SISI
LAIN SHALAHUDDIN AL-AYYUB YANG DIANGGAP KEJAM OLEH ROMAWI DAN DITAKUTI
KERAJAAN KRISTEN EROPA
Saat itu Desember 1168. Lebih dari dua puluh tahun sebelum pecah Perang Salib
Kedua yang akan jadi peristiwa penting Kerajaan Islam merebut Kota Yerusalem.
Sosok yang diperintah adalah keponakan dari pendekar bermata satu bertubuh
tambun. Panglima tua bernama Shirkuh.
Pemuda yang sedang diperintah ini sangat berbeda dengan pamannya. Kurus,
ringkih, dan usianya masih 31 tahun. Tampan, berkulit cerah, dan punya garis
wajah melankolis. Namanya Yusuf bin Najmuddin. Dari Suku Kurdi. Pada hari itu
ia ditugaskan Sultan Nuruddin untuk mengantar Shirkuh membawa pasukan Kerajaan
Islam dari Damaskus untuk menuju Mesir guna membebaskan Mesir dari serangan
orang-orang Kristen. Saat itu Yusuf begitu takut.
“Seperti seorang pria yang diantar menuju kematiannya,” kesan Yusuf seperti
yang dikisahkan Karen Amstrong dalam Holy War: The Crusades and Their Impact
an Today’s World (2001: 372-410).
Setelah memasuki Mesir beberapa bulan kemudian, sang paman mendadak meninggal
dunia. Mesir sudah berhasil dikuasai kembali. Masalah kemudian muncul, siapa
yang harus menggantikan sang paman?
Banyak amir (pemimpin) yang lebih layak daripada Yusuf, tapi beberapa petinggi
ingin seseorang yang loyal dengan kepribadian yang lebih bersahabat. Yusuf
adalah yang termuda dan tampak tidak berpengalaman serta paling lemah di antara
para amir dalam pasukan Shirkuh, ia pun dipilih untuk memimpin Mesir.
Namun siapa sangka, sosok yang dikira lemah dan terlalu lembek ini malah
menjelma jadi sosok yang kuat dan efektif dalam kampanye jihadnya merebut
Yerusalem. “Ketika Tuhan memberiku negeri Mesir, aku yakin bahwa Dia juga
bermaksud memberiku tanah Palestina,” kata Yusuf dalam pelantikannya sebagai
Wazir (semacam gubernur) di Mesir.
Dan pada akhirnya orang-orang akan lebih mengenal dengan nama julukannya:
Shalahuddin, yang berarti “keadilan agama”. Atau pasukan salib mengenalnya
dengan panggilan “Saladin”. Panglima perang paling dihormati—sekaligus ditakuti
pasukan salib.
Shalahuddin tidak mendapatkan takhtanya begitu saja. Ia lebih dulu harus
bersitegang dengan Sultan Nuruddin yang memberinya perintah beserta pamannya
saat ia masih muda dan begitu polos beberapa tahun sebelumnya. Beruntung,
takdir seperti menunjuk Shalahuddin memimpin pasukan muslim dalam kampanye
jihadnya. Di tengah Sultan Nuruddin bersiap memerangi “pemberontakan”
Shalahuddin di Mesir, pada 15 Mei 1174 Sang Sultan meninggal dunia. Membuat
kursi “khalifah” kosong begitu saja.
Reputasi Shalahuddin sebagai sosok yang sangat religius memudahkan para fanatik
balik menaruh dukungan kepadanya. Provinsi-provinsi Islam yang tersebar dan
tercerai berai bersatu di bawahnya.
Pada akhirnya pasca 1181, untuk pertama kalinya—dan satu-satunya—dalam sejarah
Islam, berdiri kerajaan-muslim yang begitu besar dan bersatu dalam satu panji.
Dan di saat bersamaan, nama Yusuf tenggelam ditelan kebesaran nama julukannya
sendiri: Shalahuddin Al-Ayyubi.
Kekejaman Shalahuddin Menurut Romawi
Dalam salah satu pertempuran paling dahsyat dalam Perang Salib jilid kedua, ada
kisah yang terus menjadi gambaran pasukan salib betapa mengerikannya pasukan
Shalahuddin di tanah Palestina. Pertempuran yang terjadi di Bukit Hattin,
orang-orang Eropa menyebutnya “Battle of Hattin”.
Pertempuran yang juga dikisahkan sedikitnya oleh Ridley Scott dalam film Kingdom
of Heaven (2005). Pertempuran yang bahkan jauh lebih dahsyat dari upaya
perebutan Kota Yerusalem sendiri beberapa bulan kemudian.
Pasukan Salib saat itu dipimpin oleh Guy de Lusignan. Seorang fanatik yang
menjadi Raja Yerusalem setelah kematian anak Sibylla, Raja Baldwin V yang
menggantikan pamannya, Raja “Lepra” Baldwin IV yang dikenal sangat bijaksana.
Guy sangat berambisi menghabisi “pasukan kafir” dan yakin bahwa serbuannya ke
Tiberias (tempat mukim pasukan Shalahuddin) adalah takdir Tuhan.
Pertempuran Hattin juga sempat mengubah persepsi mengenai Shalahuddin yang
dikenal welas asih pada musuhnya. Imaduddin al-Ishfakhani, sekretaris
Shalahuddin membeberkan kesaksiannya, “Pada hari itu aku menyaksikan bagaimana
Shalahuddin membunuh kaum tak beriman untuk memberi napas bagi Islam dan
menghancurkan politeisme untuk membangun monoteisme.”
Di pertempuran ini, pasukan Shalahuddin mengeksekusi banyak pasukan
salib. Menumpuk kepala-kepala mereka menjadi gundukan di lembah-lembah Bukit
Hattin. Membuat burung nazar berdatangan menutupi langit seolah cuaca sedang
mendung gelap gulita.
Adalah Reynauld of Chattilon, tangan kanan Guy Sang Raja Yerusalem, yang membuat
Shalahuddin berubah jadi sosok kejam. Empat tahun sebelumnya, Reynauld membunuh
adik perempuan Shalahuddin saat gencatan senjata masih terjalin antara pasukan
salib dengan pasukan muslim. Memperkosa dan membantai seluruh kafilah muslim
yang melewati tanah Palestina. Mengeksekusi dan menjarah wilayah-wilayah
muslim.
Ketika seorang muslim mengingatkan akan gencatan senjata yang masih berlaku,
Reynauld malah menghardik, “Biar Muhammad-kalian datang dan menolong kalian!”
Seolah belum cukup memprovokasi Shalahuddin, Reynauld juga memiliki rencana
akan menyerang kota suci umat muslim: Mekkah. Rencana yang kelewatan ini justru
memberi kekuatan berlipat di pihak pasukan muslim. Semua kabilah-kabilah
kemudian bersatu di bawah panji Shalahuddin dan menghilangkan perselisihan
masing-masing. Shalahuddin pun bersumpah, “Aku akan membunuhnya dengan
tanganku sendiri.” Maka terjadilah pertempuran terbesar dalam sejarah Perang
Salib Jilid Kedua yang begitu kejam dan menentukan.
Kekalahan Raja Yerusalem
Sekalipun kampanye jihad merupakan cara yang membuat seluruh pasukan muslim
bersatu, di pihak lawan kampanye yang sama malah dijalankan dengan cara yang
jauh lebih banal. Mematikan akal sehat dan seolah-olah mempercayai bahwa Tuhan
akan membantu Pasukan Salib dengan mukjizat.
Salah satu tanda-tanda itu datang ketika Guy menyetujui usulan Reynauld untuk
mendatangi langsung pasukan Shalahuddin di Tiberias. Para kaum fanatik buta ini
mengabaikan penalaran militer. Memburu pasukan Shaluhddin di tempat terbuka dan
bukannya menunggu di balik tembok kastil Kota Yerusalem.
Bersama 20 ribu pasukannya, Guy dan Raunauld menyeberangi lembah-lembah Galilea
dalam musim panas yang terik. Terbebani dengan baju zirah mereka yang berat.
Shalahuddin—walaupun seseorang yang sangat religius—adalah panglima militer
dengan kecerdasan strategi luar biasa. Ia tahu bahwa akses air adalah penentu
jalannya pertempuran kali ini.
Shalahuddin membendung persediaan air dan mengeringkan banyak mata air.
Memerintahkan pasukan pemanah grup kecil untuk mengincar tentara musuh yang
terpisah dari rombongan. Para pasukan salib setengah gila karena
kehausan. Pada akhirnya mereka sampai ke Laut Galilea dalam keadaan kelelahan
dan baru menyadari bahwa satu-satunya sumber air adalah tempat di mana perkemahan
pasukan Shalahuddin berada.
Sekalipun tanpa taktik semacam ini, Shalahuddin sebenarnya tetap bisa
memenangi pertempuran--pasukan muslim 10 ribu lebih banyak,
tapi Shalahuddin tahu, di belakang Guy dan Reynauld, ada Kota Yerusalem
yang mesti direbut. Dalam rencana Shalahuddin, akan sia-sia jika kemenangan di
Bukit Hattin tidak berlanjut ke kemenangan berikutnya.
Dalam kondisi lelah dan dehidrasi yang luar biasa, pasukan salib beristirahat
di Bukit Hattin. Sorak-sorai pasukan Shalahuddin sudah terdengar dari kejauhan.
Menunjukkan betapa siap pasukan Shalahuddin menyambut kemenangan yang
bertepatan pada tanggal 26/27 Ramadhan. Hari suci umat muslim yang pada
akhirnya diperingati oleh Shalahuddin sebagai malam “nuzulul Quran”--hari
pertama kalinya ayat Alquran turun ke dunia.
Pada akhirnya saat fajar 4 Juli 1187, berangkatlah pasukan Shalahuddin menyerbu
Bukit Hattin tempat pasukan salib berkemah. Mengalahkan begitu telak dan hanya
menyisakan sedikit dari mereka. Beberapa baron dan ksatria memang ada yang
lolos dari kepungan pasukan Shalahuddin. Beberapa di antaranya adalah Balian de
Ibelin, sosok yang akan memimpin milisi dan tentara rakyat Yerusalem
mempertahankan kota dari pasukan Shalahuddin beberapa bulan kemudian.
Setelah pertempuran usai, Shalahuddin membawa dua tawanan yang paling berharga
ke dalam tendanya. Raja Guy dan Reynauld. Dua pria yang sangat kelelahan
sekaligus kehausan. Shalahuddin memberi Guy sebuah air es yang
menyegarkan. Guy meminumnya, kemudian memberikan kepada Reynauld.
Sudah dalam tradisi Arab bahwa seorang tuan rumah tidak boleh membunuh lelaki
yang ia beri makan dan minum. Ketika Reynauld minum dengan begitu entengnya
tanpa perintah tuan rumah, Shalahuddin bertanya, “Siapa yang mengizinkanmu
minum?”
Reynauld cuma bergeming. Shalahuddin pun melanjutkan kalimatnya, “Karena itu
aku tidak diharuskan menunjukkan belas kasihan kepadamu.” Seketika kalimat itu
usai, Shalahuddin langsung mencabut pedang dari sabuknya dan memenggal kepala
Reynauld di hadapan Guy yang ketakutan dan yakin bahwa gilirannya akan tiba.
Melihat Guy yang ketakutan Shalahuddin kemudian berkata, “Raja tidak membunuh
Raja. Mengapa kamu tidak mendekati seorang raja agung untuk belajar dari
keteladanannya?”
Raja agung yang dimaksud adalah Raja Baldwin IV, raja yang menderita penyakit
lepra sampai akhirnya meninggal dunia. Saladin kemudian menjelaskan dengan
baik-baik bahwa Reynauld dipenggal karena kejahatan-kejahatannya yang begitu
besar. Raja Guy lalu dibawa ke Damaskus dan tak lama kemudian dibebaskan.