MATA KULIAH :
HUMAN RESOURCE MANAGEMENT
KIAT “REVOLUSI MENTAL” JOKO WIDODO
DALAM MEWUJUDKAN GOOD GOVERNANCE
Oleh
SUWANDI S SANGADJI
55113120209
Program Pascasarjana Magister
Manajemen
Universitas Mercubuana
Jakarta
Jl. Meruya
Selatan, Kebun Jeruk - Jakarta Barat
Wandy_sangadji@yahoo.com
Fenomena yang menarik dari penyelenggaraan
Pemilukada Jakarta Tahun 2013 adalah tampilnya pasangan Jokowi-Ahok. Awalnya
penampilan pasangan Jokowi-Ahok kurang
menarik, karena tidak hanya berhadapan dengan beberapa pasangan yang sudah popular
seperti misalnya pasangan Fauzi Bowo dan pasangan Nur Wahid; namun performance Jokowi-Ahok itu sendiri
tidak meyakinkan publik. Dengan penampilan kostum merah bermotifkan
kotak-kotak, Jokowi-Ahok tampak menjadi peserta Pemilukada yang sederhana.
Sulit mengalahkan incumbent memang benar, karena Pasangan
Fauzi Bowo-Nacrhowi tidak hanya popular sebagai incumbent tetapi juga karena pasangan ini didukung oleh partai yang
tengah berkuasa. Namun kenyataan menunjukkan lain, ternyata pasangan Jokowi-Ahok
- yang terlihat sederhana dan terkesan merakyat – justru berhasil memenangkan
Pemilukada Jakarta Tahun 2013!
Itulah fenomena politik yang terbentuk dari proses demokrasi yang menjadi
pilihan kita dalam membangun tatanan kehidupan politik. Fenomena politik yang
demikian itu bisa terjadi bila mayoritas rakyat berbicara dan menunjukkan
pilihannya secara langsung. Pemilukada Jakarta tahun 2013 memberi pelajaran
kepada kita, bahwa sesungguhnya popularitas itu tidak sepenuhnya menjamin seseorang
akan terpilih menjadi pemenang pemilu – meskipun kerja keras untuk memenangkan
juga diperlukan.Terrnyata, ada hal-hal lain yang perlu dipertimbangkan, ada
hal-hal lain yang berada di luar jangkauan hitung-hitungan matematik politik.
Hal-hal lain di luar hitung-hitungan matematik politik itulah yang muncul dari
serorang Jokowi – sosok lugu yang sederhana, dan dengan bahasa yang sederhana
mampu menggugah publik dengan perilaku kepemimpinan yang bersahaja. Dengan
kesederhanaan dan kesahajaan yang ditampilkannya Jokowi tampak memberi warna
baru dalam kancah kepemimpinan politik. Tampilan ini jelas sangat berbeda
dengan tampilan SBY yang selalu berupaya
untuk tampil sebagai sosok ”bourgeois”, ”terpelajar”,
”bijaksana”, dan ”santun”. Walaupun kenyataan menunjukkan bahwa ucapan dan kebijakan SBY sering
kontroversial dan mendatangkan kritikan publik – misalnya ada ormas keagamaan
yang berani mengatakan ”SBY itu pecundang”, atau ada politikus yang berani mengatakan ”SBY itu peragu”, dan banyak lagi
”stempel sosial” negatif yang diberikan berbagai kalangan terhadap kepemimpinan
SBY. Dibalik stempel sosial yang
demikian itu jelas ada sesuatu yang sangat dirindukan dari sosok pemimpin yang
benar-benar didambakan rakyat. Lantas,
pertanyaannya adalah ”Siapakah gerangan sosok pemimpin yang benar-benar
diambakan oleh rakya Indonesia?”
Jokowi memenangkan Pemilukada Jakarta tahun 2013 dan menjadi Gubernur yang
senang ”blusukan” itu tampaknya belum menjadi fenomena politik yang luar biasa.
Mengapa, karena Jakarta bukanlah Indonesia. Tapi ketika terpilih menjadi
Presiden Republik Indonesia, itu baru fenomena politik yang luar biasa. Mengapa
begitu, karena ada sederet soal yang sulit dijawab dengan hanya mengandalkan
hitung-hitungan matamatik politik. Tapi itulah kenyataan, bahwa walaupun menang
tipis dan dengan segalah tuduhan kecurangan diarahkan kepada kelompoknya –
namun nyatanya Jokowi itu menjadi Presiden Terpilih!
Setelah Jokowi terpilih menjadi Presiden Indonesia yang ke-8, lantas kiat apa
yang harus dilakukan oleh Jokowi untuk memimpin Indonesia yang sarat dengan
berbagai masalah ipoleksosbudhamkanas? Kiat yang diartikan sebagai suatu
pilihan konsep dan strategi kepemimpinan - baik secara sadar atau tidak sadar
dipolakan menjadi perilaku kepemimpinannya – Jokowi tentu perlu memilih kiat yang tepat untuk bisa sukses memimpin
Indonesia yang sarat dengan penyalahgunaan kekuasaan dan maraknya perilaku
korupsi. Mengacu pada jargon politik Jokowi ketika melakukan kampanye Pilpres
yaitu ”Revolusi Mental” yang dilontarkan kepada publik, maka pertanyaannya adalah ”Apa
yang harus diubah oleh Jokowi agar ”revolusi mental” yang dimaksud dapat
diaktualisasikan secara nyata dalam proses kepemimpinannya pada kurun lima
tahun mendatang?
Terhadap pertanyaan seperti itu, jawaban
sementara yang layak didisukusikan adalah bahwa ”Jokowi perlu mengubah budaya
organisasi pemerintahan dan kepemimpinan birokrasi dengan mengaktualisasikan prinsip-prinsip
good governance ke dalam pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan.”
1.
Praktek
Good Governance Dalam Penyelenggaraan
Sistem Pemerintahan
1.1 Prinsip-prinsip Good
Governance
Secara umum prinsip-prinsip good
governance yang dikenal publik mencakup desentralisasi, partisipasi, penegakan
hukum, transparansi, responsivitas, oreintasi pada consensus, keadilan,
efektivitas dan efisiensi, akuntabilitas dan visi strategis. Dalam konteks ini,
menurut penulis perlu ditambahkan satu lagi prinsip good governance agar sesuai dengan kebudayaan masyarakat Indonesia
yang agamis, yakni Prinsip Amanah. Mengapa prinsip ini perlu dimaksukkan
menjadi salah satu elemen good governance
untuk mewujudkan good goverment, karena seluruh jabatan publik yang dijabat oleh
pera pejabat publik itu sesungguhnya adalah amanah publik yang harus diterima
dengan kesadaran, komitmen dan
integritas untuk mengaktualisasikannya secara konsisten dan konsekuen menurut
ukuran-ukuran moralitas sebagaimana layaknya pihak yang menerima amanah.
Aktualisasi jabatan publik secara konsisten dan konsekuen menurut ukuran-ukuran
moralitas inilah yang dimaksud sebagai pengejawantahan Prinsip Amanah.
Dalam konteks itu, jabatan publik apapun yang diterima
oleh aparatur atau pejabat publik sesungguhnya mengandung sederetan tuntutan
dan sejumlah tantangan yang menghendaki agar pejabat publik itu bersikap amanah
sesuai amanah yang tertuang dalam sumpah jabatan serta ketentuan hukum yang
mengatur fungsi jabatan tersebut. Apabila prinsip amanah ini dapat
diaktualisasikan secara utuh, konsisten dan konsekuen – apapun resikonya – maka
prinsip-prinsip good governance
lainnya menjadi tidak terlalu sulit untuk diaktualisasikan. Mengapa demikian,
karena orang yang bersikap amanah adalah orang yang rendah hati, jujur dan
bersikap melayani kepada siapa saja yang bersentuhan dengan pelaksanaan fungsi
jabatannya. Dalam konteks ini, desentralisasi
dapat diartikan sebagai suatu proses pendelegasian wewenang atasan kepada
bawahan untuk meningkatkan kinerja jabatan atau mencapai tujuan pelaksanaan
fungsi jabatan. Karena itu pelaksanaan fungsi jabatan itu sesungguhnya tidak
bergantung hanya pada satu orang saja yang menguasai jabatan, namun bergantung
pada strauktur jabatan yang membentuk sekian banyak orang untuk secara
bersama-sama menjalin kerjasama dan kebersamaan yang saling mendukung dan
memperlancar. Partisipasi, dapat diartikan bahwa potensi dan keterlibatan
secara aktif setiap individu yang terstruktur dalam fungsi jabatan agar dapat memberikan kontribusinya secara
efektif dalam pelaksanaan fungsi jabatan tersebut. Dalam konteks yang lebih
luas, partisipasi itu juga dapat diartikan sebagai potensi dan keterlibatan
para pemangku kepentingan (stakeholder)
yang terkait dengan pelaksanaan fungsi jabatan tersebut. Karena itu, salah satu
tantangan yang dihadapi para pejabat publik adalah bagaimana mengembangkan
sistem partisipasi yang kontruktif bagi pelaksanaan fungsi jabatan yang
berdayaguna dan berhasilguna. Penegakkan
hukum, dapat diartikan sebagai suatu upaya mewujudkan kinerja dan pelaksanaan
fungsi jabatan agar selalu didasarkan pada aturan hukum dan ketentuan
administratif yang berlaku dengan selalu memperhatikan pentingnya
ketertiban dan disiplin dalam
pelaksanaan tugas. Karena itu, setiap pejabat tidak hanya dituntut untuk
memahami persoalan hukum tetapi sekaligus juga dituntut untuk tidak melanggar
atau mengabaikan ketentuan hukum, meskipun ketentuan hukum itu dapat diubah
oleh otoritas jabatannya. Transparansi,
dapat diartikan sebagai suatu keterbukaan sikap yang jujur dan demokratis dalam mengimplementasikan kebijakan publik dan
penggunaan sumberdaya administrasi publik untuk mencapai tujuan pelaksanaan
fungsi jabatan.Transparansi juga dapat diartikan terbangunnya suatu sistem
komunikasi sosial yang efektif dengan berbagai pihak yang terkait dan atau
berkepentingan dengan pelaksanaan fungsi jabatan. Responsivitas, dapat
diartikan sebagai suatu manifestasi kepekaan dan daya tanggap terhadap segala
permasalahan dan tuntutan yang menjadi konsekuensi dan atau resiko penerimaan
dan pelaksanaan fungsi jabatan. Oreintasi
pada consensus, dapat diartikan sebagai kepatuhan pada kesepakatan dan norma-norma yang mendasari
penerimaan jabatan. Keadilan, dapat diartikan sebagai suatu
ungkapan sikap kepemimpinan pejabat publik yang bijaksana dan kepedulian sosial
yang memandang penting kedudukan setiap pihak yang terkait dengan pelaksanaan
fungsi jabatan.Untuk itu setiap pejabat publik hendaknya dapat menghindari
kepentingan subyektif dan desakan ego sektoral. Efektivitas dan efisiensi,
dapat diartikan sebagai proses
pencapaian tujuan pelaksanaan fungsi jabatan secara optimal, dan penggunaan
sumber daya jabatan secara maksimal. Untuk itu, setiap pejabat publik perlu
memahami ukuran-ukuran pencapaian tujuan dan sasaran pelaksanaan fungsi
jabatan. Akuntabilitas, dapat diartikan sebagai suatu
pertanggungjawaban atas pelaksanaan fngsi jabatan, baik secara moral, hukum dan
administratif. Dalam konteks ini, seorang pejabat publik perlu memiliki
landasan moral, etika dan norma yang jelas. Visi strategis, dapat diartikan bahwa seorang pejabat publik
perlu mengembangkan visi dan gaya kepemimpinannya yang selaras dengan dinamika
perubahan lingkungan strategis organisasi, dan menguasai juga strategi-startegi
pendekatan yang tepat untuk mengatasi setiap permasalahan yang menuntut
optimalisasi pelaksanaan fungsi jabatan. Untuk itu, setiap pejabat publik perlu
mengembangkan wawasan dan kompetensinya agar mampu berperan dalam proses
transformasi nlai-nilai yang terkait dengan fungsi jabatannya.
Dengan memahami, menghayati dan mengejawantahkan prinsip-prinsip good governance yang demikian itu ke
dalam dinamika pelaksanaan fungsi jabatannya, maka dengan sendirinya seorang
pejabat publik tentu dapat menjadi kontributor bagi terbentuknya good government di lingkungan tugasnya.
Jika sebagian besar pejabat publik juga dapat mengaktualisasikan seluruh
prinsip good governance secara
konsisten dan konsekuen, maka tak sulit merealisasikan good government.
1.2 Good
Governance vs Budaya
Organisasi Pemerintahan
Menyadari bahwa setiap individu mempunyai latar belakang, karakteristik,
dan kemampuan yang berbeda-beda, maka aktualisasi nilai-nilai yang terkandung
pada setiap prinsip good governance
juga berbeda-beda, dan tidak mudah mengaktualisasikannya secara utuh. Lebih
dari itu, aktualisasi prinsip-prinsip good
governance juga dihadapkan pada situasi dan kondisi yang selama
bertahun-tahun terbentuk oleh proses budaya organisasi. Sangat sulit bagi
seseorang yang berkiprah di dalam suatu budaya organisasi yang sudah membentuk
nilai-nilai tertentu; bahkan tanpa disadarinya ia pun menerima dan menjadi
penganut nilai-nilai tersebut. Karena itu, upaya mengubah nilai-nilai budaya
organisasi pemerintahan menjadi sangat sulit dan memerlukan waktu yang sangat
lama. Apa yang terjadi di negeri Tiongkok adalah contoh bagaimana bangsa China dapat
melakukan revolusi budaya secara total untuk untuk mengubah budaya feodalisme yang
terwariskan dari zaman kerajaan dinasti-dinasti menjadi budaya komunisme yang
menempatkan sistem partai tunggal sebagai pengendali penyelenggaraan kekuasan
negara. Dalam konteks ini, terlepas dari apa itu komunisme, fenomena perubahan sistem
ketatanegaraan yang terjadi di negeri Tiongkok itu merupakan fakta yang
mengisyaratkan bahwa faktor perubahan budaya dalam penyelenggaraan kekuasaan
negara menjadi sangat penting, fundamental dan bernilai strategis untuk
melakukan berbagai perubahan yang dikehendaki.
Agaknya tidak berlebihan bila kebijakan reformasi birokrasi dalam rangka penegakkan
prinsip-prinsip good governance untuk
terwujudnya good government mempelajari
juga keberhasilan bangsa China dalam mengubah nilai-nilai budaya lama menjadi
nilai-nilai budaya baru yang dikehendaki bersama. Artinya, penegakkan
prinsip-prinsip good governance hanya
bisa dilakukan jika ada upaya total dan kerja keras dari seluruh elemen bangsa
dan seluruh unsur penyelenggara kekuasaan negara untuk mengubah budaya
organisasi pemerintahan yang dianggap tidak relevan lagi dengan budaya
organisasi pemerintahan yang sesuai dengan perkembangan masyarakat dan tuntutan
masa depan yang sarat dengan persaingan yang ketat dalam menguasai sumber daya
ekonomi. Dalam dimensi ini pertanyaannya adalah ”Apakah nilai-nilai budaya organisasi pemerintahan pada masa kini sudah
tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat dan tuntutan masa depan bangsa?”
Jawabannya : sebagian nilai-nilai budaya organisasi pemerintahan pada masa kini
memang masih sesuai dan bahkan harus dipertahankan dan diberi bobot yang
optimal; namun sebagian lagi nilai-nilai budaya organisasi pemerintahan sudah sangat
tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat dan tuntutan masa depan
bangsa. Dalam konteks perubahan nilai-nilai organisasi pemerintahan, kita baru
sampai pada perubahan sistem pemerintahan dari sistem pemerintahan yang
sentralistik dan militeristik menjadi sistem pemerintahan sipil yang demokratis
dan desentralistik. Namun sayang, perubahan sistem pemerintahan yang demikian belum
disertai dengan perubahan perilaku kekuasaan yang sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan tuntutan masa depan bangsa.
Kasus-kasus korupsi yang melibatkan sejumlah petinggi partai, sejumlah
menteri dan pejabat-pejabat negara di berbagai sektor dan tingkatan serta lunturnya
kepercayaa publik terhadap kinerja lembaga-lembaga penegak hukum kecuali KPK, adalah fakta bahwa perilaku
kekuasaan di negeri ini masih dilingkari dengan permasalahan rendahnya
moralitas pejabat-pejabat publik. Kasus-kasus tersebut baru merupakan puncak gunung es di permukaan laut.
Kasus-kasus yang tidak terangkat ke permukaan tentu jauh lebih banyak dari yang
muncul ke permukaan.
Fenomena yang terungkap dari kasus-kasus itu agaknya dapat diartikan bahwa secara
mental dan kultural para pejabat public di Indonesia masih belum siap untuk menerima konsekuensi
penyelenggaraan sistem pemerintahan yang semakin demokratis, dan juga tidak
mampu mengaktualisasikan secara konsistem dan konsekuen prinsip-prinsip good governance. Oleh sebab itu, dalam penyelenggaraan sistem
pemerintahan yang semakin demokratis yang ditandai dengan semakin berkembangnya
kebebasan dan kinerja pers, para pejabat publik Indonesia sering tersentak oleh
realitas-realitas yang berada di luar jangkauan pemikirannya. Dalam konteks
inilah, maka yang menjadi pekerjaan besar bangsa Indonesia adalah mengatasi
kesenjangan di antara tuntutan aktualisasi good
governance dengan budaya organisasi pemerintahan yang tidak sesuai lagi
dengan perkembangan masyarakat,
perubahan lingkungan strategis dan tuntutan masa depan bangsa. Lantas dengan
strategi apa yang dibutuhkan untuk mengatasi kesenjangan tersebut? Jawabannya :
kita harus berani melakukan perubahan
secara menyeluruh terhadap budaya organisasi pemerintahan yang tidak sesuai
dengan perkembangan masyarakat, perubahan lingkungan strategis dan tuntutan
masa depan bangsa serta mengubah pula budaya masyarakat yang menjadi bagian tak
terpisahkan dari budaya organisasi pemerintahan tersebut. Inti keberhasilan
dalam mengubah nilai-nilai budaya organisasi pemerintahan tersebut adalah
perubahan mental budaya para pejabat publik agar menjadi figur-figur yang
pandai bersikap amanah sesuai amanah yang tertuang dalam sumpah jabatan serta
ketentuan hukum yang mengatur fungsi jabatannya. Apabila prinsip amanah ini dapat
diaktualisasikan secara utuh, konsisten dan konsekuen – apapun resikonya – maka
prinsip-prinsip good governance
lainnya menjadi tidak terlalu sulit untuk diaktualisasikan. Mengapa demikian,
karena pejabat yang amanah adalah pejabat yang rendah hati, jujur dan bersikap
melayani kepada siapa saja yang bersentuhan dengan pelaksanaan fungsi
jabatannya. Sementara itu, lawan pejabat yang amanah adalah pejabat-pejabat
yang masih asyik dengan arogansi kekuasaan dan perilaku koruptif. Inilah yang
kita sebut good governance vs budaya
organisasi pemerintahan yang masih dipertahankan oleh sederetan pejabat
publik yang ”dablek”, alias punya
telinga tapi tidak mendengar, punya mata tapi tidak melihat, punya rasa tapi
tidak berperasaan! Inilah yang mungkin dimaksud oleh Jokowi sebagai ”Revolusi
Mental!”
1.3 Good
Governance vs Gaya
Kepemimpinan Birokrasi yang Arogan
Sebenarnya tidak
terlalu sulit mengubah budaya organisasi pemerintahan yang kita anggap tidak
sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat, perubahan lingkungan strategis dan
tuntutan masa depan bangsa, kalau saja kita memahami entry point dan starting
point untuk melakukan perubahan budaya tersebut. Entry point yang dimaksud adalah moralitas atau mentalitas figur-figur
pemimpin yang memegang tampuk kekuasaan legislative, kekuasaan eksekutif dan
kekuasaan yudikatif. Sedangkan yang dimaksud starting point adalah gaya kepemimpinan birokrasi pemerintahan yang
berada dibawah figure-figur pemimpin tersebut. Entry point tersebut merupakan keharusan yang tak dapat
ditawar-tawar untuk bisa mengubah nilai-nilai budaya organisasi pemerintahan
yang arogan dan koruptif menjadi budaya
organisasi pemerintahan yang mencerminkan prinsip-prinsip good governance. Dengan
entry point yang demikian itu, maka upaya untuk mengubah budaya organisasi
pemerintahan yang arogan dan koruptif dilanjutkan dengan starting point yaitu mengubah gaya kepemimpinan birokrasi
pemerintahan yang juga arogan dan koruptif dengan gaya kepemimpinan yang
amanah, yakni gaya kepemimpinan yang jujur, rendah hati dan melayani. Inilah
yang dimaksud good governance vs gaya
kepemimpinan birokrasi yang dipengaruhi oleh budaya organisasi pemerintahan
yang sarat sindikat KKN.
Dalam konteks itu,
permasalahannya adalah bahwa tidak setiap pejabat public bisa menjadi figure
yang jujur, rendah hati dan melayani, karena secara teoritis kekuasaan itu
cenderung koruptif, dan kekuasaan itu cenderung “arogan”. Ditambah dengan
fenomena punya telinga tak mendengar, punya mata tak melihat dan punya rasa
tapi tak berperasaan, maka upaya untuk menumbuhkan kesadaran tentang pentingnya
moralitas para pejabat public yang jujur, rendah hati dan melayani kita geser
sedikit kepada masyarakat pers dan elemen masyarakat lainnya. Mengapa begitu,
karena yang bisa melakukan revolusi kebudayaan secara intelektual tanpa
menimbulkan tindakan-tindakan kekerasan fisik adalah kalangan pers dengan
kinerja pers yang mengkedepankan visi dan misi perubahan bangsa. Jika sementara
ini kinerja KPK terarah untuk menumbuhkan budaya takut di kalangan pejabat
public, maka kinerja pers bisa diarahkan untuk menumbuhkan budaya malu dan
kejutan di kalangan pejabat public yang “dablek”. Tanpa dukungan kinerja insan
pers dan elemen-elemen masyarakat yang konsen pada perubahan, maka
langkah-langkah reformasi birokrasi untuk mengubah budaya organisasi yang
koruptif dan gaya kepemimpinan birokrasi yang arogan akan menemui jalan butu. Mengapa
begitu, karena ”maling tidak bisa
mengubah rumitnya kelakuan maling”, tapi maling teriak maling itu ada gunanya, karena maling tahu persis lingkaran
kelakuan maling. Meski begitu, kebijakan reformasi birokrasi tetap menjadi entry point dan sekaligus starting point untuk mewujudkan good governance agar secara bertahap dan
berkelanjutan good government dapat
kita wujudkan.
2. Penutup
Dari fenomena politik
yang melekat pada sosok Jokowi, kita dihadapkan pada kenyataan bahwa secara
mental dan cultural para pejabat public di Indonesia masih belum siap
menghadapi perkembangan masyarakat yang semakin kritis dan menutut moralitas
yang mulia. Kondisi mental dan cultural yang demikian juga mengisyaratkan bahwa
mentalitas para pejabat publik adalah mentalitas yang terbentuk dalam budaya
organisasi pemerintahan yang arogan dan sarat dengan perilaku koruptif. Karena
itu, ketika kinerja insan pers bersama elemen-elemen masyarakat lainnya yang
konsen pada perubahan menyuarakan tuntutan moralitas kepada para pejabat
public, maka Jokowi dapat menjadi partisipasi politik insen pers dan partisipasi
politik elemen-elemen masyarakat non partai sebagai mitra politiknya. Inilah
salah satu kiat yang dapat dipilih Jokowi untuk mengoptimalisasikan
kepemimpinannya.
Seiring dengan
pilihan kiat tersebut, dengan tekad yang kuat dan berani “babak belur” Jokowi
seharusnya berani lansung “tancap gas” untuk sesegera mungkin mengaktualisasikan
prinsip-prinsip good governance
secara nyata di seluruh jajaran pemerintahannya. Tujuannya adalah agar budaya
organisasi pemerintahan yang koruptif dan kepemimpinan birokrasi yang arogan
dan koruptif menjadi sirna dari bumi Nusantara! Inilah
salah satu kiat untuk mengaktualisasikan ide “revolusi mental”-nya Jokowi.