Wednesday, February 6, 2013

Konseling Dalam Pekerjaan Sosial


PENGATAR
Istilah konseling sepertinya telah menjadi domain publik. Tidak hanya dilakukan oleh orang-orang yang berprofesi sebagai psikolog, psikiater, guru, atau pekerja sosial. Namun  juga dilakukan oleh masyarakat luas, baik posisinya sebagai teman, saudara, pegawai, tokoh masyarakat, kyai, pendeta, dan sebagainya.
Memang, pada dasarnya setiap orang mempunyai potensi untuk memberikan pertolongan kepada orang lain melalui proses mendengar dan berbicara mengenai masalah-masalah yang dihadapinya, akan tetapi tidak semua orang dapat melakukannya begitu saja, dan dapat berhasil melakukan konseling. Hanya orang-orang yang profesional yang memiliki memungkinkan berhasil dalam melakukan konseling, karena mereka memiliki keahlian khusus dan berpijak pada kode etik profesional dalam setiap langkahnya.
Dalam pekerjaan sosial, konseling bisa dikatakan sebagai tugas, teknik, pendekatan, atau keterampilan yang terutama digunakan dalam metode casework dan groupwork. Konseling sebagai terapi  perseorangan melibatkan serangkaian strategi dan teknik pekerjaan sosial yang ditujukan untuk membantu individu-individu yang mengalami masalah perseorangan atau berdasarkan relasi satu per satu (one-to-one relation). Dalam tulisan ini, saya mencoba membahas beberapa konsep dari konseling, yaitu mengenai pengertian, tujuan, proses, prinsip, dan pendekatan dalam konseling. 

A.     PENGERTIAN KONSELING
         Hal utama dan pertama yang perlu dipahami oleh seorang Peksos adalah apakah makna konseling yang sebenarnya, karena sering kali masih banyak orang yang mengartikan konseling secara sempit sebagai kegiatan pemberian nasehat atau upaya memberikan saran-saran kepada seseorang yang mempunyai masalah. Tentu saja pemahaman ini sangat keliru, karena sesungguhnya makna konseling tidaklah sesederhana itu. Berdasarkan pendapat beberapa pakar, Konseling adalah :
“Suatu hubungan yang bebas dan berstrutur yang membiarkan klien memperoleh pengertian sendiri yang membimbingnya untuk menentukan langkah-langkah positif kearah orientasi baru “(Roger, dalam Gunarsa, 1996).
“Usaha untuk mengubah pandangan seorang terhadap diri sendiri, orang lain atau lingkungan fisik. Sebagai akibatnya, seseorang dibantu untuk mencapai identitas sebagai pribadi dan langkah-langkah untuk memupuk rasa berharga, perasaan berarti dan bertanggungjawab” (Bernard & Fullmer, dalam Gunarsa, 1996).
“Memberikan alternatif-alternatif, membantu klien dalam melepaskan dan merombak pola-pola lama, memungkinkan melakukan proses pengambilan keputusan dan menemukan pemecahan-pemecahan yang tepat terhadap masalah” (Ivey & Simek-Downing, dalam Gunarsa, 1996).
      Kesimpulan dari ketiga definisi tersebut adalah, bahwa konseling merupakan suatu proses interaksi antara orang yang mempunyai masalah dengan orang yang memberikan bantuan untuk menyelesaikan masalah secara bersama-sama. Usaha tersebut dilakukan dengan cara mencari alternatif dan langkah-langkah yang memungkinkan seseorang yang memiliki masalah mengatasi masalahnya secara bertanggungjawab dan memperoleh orientasi baru untuk mencapai integritas kepribadian yang lebih positif. Dengan demikian makna konseling mencakup beberapa unsur, antara lain : 
·         Konseling adalah suatu proses.
·         Dalam proses tersebut terjadi interaksi dan komunikasi antara klien dengan konselor.
·         Interaksi atau hubungan yang terjadi antara klien dan konselor adalah hubungan yang sejajar. Dalam hal ini sifat hubungan yang terjadi adalah hubungan perkawanan namun dengan tidak melupakan unsur profesionalitas.
·         Konseling adalah suatu kegiatan yang mempunyai tujuan dalam hal ini tujuan kearah yang positif untuk menyelesaikan problem.
·         Konseling adalah usaha pemberian bantuan dan dukungan pribadi dari seorang konselor kepada klien. Dengan demikian aspek afektif sangat penting di dalam proses ini, bukan hanya aspek kognitif.
·         Didalam konseling, klien dibantu, didorong dan dibimbing untuk mengambil keputusan terhadap alternatif yang dia (klien) inginkan dalam mengatasi masalahnya dan bertanggungjawab terhadap keputusan itu.
·         Konseling adalah suatu proses belajar menuju perubahan dan perkembangan kepribadian, dengan demikian konseling memberikan kemampuan (empowerment) kepada klien untuk mencapai integritas kepribadian yang lebih positif.

B.      TUJUAN KONSELING
Setelah kita telah dapat memahami makna dan arti dari konseling, maka dapat dipahami bahwa apa sesungguhnya yang menjadi tujuan dari konseling. Menurut pendapat George & Cristiani (1981) tujuan konseling, yaitu :
·         Memfasilitasi klien untuk mengembangkan dirinya atau dengan kata lain, membawa klien agar mampu melakukan perubahan secara konstruktif terhadap dirinya.
·         Meningkatkan keterampilan klien agar mampu menghadapi situasi dan tuntutan baru dalam hidupnya.
·         Meningkatkan kemampuan klien untuk mengambil keputusan secara bertanggungjawab. Dengan demikian berarti bahwa pada akhirnya keputusan yang diambil klien sebagai upaya untuk mengatasi masalahnya adalah keputusan dari diri klien sendiri.
·         Meningkatkan kemampuan klien dalam hubungan interpersonal secara lebih baik, atau dengan kata lain meningkatkan kemampuan penyesuaian diri klien dengan lingkungan sosialnya.
Beberapa pendapat dari ahli lain, umumnya hampir senada dengan tujuan konseling di atas, yaitu :
·         Membantu individu dalam proses perubahan tingkah laku.
·         Mengembangkan kemampuan individu dalammenyesuaikan diri.
·         Membimbing dan mengarahkan individu dalam memahami kualitas dan potensi dirinya.
·         Membimbing dan menngkatkan keterampilan dalam menghadapi masalah.
·         Mengembangkan kemampuan dalam proses pengambilan keputusan. (Mamesah, 2005)

C.      PROSES KONSELING
Zastrow (Suharto, 2007) menjelaskan bahwa proses konseling dapat dilihat dari dua perspektif, yakni (1) proses konseling berdasarkan perspektif pekerja sosial, dan (2) proses konseling berdasarkan perspektif klien. Dalam praktiknya kedua perspektif dapat dilakukan secara bersamaan dan saling mengisi. Keberhasilan konseling umumnya berlangsung melalui tahapan konseling secara berjenjang, meskipun tidak menutup kemungkinan terjadi persinggungan diantara masing-masing tahapan.
1.   Konseling Berdasarkan Perspektif Pekerja Sosial
Berdasarkan perspektif pekerja sosial, konseling dapat dilakukan melalui tiga tahap, yaitu membangun relasi,menggali masalah secara mendalam, dan menggali solusi  alternatif.
·         Membangun Relasi
Tahap ini merupakan pertemuan awal pekerja sosial dengan klien. Pekerja sosial dituntut untuk membangun suasana yang kondusif dan menyenangkan, sehingga klien tidak memiliki keraguan atau ketakutan dalam mengemukakan masalahnya. Pekerja sosial perlu menunjukkan sikap penerimaan, respek, dan perhatian kepada klien. Tahap pendahuluan ini pada dasarnya merupakan tahap ”menjual diri” pekerja sosial kepada klien.
·         Menggali Masalah Secara Mendalam
Tahap ini pekerja sosial dan klien terlibat dalam penggalian informasi secara lengkap dan mendalam mengenai kesulitan-kesulitan yang dialami klien. Dimensi masalah yang perlu digali berkisar pada : (a) Jenis masalah yang dialami klien, (b) Tingkat masalah, (c) Lama masalah tersebut terjadi, (d) Penyebab masalah, (e) Perasaan klien mengenai masalah tersebut, dan (f) Kekuatan serta kemampuan fisik dan mental klien dalam menghadapi masalah. Pekerja sosial jangan tergesa-gesa untuk segera memberikan solusi sesaat setelah masalah klien teridentifikasi.
 
·         Menggali Solusi Alternatif
Setelah masalah diyakini telah terungkap secara mendalam, tahap berikutnya yang perlu dilakukan pekerja sosial dan klien adalah menggali berbagai kemungkinan yang dapat dijadikan alternatif pemecahan masalah. Peran pekerja sosial pada tahap ini umumnya mengidentifikasi beberapa alternatif untuk kemudian menggalinya bersama klien guna mencari kecocokan, kelebihan dan keterbatasan dari setiap alternatif tersebut.
Prinsip yang perlu diperhatian dalam tahap ini adalah bahwa klien memiliki hak untuk menentukan nasibnya sendiri (the right self determination), yaitu untuk memilih sendiri beberapa alternatif yang paling sesuai dengan aspirasi dan keadaannya. Karena itu istilah yang tepat adalah ”konseling dengan klien” (counseling with client) dan bukan ”konseling untuk klien” (counseling for client). Tugas pekerja sosial adalah membantu klien memahami dan menjelaskan konsekuensi-konsekuensi dari masing-masing alternatif yang tersedia, dan umumnya bukan memberikan saran atau pilihan secara sepihak kepada klien.

2.   Konseling Berdasarkan Perspektif Klien
Berdasarkan perspektif ini, proses konseling terdiri dari 8 tahapan kegiatan. Kedelapan tahapan ini ditandai oleh kalimat-kalimat kunci yang harus diyakini oleh klien manakala melakukan konseling bersama pekerja sosial. Keuntungan dari perspektif ini adalah memberikan kerangka bagi perbaikan keberhasilan proses konseling. Manakala konseling tidak membantu memperbaiki masalah klien, kerangka ini mampu memberi indikasi dengan pengidentifikasian kalimat kunci yang dinyatakan sendiri oleh klien. Melalui perspektif ini, alasan-alasan mengapa tidak ada kemajuan dalam konseling dapat diketahui secara dini dan kemudian melakukan perubahan-perubahan yang diperlukan.
·         Kesadaran Masalah (Probem Awareness)
Pada tahap awal konseling ini, klien harus memiliki keyakinan dalam dirinya yang dinyatakan dengan kalimat, ”Saya punya masalah. Saya perlu melakukan sesuatu untuk mengatasi masalah tersebut”. Apabila klien tidak memiliki keyakinan ini atau menolak untuk mengakui bahawa dirinya mempunyai masalah, klien tidak termotivasi untuk melakukan upaya-upaya perubahan, dan tentunya konseling tidak akan dapat berjalan baik. Pekerja sosial perlu mencari jalan bagaimana agar klien memiliki kesadaran ini sehingga ia secara sadar mengakui bahwa ia memiliki masalah yang perlu dipecahkan.
 ·         Relasi dengan Konselor (Relationship to Counselor)
Tahap berikutnya adalah terjalinnya relasi yang baik antara klien dengan pekerja sosial. Pada tahap ini klien perlu memiliki keyakinan yang tercermin dalam kalimat, ” Saya pikir konselor ini akan mampu membantu saya”. Konseling akan berhasil jika setelah klien yakin dirinya memiliki masalah, klien yakin pula bahwa pekerja sosial yang akan membantu dirinya memiliki kemampuan dalam memecahkan masalah yang dialaminya. Sebaliknya, apabila klien menyatakan bahwa,: Konselor ini tidak akan dapat menolong saya,” maka konseling akan gagal, sekalipun konselor memiliki pengetahuan dan pengalaman konseling yang luar biasa.
 ·         Motivasi (Movitation)
Pada tahap ini klien harus berkata pada dirinya, ”saya pikir saya dapat memperbaiki situasi saya. Saya ingin memperbaiki diri saya sendiri.” Konselor perlu membantu klien untuk memiliki keyakinan ini, karena tanpa motivasi klien, konseling tidak akan mencapai hasil yang diharapkan.
 ·         Konseptualisasi Masalah (Conceptualizating the Problem)
Agar konseling berjalan efektif, klien harus mengakui dan memahami bahwa, ”Masalah saya tidaklah menumpuk, tetapi memiliki komponen-komponen khusus yang dapat dirubah.” Banyak klien merasa bahwa masalahnya sangat kompleks sehingga ia menjadi tegang dan sangat emosional, dan karenanya tidak dapat melihat bahwa sebenarnya masalah tersebut memiliki bagian-bagian yang dapat dirubah setahap demi setahap. Pekerja sosial harus dapat membantu klien dalam memilah masalah kedalam beberapa bagian  sehingga mudah untuk menentukan perioritas masalah yang perlu terlebih dahulu dipecahkan. Menurut Max Siporin (1975), cara pemilahan masalah kedalam beberapa segmen masalah disebut teknik partilisasi (partilization).
 ·       Penggalian Strategi-strategi Pemecahan Masalah (Exploring Resolution Strategies)
Tahap berikutnya dari proses konseling adalah tahap di mana konselor dan klien secara bersama-sama menggali beberapa strategi yang dapat diterapkan dalam memecahklan masalah klien. Klien perlu menyatakan pada dirinya bahwa,” Saya melihat beberapa pilihan tindakan yang dapat saya coba lakukan dalam memecahkan masalah saya.”Pekerja sosial itu harus dapat membantu klien memperjelas beberapa strategi pemecahan masalah yang mungkin tepat dilaksanakan oleh klien. Namun demikian, prinsip yang harus dipegang adalah bahwa setiap klien itu unik dan begitu pula dengan masalah yang dialaminya. Suatu strategi yang tepat bagi klien A mungkin tidak cocok untuk klien B atau klien lainnya. Setiap klien memiliki latar belakang budaya, pendidikan, pengalaman dan situasi-situasi problematis yang berbeda. Perbedaan ini tentunya harus dipertimbangkan dalam memilih strategi yang sesuai.
 ·         Pemilihan Strategi (Selection of Strategy)
Setelah beberapa strategi berhasil diindentifikasi, maka selanjutnya klien dan konselor perlu mendiskusikan strategi mana yang paling cocok untuk dilaksanakan. Klien harus menyatakan bahwa, ”saya pikir pendekatan ini dapat membantu saya dan saya ingin mencoba melaksanakannya.” Setelah klien yakin akan strategi yang dipilihnya, klien harus memiliki komitmen yang kuat untuk melaksanakan pilihan tindakan tersebut.
 ·         Implementasi Strategi (Implementation of the Strategy)
Konseling akan mencapai hasil yang maksimal apabila klien memiliki komitmen dan menyimpulkan bahwa,: Pendekatan ini tampak mulai membantu saya.” Apabila klien melaksanakan strategi, tetapi kemudian tidak menyakini terhadao strategi yang dilaksanakannya sambil berkata,”Saya tidak yakin pendekatan ini akan membantu saya,” maka konseling akan kembali gagal. Jika keadaan ini terjadi, strategi yang lain perlu digali dan dicoba untuk dilaksanakan. Karena melaksanakan suatu strategi yang tidak diyakini klien akan membantu memecahkan masalah, adalah suatu tindakan yang sia-sia.
 ·         Evaluasi (Evaluation)
Apabila pelaksanaan usaha-usaha perubahan telah berjalan secara permanen, klien harus menyimpulkan bahwa, ”Meskipun pendekatan ini telah banyak menguras waktu dan tenaga saya, usaha dan pengorbanan saya tidaklah sia-sia.” Sebaiknya jika klien menyatakan bahwa, : ”Pendekatan ini hanya sedikit membantu saya, usaha dan pengorbanan saya tidak sebanding dengan hasil yang diperoleh,” maka ini berarti bahwa konseling kurang efektif dan alternatif tindakan yang lain perlu dikembangkan dan dilaksanakan.

D.      PRINSIP-PRINSIP DALAM KONSELING
Dalam melakukan konseling pekerjaan sosial harus berpegang pada prinsip-prinsip dasar yang terdapat dalam pekerjaan sosíal, yaitu sebagai berikut :
·         Penerimaan (acceptance), pekerja sosíal harus menerima klien apa adanya.
·         Individualisasi (individualization), bahwasanya klien merupakan pribadi yang unik yang harus dibedakan dengan yang lainnya.
·         Sikap tidak menghakimi (non-judgemental attitude), pekerja sosial harus mempertahankan sikap tidak menghakimi terhadap kedudukan apapun dari klien dan tingkah laku klien.
·         Rasional (rationality), pekerja sosíal memberikan pandangan yang obyektif dan faktual terhadap kemungkinan-kemungkinan yang terjadi serta mampu mengambil keputusan.
·         Empati (emphaty), pekerja sosial harus mampu memahami apa yang dirasakan klien.
·         Ketulusan/kesungguhan (genuiness), terutama dalam komunikasi verbal.
·         Kejujuran (impartiality), tidak menghadiahi atau tidak merendahkan seseorang dan kelompok (tidak menganakemaskan atau menganaktirikan).
·         Kerahasiaan (confidentiality), pekerja sosíal harus menjaga kerahasiaan data/informasi perihal klien kepada orang lain.
·         Mawas diri (self-awareness), pekerja sosíal harus sadar akan potensi dan keterbatasannya.
·         Menentukan diri sendiri (self determination), bahwasanya klien mempunyai hak untuk menerima dan menolak nasihat yang diberikan. Disini klien bebas memilih atau menentukan cara pemecahan masalah yang paling sesuai.

E.       PENDEKATAN DALAM KONSELING
Pendekatan konseling tidak terletak pada satu atau dua metode saja, melainkan terdiri dari beberapa metode yang masing-masing memiliki kekhususan tersendiri. Zastrow (Suharto, 2007) menjelaskan beberapa pendekatan konseling secara lengkap dan terperinci. Terdapat pula beberapa pendekatan yang secara khusus ditujukan untuk mengatasi masalah-masalah tertentu, misalnya sexsual therapy untuk mengatasi masalah-masalah seksual, assertive training untuk mengatasi masalah orang yang agresif atau pemalu, parent affectiveness training untuk meningkatkan kemampuan menjadi orang tua, spesializaed drug counseling untuk para pecandu narkoba.
Pendekatan-pendekatan khusus yang dimaksud tersebut antara lain : Psychodrama, Assertiveness Training, Token Economies, Contingency Desensitization, In Vivo Desensitization, Implosive Theraty, Convert Sensitization, Aversive Technigues, Thought-Stopping, Sex Therapy, Millieu Therapy, Play Therapy, Parent Effectivenes Training, Muscle Relaxation, Deep Breathing Relaxation, Imagery Relaxation, Meditation, Hypnosis, Self-Hypnosis, Biofeedback, Encounter Groups, Marathon Groups, Sensitivity Groups, Alcoholics Anonymous, Parent Anonymous dan Weight Watchers.
Perhatikan pendekatan-pendekatan tersebut. Betapa banyak pendekatan yang bisa dilakukan seorang pekerja sosial terhadap berbagai masalah klien. Pertanyaannya sekarang, seberapa banyak kita selaku pekerja sosial mengenal pendekatan-pendekatan tersebut ? terlebih-lebih bila kita tanyakan seberapa banyak bisa mempraktikkan pendekatan tersebut ?. Ya, paling hanya 1 atau 2 pendekatan saja yang telah kita kenal atau praktikkan. Bisa dimaklumi, tidaklah mungkin seorang pekerja sosial mampu menguasai semua pendekatan-pendekatan konseling tersebut.  Apa yang harus dilakukan adalah memperdalam pengetahuan dan keteramplan mengenai pendekatan-pendekatan konseling yang diminati. 

KESIMPULAN

Konseling merupakan teknik, pendekatan, dan keterampilan yang harus dikuasai dalam pekerjaan sosial yang terutama diterapkan dalam metode casework dan groupwork. Seorang pekerja sosial profesional dituntut untuk memiliki pengatahuan dan keterampilan yang diperlukan dalam melakukan konseling, sehingga konseling yang dilaksanakannya dapat berhasil, serta dapat membedakan dari konseling yang dilakukan oleh masyarakat umum dan profesi lainnya.
Catatan penting kita adalah belajar dan terus belajar untuk meningkatkan kemampuan kita, baik melalui lembaga pendidikan formal (pekerjaan sosial atau psikologi), pelatihan-pelatihan, seminar-seminar maupun pertemuan-pertemuan ilmiah lainnya.
  
DAFTAR PUSTAKA

Gunarsa, Singgih. 1996. Konseling dan Psikoterapi. Jakarta: Gunung Mulia
Mamesah, Michiko. 2005. Konseling Orang Dewasa. Jakarta : LAN RI.
Suharto, Edi. 2007. Pekerjaan Sosial di Dunia Industri : Memperkuat Tanggung Jawab Sosial Perusahaan. Bandung : Refika Aditama.

No comments:

Post a Comment