki latar belakang budaya, pendidikan, pengalaman dan situasi-situasi
problematis yang berbeda. Perbedaan ini tentunya harus dipertimbangkan dalam
memilih strategi yang sesuai.
·
Pemilihan Strategi
(Selection of Strategy)
Setelah beberapa strategi berhasil
diindentifikasi, maka selanjutnya klien dan konselor perlu mendiskusikan
strategi mana yang paling cocok untuk dilaksanakan. Klien harus menyatakan
bahwa, ”saya pikir pendekatan ini dapat membantu saya dan saya ingin mencoba
melaksanakannya.” Setelah klien yakin akan strategi yang dipilihnya, klien
harus memiliki komitmen yang kuat untuk melaksanakan pilihan tindakan tersebut.
· Implementasi Strategi (Implementation of the
Strategy)
Konseling akan mencapai hasil yang
maksimal apabila klien memiliki komitmen dan menyimpulkan bahwa,: Pendekatan
ini tampak mulai membantu saya.” Apabila klien melaksanakan strategi, tetapi
kemudian tidak menyakini terhadao strategi yang dilaksanakannya sambil
berkata,”Saya tidak yakin pendekatan ini akan membantu saya,” maka konseling
akan kembali gagal. Jika keadaan ini terjadi, strategi yang lain perlu digali
dan dicoba untuk dilaksanakan. Karena melaksanakan suatu strategi yang tidak
diyakini klien akan membantu memecahkan masalah, adalah suatu tindakan yang
sia-sia.
· Evaluasi
(Evaluation)
Apabila pelaksanaan
usaha-usaha perubahan telah berjalan secara permanen, klien harus menyimpulkan
bahwa, ”Meskipun pendekatan ini telah banyak menguras waktu dan tenaga saya,
usaha dan pengorbanan saya tidaklah sia-sia.” Sebaiknya jika klien menyatakan
bahwa, : ”Pendekatan ini hanya sedikit membantu saya, usaha dan pengorbanan
saya tidak sebanding dengan hasil yang diperoleh,” maka ini berarti bahwa
konseling kurang efektif dan alternatif tindakan yang lain perlu dikembangkan
dan dilaksanakan.
D.
PRINSIP-PRINSIP
DALAM KONSELING
Dalam melakukan konseling pekerjaan
sosial harus
berpegang pada prinsip-prinsip dasar yang terdapat dalam pekerjaan
sosíal, yaitu sebagai
berikut :
·
Penerimaan (acceptance), pekerja sosíal harus menerima klien apa adanya.
·
Individualisasi
(individualization), bahwasanya
klien merupakan pribadi yang unik yang harus dibedakan dengan yang lainnya.
·
Sikap
tidak menghakimi (non-judgemental
attitude), pekerja sosial
harus mempertahankan sikap tidak menghakimi terhadap kedudukan apapun dari klien dan tingkah laku klien.
·
Rasional (rationality), pekerja sosíal memberikan pandangan yang obyektif dan faktual terhadap kemungkinan-kemungkinan yang terjadi serta mampu mengambil
keputusan.
·
Empati (emphaty),
pekerja sosial harus mampu memahami apa yang dirasakan klien.
·
Ketulusan/kesungguhan
(genuiness), terutama dalam
komunikasi verbal.
·
Kejujuran (impartiality), tidak menghadiahi atau tidak merendahkan seseorang dan kelompok (tidak
menganakemaskan atau menganaktirikan).
·
Kerahasiaan (confidentiality), pekerja sosíal harus menjaga kerahasiaan data/informasi perihal
klien kepada orang lain.
·
Mawas diri
(self-awareness), pekerja sosíal
harus sadar akan potensi dan
keterbatasannya.
·
Menentukan diri sendiri (self
determination), bahwasanya klien
mempunyai hak untuk menerima dan menolak nasihat yang diberikan. Disini klien
bebas memilih atau menentukan cara pemecahan masalah yang paling sesuai.
E.
PENDEKATAN
DALAM KONSELING
Pendekatan konseling
tidak terletak pada satu atau dua metode saja, melainkan terdiri dari beberapa
metode yang masing-masing memiliki kekhususan tersendiri. Zastrow (Suharto,
2007) menjelaskan beberapa pendekatan konseling secara lengkap dan terperinci.
Terdapat pula beberapa pendekatan yang secara khusus ditujukan untuk mengatasi
masalah-masalah tertentu, misalnya sexsual therapy untuk mengatasi
masalah-masalah seksual, assertive training untuk mengatasi masalah
orang yang agresif atau pemalu, parent affectiveness training untuk
meningkatkan kemampuan menjadi orang tua, spesializaed drug counseling
untuk para pecandu narkoba.
Pendekatan-pendekatan
khusus yang dimaksud tersebut antara lain : Psychodrama, Assertiveness
Training, Token Economies, Contingency Desensitization, In Vivo
Desensitization, Implosive Theraty, Convert Sensitization, Aversive Technigues,
Thought-Stopping, Sex Therapy, Millieu Therapy, Play Therapy, Parent
Effectivenes Training, Muscle Relaxation, Deep Breathing Relaxation, Imagery
Relaxation, Meditation, Hypnosis, Self-Hypnosis, Biofeedback, Encounter Groups,
Marathon Groups, Sensitivity Groups, Alcoholics Anonymous, Parent Anonymous dan
Weight Watchers.
Perhatikan
pendekatan-pendekatan tersebut. Betapa banyak pendekatan yang bisa dilakukan
seorang pekerja sosial terhadap berbagai masalah klien. Pertanyaannya sekarang,
seberapa banyak kita selaku pekerja sosial mengenal pendekatan-pendekatan
tersebut ? terlebih-lebih bila kita tanyakan seberapa banyak bisa mempraktikkan
pendekatan tersebut ?. Ya, paling hanya 1 atau 2 pendekatan saja yang telah kita
kenal atau praktikkan. Bisa dimaklumi, tidaklah mungkin seorang pekerja sosial
mampu menguasai semua pendekatan-pendekatan konseling tersebut. Apa yang
harus dilakukan adalah memperdalam pengetahuan dan keteramplan mengenai
pendekatan-pendekatan konseling yang diminati.
KESIMPULAN
Konseling merupakan
teknik, pendekatan, dan keterampilan yang harus dikuasai dalam pekerjaan sosial
yang terutama diterapkan dalam metode casework dan groupwork. Seorang pekerja
sosial profesional dituntut untuk memiliki pengatahuan dan keterampilan yang
diperlukan dalam melakukan konseling, sehingga konseling yang dilaksanakannya
dapat berhasil, serta dapat membedakan dari konseling yang dilakukan oleh
masyarakat umum dan profesi lainnya.
Catatan penting kita
adalah belajar dan terus belajar untuk meningkatkan kemampuan kita, baik
melalui lembaga pendidikan formal (pekerjaan sosial atau psikologi),
pelatihan-pelatihan, seminar-seminar maupun pertemuan-pertemuan ilmiah lainnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Gunarsa, Singgih. 1996. Konseling dan Psikoterapi. Jakarta:
Gunung Mulia
Mamesah, Michiko.
2005. Konseling Orang Dewasa. Jakarta : LAN RI.
Suharto, Edi. 2007. Pekerjaan
Sosial di Dunia Industri : Memperkuat Tanggung Jawab Sosial Perusahaan. Bandung : Refika
Aditama.
No comments:
Post a Comment